Legenda Si Baroar
Pada suatu masa, di Mandailing, Sumatra
Utara, berdirilah sebuah kerajaan kecil yang bernama Huta Bargot.
Kerajaan itu berada di seberang Sungai Batang Gadis. Rajanya bergelar Sutan Pulungan. Ia mempunyai seorang permaisuri dan putra yang masih
bayi. Di sela-sela kesibukannya membangun kerajaan, Sutan Pulungan
sering meluangkan waktu pergi ke tengah hutan untuk berburu binatang.
Pada suatu hari, Sutan Pulungan bersama beberapa orang
hulubalang dan prajuritnya berburu rusa di sebuah hutan lebat. Sutan Pulungan
membawa anjing pemburu kesayangannya yang sangat pintar dan tangkas bernama
Sipamutung. Ketika mereka sampai di tengah hutan, Sipamutung tiba-tiba berlari
kencang menuju ke suatu tempat. Tak berapa lama kemudian, ia pun terdengar
menyalak dengan serunya. Mendengar salakan anjing kesanyangannya tersebut,
Sutan Pulungan segera memerintahkan prajuritnya pergi ke tempat Sipamutung
menyalak.
“Prajurit! Cepatlah kalian susul si Pamutung! Aku yakin dia pasti menemukan rusa!” seru Sutan Pulungan kepada prajuritnya.
Mendengar perintah itu, beberapa orang prajurit segera berlari
ke tempat Sipamutung menyalak. Setibanya di tempat itu, mereka melihat sebuah
banyangan perempuan berkelebat lari dari bawah sebatang pohon beringin besar.
Sementara Sipamutung masih terus menyalak. Ketika para prajurit tersebut
mendekat dan memeriksa ke bawah pohon itu, tampaklah seorang bayi laki-laki
tampan terbaring di atas sebuah batu besar. Tak berapa lama kemudian, Sutan
Pulungan pun tiba di tempat itu.
“Hai, Prajurit! Mana rusa itu?” tanya Sutan Pulungan.
“Ampun, Baginda! Ternyata Sipamutang menyalak bukan karena menemukan rusa, tapi seorang bayi,” jawab seorang prajurit.
“Apa katamu? Seorang bayi?” tanya Sutan Pulungan terkejut seraya
mendekati bayi tersebut.
“Siapa yang meletakkan bayi di atas batu ini?” Sutan Pulungan
kembali bertanya.
“Ampun, Baginda! Hamba juga tidak tahu. Tapi, saat baru tiba, hamba dan prajurit lainnya melihat seorang perempuan berkelebat dengan sangat cepat meninggalkan tempat ini,” jawab seorang prajurit lainnya.
Mendengar penjelasan prajurit tersebut, Sutan Pulungan pun yakin
bahwa bayi itu sengaja dibuang oleh orang tuanya. Akhirnya, ia bersama
rombongannya memutuskan untuk berhenti berburu dan segera membawa pulang bayi
malang itu. Setibanya di Negeri Huta Bargot, Sutan Pulungan menyerahkan bayi
itu kepada seorang janda tua bernama si Saua, yang sejak lama mendambakan
seorang anak.
“Terima kasih, Baginda! Hamba akan merawat bayi ini seperti anak
kandung hamba sendiri,” ucap janda tua itu dengan senang hati.
Setiap kali pergi bekerja ke sawah, perempuan tua itu meletakkan bayi tersebut di dalam baroar, yakni kandang anjing. Oleh karena itu, orang-orang pun menamakan anak itu si Baroar.
Waktu terus berjalan. Si Baroar telah berusia lima tahun dengan
wajah yang sangat tampan. Namun anehnya, wajah dan perawakan si Baroar sangat
mirip dengan putra Sutan Pulungan, sehingga orang-orang di sekitarnya tidak
dapat lagi membedakan keduanya. Orang-orang sering keliru menyapa ketika
bertemu dengan salah seorang dari kedua anak tersebut. Jika si Baroar
berjalan-jalan sendirian, orang-orang yang bertemu dengannya selalu memberi
hormat kepadanya dan menyapanya seperti menyapa putra Sutan Pulungan. Tetapi
sebaliknya, jika bertemu dengan putra Sutan Pulungan, mereka memperlakukannya
seperti anak orang kebanyakan.
Saat mengetahui putranya sering mendapat perlakuan demikian dari orang-orang di sekitarnya, Sutan Pulungan dan permaisurinya merasa sangat terhina. Oleh karena itu, mereka memutuskan untuk membunuh si Baroar secara rahasia agar tidak diketahui oleh orang banyak.
