Cerita Takyat, Asal Mula Pulau Si Kantan
Menurut legenda, Pulau Si Kantan dulunya tidak ada. Namun, ratusan tahun yang lalu telah terjadi sebuah peristiwa yang sangat luar biasa, sehingga pulau ini muncul di tengah-tengah Sungai Barumun. Peristiwa tersebut diceritakan dalam sebuah cerita rakyat yang sangat terkenal di kalangan masyarakat Labuhan Batu. Cerita rakyat ini mengisahkan tentang seorang pemuda bernama si Kantan yang menjelma menjadi sebuah pulau. Peristiwa apa sebenarnya yang terjadi, sehingga si Kantan menjelma menjadi sebuah pulau? Ingin tahun jawabannya? Ikuti kisahnya dalam cerita Asal Mula Pulau Si Kantan berikut ini!
Alkisah, pada zaman dahulu kala, di tepi sebuah sungai di daerah Labuhan Batu, Sumatera Utara, hiduplah seorang janda tua bersama seorang anak laki-lakinya bernama si Kantan. Mereka tinggal di sebuah gubuk kecil yang sudah reot. Ayah si Kantan, sudah lama meninggal dunia. Sejak itu, ibu si Kantan-lah yang harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Si Kantan adalah anak yang rajin dan tekun bekerja. Setiap hari ia membantu ibunya mencari kayu bakar di hutan untuk dijual ke pasar.
Pada suatu malam, ibu si Kantan bermimpi didatangi oleh seorang kakek tua yang tidak dikenalnya. Dalam mimpinya, kakek tua itu menyuruhnya pergi menggali tanah di sebuah tempat di dalam hutan. Pada pagi harinya, ia menceritakan mimpinya tersebut kepada si Kantan. “Wah, itu mimpi yang bagus, Bu! Sebaiknya kita laksanakan petunjuknya. Siapa tahu ini bisa mengubah nasib kita,” ujar si Kantan.
Maka, ibu dan anak itu pergi ke hutan dengan membawa linggis. Sesampainya di hutan, ibu si Kantan berusaha mengingat-ingat petunjuk yang diterima dari kakek tua di dalam mimpinya. “Benar, Anakku! Tempatnya persis di sini!” seru ibu Kantan dengan yakinnya. “Baiklah, Bu! Semoga ingatan ibu tidak keliru,” kata si Kantan.
Si Kantan pun mulai menggali tanah di bawah sebuah pohon yang besar dengan penuh semangat. Setelah menggali sedalam dua kaki, si Kantan pun menemukan sebuah benda yang terbungkus kain putih yang sudah usang.
“Bu, saya menemukannya!”
“Benda apakah itu, Nak?” tanya sang ibu penasaran.
“Entahlah, Bu!” jawab si Kantan.
Tanpa berpikir panjang, benda panjang yang terbungkus kain itu segera dibukanya. Ternyata benda itu sebuah tongkat emas yang berhiaskan permata.
“Lihatlah, Bu! Benda ini sangat luar biasa.”
“Benar, Anakku! Barangkali Tuhan ingin mengubah nasib kita yang telah lama menderita ini.”
Setelah itu, mereka pun pulang dengan membawa tongkat emas itu. Sesampainya di gubuk, sang ibu menghendaki agar benda itu dijual saja. Hasilnya akan digunakan untuk membeli rumah baru dan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. “Tapi, Ibu! Siapa yang sanggup membeli benda yang sangat berharga ini?” tanya si Kantan. “Benar juga katamu, Nak! Penduduk di desa ini rata-rata hanya petani biasa, yang penghasilannya pas-pasan. Bagaimana jika kamu jual saja di pulau lain?” usul ibu si Kantan.
Si Kantan menerima usulan ibunya dengan senang hati. Namun, di sisi lain, ia sangat sedih karena akan meninggalkan ibunya yang sudah tua itu sendirian.
Keesokan harinya, si Kantan pun berpamitan kepada ibunya. “Jaga diri baik-baik, ya Bu! Setelah benda ini terjual, Kantan akan segera kembali menemui ibu,” ucap si Kantan kepada ibunya. “Baiklah, Anakku! Berangkatlah dan hati-hati di jalan! Jangan lupa cepat kembali kalau sudah berhasil,” seru sang ibu. “Baiklah, Bu! Kantan berangkat!” pamit si Kantan sambil mencium tangan ibunya. Tiba-tiba suasana haru menyelimuti hati ibu dan anak itu. Tak terasa, sang ibu meneteskan air mata, lalu dipeluknya anak satu-satunya itu dengan erat-erat. “Nak, Jangan lupakan ibumu di sini. Cepatlah kembali!” pesan sang ibu. “Iya, Bu! Kantan berjanji kembali secepatnya,” jawab si Kantan membalas pelukan ibunya.
Setelah itu, berangkatlah si Kantan dengan sebuah tongkang menyusuri Sungai Barumun menuju laut lepas, dan seterusnya pergi ke Malaka. Berhari-hari sudah si Kantan terombang-ambing oleh gelombang di tengah laut. Meskipun perjalanan itu menguras tenaga dan membosankan, namun hal itu tidaklah membuat niat si Kantan surut. Ia yakin bahwa hasil dari penjualan tongkat emas itu akan mengubah nasibnya menjadi lebih baik.
