Kehidupan Suku Haloban di Aceh
Asal usul suku Haloban ini diperkirakan bermigrasi bersama-sama dengan nenek moyang suku Nias, Mentawai dan Enggano, beserta dengan suku Devayan, Sigulai serta Lekon. Pada waktu sekitar 7000 tahun yang lalu bersinggah serta tersebar di pulau-pulau sebelah barat pulau Sumatra. Dapat didapati dari struktur fisik dan bahasa mereka yang mempunyai banyak kemiripan. Kebudayaan suku Haloban saat ini sudah terpengaruh oleh budaya Islam dan menggeser budaya asli dari suku Haloban.
Kebudayaan, tradisi adat istiadat serta seni-budaya suku Haloban sangat dipengaruhi oleh budaya dari agama Islam, yang disebarkan oleh masyarakat pendatang dari Aceh serta Minang. Selain agama Islam yang sudah mayoritas di pulau Banyak itu, ada juga agama Kristen yang dianut oleh suku Nias yang berada di wilayah Sialit. Meskipun di daerah ini ada dua kelompok mayoritas agama, akan tetapi kerukunan beragama mereka sangat tinggi terbukti masih terjaganya serta hidup berdampingan secara harmonis di wilayah ini.
Bahasa Haloban
Suku Haloban mempunyai bahasa asli Haloban, dan bersaudara dengan bahasa Devayan yang berada di pulau Simalur (Simeulue). Bahasa Haloban dipengaruhi dengan bahasa Nias yang berada di kepulauan Nias, Sumatra utara. Bahasa Haloban menurut penelitian adalh berasal dari induk bahasa Nias, karena ditemui banya kemiripan mulai dari dialeg dan kosa kata yang sama dengan bahasa Nias. Sekarang bahasa Haloban hampir punah dengan bahasa para pendatang yang makin banyak memenuhi wilayah pulau ini. Bahasa Haloban hanya digunakan sehari-hari di rumah-rumah atau di kalangan masyarakat itu sendiri. Sedangkan keturunan Haloban banyak yang lebih suka berbicara dalam bahasa Aneuk Jamee atau bahasa Aceh yang sudah lebih populer.
Mata pencaharian suku Haloban
Untuk keseharianya suku Haloban ini banyak yang menjadi nelayan serta petani. Mereka juga menanam berbagai macam tanaman untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Disamping itu juga memelihara beberapa hewan ternak seperti ayam, bebek, kambing serta sapi.
Religi dan Adat Istiadat Urang Haloban
Muhammadiyah memiliki pengaruh yang sangat signifikan bagi perilaku beragama penduduk Pulo Banyak. Pun demikian, tidak ada gesekan berarti antara orang tua yang masih bertahan dengan corak Muhammadiyah dan generasi baru yang lebih dekat dengan pemahanan pesantren. Bahkan, penduduk Pulo Banyak menyediakan tanah wakaf untuk didirikan lembaga pendidikan Islam bercorak pesantren tersebut yang kini berdiri di sana. Selain itu, pengaruh dari metode dakwah dai perbatasan lulusan pesantren yang dikirim oleh Dinas Syariat Islam Aceh juga ikut memperkuat pemahaman agama Islam bercorak pesantren, seperti mulai adanya ritual-ritual tertentu yang dimasukkan dalam praktik keagamaan, meskipun sebelumnya tak pernah dikerjakan oleh generasi tua.
Bahkan, beberapa keluarga yang masih bertahan dengan ke-Muhammadiyahannya "dipaksa" untuk mengikut pemahaman keagamaan baru tersebut. Salah seorang warga Pulo Banyak, Mustafa yang saya temui, ia memiliki salah satu surau yang didirikan di depan rumahnya di Pulo Balai mengakui jika dirinya memang penganut Muhammadiyah sejak kecil. Adapun, Teluk Nibung salah satu kampung yang terhimpung dalam Kecamatan Pulo Banyak masih bertahan dengan nilai Muhammadiyah tulen. Tempat di mana dahulunya, sebagian Urang Pulo yang bermata pencaharian petani berladang di sana.
Perlahan, penduduk dan pendatang ke Pulo Banyak yang Non Muslim membetuk komunitas dan pemukiman sendiri di sana dengan jumlah KK yang terus bertambah. Ujung Sialit sendiri dikenal sebagai kampung yang memiliki komposisi penduduk Non Muslim dominan di Pulo Banyak. Relasi sosial antarpenduduk berbeda agama hingga sekarang masih berjalan dengan baik, disebabkan oleh kesadaran kekerabatan dan sesame urang pulo. Baju adat, dan istilah-istilah lain yang berhubungan dengan kebudayaan Urang Pulo dipengaruhi oleh Melayu-Minang.
No comments
berkomentar sesuai dengan jatidirimu