Pada suatu hari, Sutan Pulungan mengumpulkan seluruh pembesar
kerajaan untuk menyusun rencana pembunuhan rahasia tersebut. Dalam sidang
tersebut, ia memerintahkan kepada pembesarnya agar segera menyelenggarakan
upacara adat Sopo Godang, yakni upacara
penggantian tiang besar balai sidang yang sudah lapuk. Sutan Pulungan akan
menyelenggarakan upacara adat tersebut secara besar-besaran di istana Kerajaan
Huta Bargot, karena ia ingin memanfaatkan keramaian itu untuk menutupi
perbuatannya membunuh si Baroar.
“Bagaimana caranya kami membunuh si Baroar, Baginda?” tanya seorang hulubalang.
“Sebelum memasukkan tiang pengganti ke dalam lubang tempat
menanamnya, terlebih dahulu kalian harus menjatuhkan si Baroar ke dalam lubang
tersebut, dan menimpanya dengan tiang pengganti,” jelas Sutan Pulungan.
Sutan Pulungan juga memerintahkan kepada seorang hulubalang
untuk memberi tanda silang pada kening si Baroar dengan kapur sirih.
“Ampun, Baginda! Kenapa si Baroar harus diberi tanda silang?”
tanya hulubalang lainnya ingin tahu.
“Maksudnya adalah agar kalian bisa membedakan secara pasti yang mana si Baroar dan yang mana pula putraku, sehingga kalian tidak keliru membunuh si Boroar,” jelas Sutan Pulungan.
Setelah mendengar penjelasan tersebut, para pembesar kerajaan
segera menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan dalam upacara Sopo
Godang tersebut. Begitu pula hulubalang yang telah ditunjuk oleh sang
Raja segera mencari si Baroar untuk memberi tanda silang pada keningnya.
Pada hari yang telah ditentukan, upacara adat itu segara akan dilaksanakan. Seluruh rakyat negeri yang akan mengikuti upacara adat tersebut telah berkumpul di halaman istana. Dalam upacara tersebut Sutan Pulungan juga menyelenggarakan berbagai atraksi dan pertunjukan seni. Hal ini bertujuan untuk mengalihkan perhatian para warga yang hadir agar para hulubalang dapat melaksanakan tugas untuk membunuh si Baroar tanpa sepengetahuan mereka.
Ketika para warga sedang asyik bersuka ria, para hulubalang pun menyiapkan tiang untuk dimasukkan ke dalam lubang. Kebetulan saat itu, mereka melihat si Baroar yang sudah diberi tanda di keningnya sedang berdiri tidak jauh dari mereka. Secara sembunyi-sembunyi, mereka segera menangkap dan menjatuhkan si Baroar ke dalam lubang, kemudian menimpanya dengan tiang besar. Tak seorang pun yang mengetahui perbuatan mereka, karena para warga sedang asyik bersuka ria. Para hulu balang pun merasa lega dan gembira, karena berhasil menjalankan tugas dengan lancar. Demikian pula yang dirasakan oleh Sutan Pulungan, karena si Baroar yang selalu membuatnya terhina telah mati.
Namun, sejak acara tersebut dilaksanakan, putra Sutan Pulungan tidak pernah lagi terlihat di istana. Seluruh keluarga istana menjadi panik dan segera mencari putra Sutan Pulungan. Mereka telah mencarinya di sekitar istana, namun mereka tetap tidak menemukannya. Sutan Pulung pun mulai cemas, jangan-jangan para hulubalangnya keliru dalam menjalankan tugas. Untuk itu, ia pun segera mengutus seorang hulubalang pergi ke rumah si Saua untuk melihat apakah si Baroar masih bersamanya. Ternyata benar. Sesampainya di sana, utusan melihat si Baroar sedang membelah kayu bakar bersama si Saua. Ia pun segera kembali ke istana untuk melaporkan hal itu kepada sang Raja.
“Ampun, Baginda! Ternyata si Baroar masih hidup. Ia masih
bersama janda tua itu,” lapor utusan itu.
Mendengar laporan itu, Sutan Pulungan langsung naik pitam. Ia
sangat marah kepada para hulubalangnya yang telah keliru menjalankan tugasnya.
“Hai, para Hulubalang! Kalian telah salah membunuh. Anak yang kalian masukkan ke dalam lubang itu adalah putraku, bukan si Baroar!” seru Sutan Pulungan dengan wajah memerah.
Rupanya kekeliruan itu bermula beberapa saat sebelum upacara
adat tersebut dilaksanakan. Putra Sutan Pulungan melihat tanda silang pada
kening si Baroar. Karena ingin seperti si Baroar, ia pun menyuruh seseorang
untuk membuat tanda yang serupa di keningnya. Kemudian ia pergi ke tengah
keramaian upacara, dan pada saat itulah para hulubalang menangkapnya secara
sembunyi-sembunyi, lalu memasukkannya ke dalam lubang.
Sutan Pulungan yang telah kehilangan putranya segera memerintahkan tiga orang hulubalangnya untuk membunuh si Baroar. Ketiga hulubalang itu pun segera menuju ke rumah si Baroar dengan pedang terhunus. Saat tiba di sana, mereka tidak menemukan si Baroar dan si Saua.