Setibanya di Malaka, ia pun segera menawarkan kepada para pedagang di sana. Seluruh pedagang di kota itu sudah ia tawari, namun tak seorang pun yang sanggup membelinya. Ia pun berniat kembali ke kampung halamannya tanpa membawa hasil. Dalam perjalanan menuju ke pelabuhan, ia bertemu dengan beberapa hulu balang dari Kerajaan Malaka yang sedang berkeliling ronda di kota itu.
“Hai, Anak Muda! Benda apa yang sedang kamu bawa itu?” tanya salah seorang hulu balang.
“Tongkat Emas, Tuan!” jawab si Kantan. Lalu ia menceritakan maksud kedatangannya ke kota itu.
“Bagaimana jika benda itu kamu tawarkan kepada raja kami? Siapa tahu beliau tertarik,” hulu balang lainnya menawarkan.
Si Kantan menerima tawaran itu. Ia kemudian dibawa untuk menghadap kepada sang raja. Setibanya di istana, para hulu balang melaporkan kepada raja, bahwa pemuda miskin itu ingin menjual sebuah benda yang sangat berharga. Sang Raja kemudian mengamati benda itu. “Aduhai, istimewa sekali benda ini,” gumam Baginda Raja.
Setelah itu, ia berkata kepada si Kantan, “Hai, Anak Muda! Aku sangat tertarik dengan tongkat emas engkau ini. Tapi, aku tidak ingin membelinya dengan uang. Bagaimana jika engkau tinggal di istana ini dan aku jadikan menantuku?” sang Raja menawarkan.
“Ampun, Baginda! Jika itu kehendak Baginda, hamba menerima tawaran itu,” jawab si Kantan sambil memberi hormat.
Seminggu kemudian, si Kantan pun dinikahkan dengan putri raja yang cantik jelita. Pesta pernikahannya dilangsungkan dengan sangat meriah. Sejak itu, si Kantan resmi menjadi anggota keluarga istana Kerajaan Malaka. Ia bersama istrinya hidup bahagia di istana. Kehidupan yang serba mewah membuat si Kantan lupa kepada ibunya yang sudah tua dan hidup sendirian di kampung. Sementara itu, sang istri selalu mendesak ingin bertemu mertuanya dan ingin melihat kampung halaman suaminya. “Kanda… ! Kapan Kanda akan mengajak Dinda untuk menemui ibu di kampung?” tanya sang istri. Mula-mula si Kantan enggan mengabulkan permintaan istrinya dengan alasan sibuk mengurus istana. Namun, karena didesak terus oleh istrinya dan direstui oleh Baginda Raja, maka si Kantan pun tidak bisa mengelak lagi. “Baiklah, Dinda! Besok pagi kita berangkat,” janji si Kantan kepada istrinya.
Dengan menggunakan kapal pribadinya yang besar dan mewah, si Kantan dan istrinya beserta puluhan prajurit istana berlayar menuju Pulau Sumatera. Setelah berhari-hari mengarungi Selat Malaka, akhirnya kapal si Kantan berlabuh di kota kecil, Labuhan Bilik, yang terletak di muara Sungai Barumun. Penduduk setempat sangat terkejut dengan kehadiran kapal sebesar itu. Mereka pun berdatangan ke pelabuhan ingin melihatnya dari dekat.
“Waaah, megah sekali kapal itu! Tapi, siapa pemiliknya?” kata seorang penduduk penasaran.
“Hai, lihat itu!” seru penduduk lainnya sambil menunjuk ke arah seorang laki-laki gagah bersama seorang wanita cantik berdiri di anjungan kapal.
“Bukankah laki-laki itu si Kantan?” tanya seorang penduduk mengenali si Kantan.
“Benar! Ia adalah si Kantan, pemuda yang tinggal di gubuk di tepi sungai itu,” kata seorang penduduk yang juga mengenal si Kantan.
Maka tersiarlah kabar bahwa si Kantan telah menjadi kaya-raya, bagai seorang raja dengan kapalnya yang besar dan megah. Akhirnya, kabar kedatangan si Kantan pun terdengar oleh ibunya. Perempuan tua itu sangat gembira, karena anak yang ditunggu-tunggunya selama bertahun-tahun telah kembali. Saat menerima berita itu, ia memutuskan untuk menunggu anaknya dengan sabar di gubuk reotnya. Namun, setelah beberapa lama menunggu, anak yang dirindukannya tak kunjung datang. Akhirnya, ibu tua itu memutuskan untuk menyusul anaknya di pelabuhan.
Dengan menggunakan sampan, janda tua itu menyusuri Sungai Barumun menuju pelabuhan tempat kapal si Kantan berlabuh. Ia sudah tidak sabar lagi ingin memeluk anak yang sangat disayanginya itu. Dengan sekuat tenaga, ia mengayuh sampannya lebih cepat lagi. Akhirnya, tampaklah dari kejauhan sebuah kapal besar sedang bersandar di pelabuhan. “Jika benar kata orang-orang, kapal itu pasti milik si Kantan anakku,” pikir janda tua itu. Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, ia terus mengayuh sampannya mendekati kapal megah itu.