Rupanya, ada orang yang mengetahui rencana pembunuhan yang akan
dilakukan oleh para hulubalang tersebut terhadap si Baroar. Orang itu pun
memberitahu si Saua agar segera menyelamatkan si Baroar. Jadi, sebelum para
hulubalang tersebut tiba di rumahnya, si Saua telah membawa lari si Baroar ke
daerah persawahan yang sedang menguning padinya, tak jauh dari tepi Sungai
Batang Gadis.
Ketika sampai di daerah persawahan, si Saua mengajak si Baroar untuk bersembunyi di sebuah gubuk yang atapnya hanya tinggal rangkanya yang berdiri di tengah sawah. Sebab, ia yakin bahwa para hulubalang tersebut pasti akan mengejar dan mendapati mereka sebelum tiba di tepi sungai.
“Anakku! Kita bersembunyi di sini saja! Kalau kita terus
berlari, mereka pasti akan menangkap kita, karena mereka bisa berlari dengan
cepat!” ujar si Saua seraya merangkul tubuh si Baroar.
Para hulubalang tersebut tiba-tiba kehilangan jejak. Saat melihat sebuah gubuk di tengah sawah, mereka pun mendekatinya. Ketika sampai di dekat gubuk itu, langkah mereka tiba-tiba terhenti. Si Saua dan si Baroar pun semakin ketakutan, karena mengira para hulubalang tersebut mengetahui keberadaan mereka. Namun ternyata, para hulubalang tersebut berhenti melangkah, karena melihat ada seekor burung balam sedang bertengger di puncak kerangka atap gubuk itu sambil terus berkicau.
“Ayo kawan-kawan kita cari mereka di tempat lain! Untuk apa kita
cari di si janda tua dan si Baroar di gubuk itu. Kalau mereka bersembunyi di
situ, tidak mungkin burung balam itu bertengger di atas sana!”
seru hulubalang yang memimpin pengejaran itu.
Setelah para hulubalang tersebut cukup jauh dari gubuk itu, si
Saua dan si Baroar keluar dari gubuk itu dan berlari menuju ke arah Sungai
Batang Gadis. Namun sialnya, para hulubalang melihat mereka lagi.
“Hai, itu mereka! Ayo kita kejar!” seru pemimpin hulubalang.
Si Saua dan si Baroar pun berlari semakin cepat. Ketika mereka
tiba di tepi sungai, ternyata Sungai Batang Gadis sedang banjir besar, sehingga
mereka tidak dapat menyeberang. Sementara para hulubalang yang mengejarnya
semakin dekat. Mereka tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Dalam keadaan nyawa
terancam, si Saua segera bersujud ke tanah memohon pertolongan Tuhan Yang
Mahakuasa.
“Ya Tuhan! Selamatkanlah nyawa kami!” ucap si Saua.
Ketika mengangkat kepalanya kembali, si Saua melihat sebatang
kayu besar yang amat panjang hanyut melintang di tengah sungai. Anehnya, kayu
besar itu berhenti tepat di hadapan mereka dalam keadaan melintang sampai ke
seberang. Tanpa berpikir panjang dan merasa takut sedikit pun, janda tua itu
dan si Baroar segera meniti kayu besar itu. Begitu tiba di seberang sungai,
kayu besar itu kembali hanyut terbawa arus banjir. Para hulubalang yang baru
tiba di tepi sungai tak dapat lagi mengejar mereka. Akhirnya, si Saua dan si
Baroar selamat dari kematian.
Konon, beberapa tahun kemudian, di seberang Sungai Batang Gadis tersebut berdirilah sebuah kerajaan yang bernama Panyabungan Tonga-Tonga yang dipimpin oleh si Baroar bersama permaisurinya. Keturunannya kemudian dikenal sebagai orang-orang Mandailing yang bermarga Nasution.
* * *
Demikian cerita Si Baroar dari daerah Sumatra
Utara, Indonesia. Menurut masyarakat penutur cerita ini, cerita Si
Baroar termasuk katogeri legenda mengenai asal-usul orang-orang
Mandailing yang bermarga Nasution. Hingga saat ini tempat yang bernama Huto
Bargot dan Panyabungan Tonga-Tonga tersebut menjadi nama dua desa di
Mandailing. Di Desa Panyabungan Tonga-Tonga terdapat sebuah makam tua yang
dipercaya sebagai makam si Baroar.
Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa seseorang yang berniat jahat kepada orang yang tak bersalah, maka dia sendiri yang akan tertimpa musibah. Hal ini ditunjukkan oleh perilaku Sutan Pulungan yang telah berusaha untuk membunuh si Baroar, akan tetapi putranya sendiri yang terbunuh. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:
kalau suka berbuat jahat,
lambat laun ditimpa mudarat
No comments
berkomentar sesuai dengan jatidirimu