Ketika sampan yang dinaiki sudah semakin dekat dengan kapal besar itu, ia segera memanggil anaknya. “Kantaaan… !!! Kantaaan… !!! Kantan anakkuuuuu… !!!”
Mendengar suara teriakan dari luar kapal, istri si Kantan pun bertanya kepada si Kantan,
“Kanda! Suara siapakah yang memanggil-manggil nama Kanda?”
“Ah, itu hanya orang gila,” jawab si Kantan pura-pura tidak peduli, walaupun sebenarnya ia sangat mengenal bahwa suara itu adalah suara ibunya. Namun, ia malu memperkenalkan istrinya dengan ibunya yang miskin lagi tua itu.
Panggilan si ibu kembali terdengar semakin dekat.
“Kantan, Anakku!!! Kamu di mana… ?”
“Ini ibumu datang, Nak!” teriak sang ibu.
Maka semakin yakinlah istri si Kantan, kalau yang memanggil suaminya itu adalah mertuanya. Ia semakin penasaran ingin melihat ibu mertuanya yang sudah lama ia rindukan. Ia pun segera lari keluar kapal, tapi disusul oleh si Kantan. Dari anjungan kapal, tampaklah oleh mereka seorang perempuan tua yang sedang mendayung sampan ke arah kapalnya.
“Kantaaan…Anakku! Aku ini ibumu yang telah kau tinggalkan dulu,” teriak ibu tua itu.
“Hei, perempuan jelek! Enak saja mengaku-ngaku sebagai ibuku. Aku tidak punya ibu seburuk kamu!” hardik si Kantan dengan kesal.
“Tenang, Kanda! Siapa tahu wanita itu benar ibu Kanda. Sepertinya ia sangat mengenal Kanda,” sahut sang istri menenangkan suaminya.
“Tidak, Istriku! Ia bukan ibuku. Ibuku masih muda dan cantik,” bantah si Kantan.
“Hei, orang tua gila! Jangan dekati kapalku. Dasar perempuan pembawa sial!” si Kantan kembali mencaci-maki ibunya.
“Pengawal! Usir dia dari sini!” perintah si Kantan.
Setelah beberapa pengawal mengusir perempuan tua itu, si Kantan kembali memerintahkan pengawalnya untuk memutar haluan kapal dan kembali ke Malaka.
Sementera itu, perempuan tua itu bagai disambar petir melihat perilaku anak kesayangannya, yang sungguh di luar dugaan. Dadanya terasa sesak, air matanya pun tak terbendung lagi. Dengan sisa tenaganya, ia mengayuh sampannya kembali ke gubuknya dengan perasaan hancur-lebur. Ia sangat sedih karena telah diusir oleh anak kandungnya sendiri. Dengan deraian air mata, ia pun berdoa, “Ya Tuhan, anak itu telah mendurhakai ibunya yang telah melahirkan dan membesarkannya ini. Berilah ia pelajaran, agar ia menjadi anak yang tahu berbakti kepada orang tua!”
Baru saja ucapan itu lepas dari mulut sang ibu, tiba-tiba petir menyambar, hujan badai yang sangat dahsyat pun datang. Tak berapa lama, air Sungai Barumun pun bergulung-gulung lalu menghantam kapal si Kantan dengan bertubi-tubi. Tak ayal lagi, kapal besar yang megah itu pun tenggelam ke dasar Sungai Barumun. Seluruh awak kapal tak dapat menyelamatkan diri, termasuk si Kantan dan istrinya. Setelah kapal itu sudah tak tampak lagi, suasana kembali tenang seperti semula.
Beberapa hari kemudian, muncullah sebuah pulau kecil di tempat kejadian itu, yaitu tepatnya di tengah-tengah Sungai Barumun dan berhadapan dengan kota Labuhan Bilik. Kemudian pulau itu oleh masyarakat setempat diberi nama Pulau Si Kantan.
* * *
Cerita di atas termasuk cerita teladan yang berisi pesan-pesan moral. Salah satu pesan moral yang terkandung di dalamnya adalah akibat buruk dari sikap durhaka kepada orang tua. Akibat buruk itu dialami si Kantan, karena ia tidak mau mengakui ibu kandungnya sendiri setelah ia menjadi kaya-raya. Bahkan, ia berani menghardik dan mengusir ibunya. Maka, Tuhan pun murka kepadanya, dan akhirnya ia ditenggelamkan bersama kapalnya yang besar dan megah itu ke dasar Sungai Barumun.
Durhaka kepada orang tua merupakan perbuatan yang sangat tercela. Oleh karena itu, sikap ini sangat dipantangkan dalam kehidupan orang-orang Melayu. Terkait dengan hal ini, orang tua-tua Melayu banyak menyebutkan dalam untaian pantun mengenai keburukan sikap ini, di antaranya:
No comments
berkomentar sesuai dengan jatidirimu