Mossak Seni Bela Diri Batak
Salah satu warisan budaya yang dimiliki masyarakat tradisional di Sumatera Utara adalah seni bela diri. Di Batak Toba dikenal dengan sebutan mossak. Di Karo dinamai ndikar. Baik mossak dan ndikar dalam terminologi seni bela diri Indonesia masuk kategori silat. Sebagai seni bela diri, mossak tidak sekedar keterampilan bertarung. Mossak juga mengajarkan keterampilan yang sifatnya kebatinan, Juga pengetahuan akan obat-obatan. Kompleksitas “ilmu” yang diajarkan dalam mossak itu membuat tak semua orang mampu dan berhak belajar mossak. Hal itu disampaikan seorang budayawan sekaligus pelaku pengobatan alternatif, RM Sirait.
Dijelaskan Sirait, pada dasarnya mossak mengajarkan seseorang untuk bersatu dengan Tuhan melalui media alam. Manusia adalah bagian kecil dari zat yang ada di alam semesta. Zat-zat lain ada pada alam. Apakah itu udara, air, api, tanah, maupun makhluk hidup lainnya.
“Manusia sendiri diberi berkat oleh Tuhan untuk dapat
mempersatukan zat-zat itu ke dalam dirinya. Tujuannya banyak. Bisa untuk
kekuatan, penyembuhan maupun untuk melihat masa yang akan datang,” kata Sirait
yang mengaku belajar mossak dari guru spiritual Sorimangaraja Sitanggang.
Gerak dasar mossak diawali dengan kuda-kuda, dimana seseorang
berposisi setengah jongkok dan kedua kaki kakinya diangkat bergantian dengan
mengikuti titik berat tubuh. Kemudian tangannya digosokkan ke punggung sebagai
persiapan untuk menyerang, menangkis maupun bertahan.
Itulah yang menjadi ciri khas mossak. Kuda-kudanya lebih lebar dan rendah. Kedua kaki diangkat saling bergantian mengikuti berat tubuh. Konon, gerakan itu terinsipirasi dari cerita seseorang yang tengah membakar api unggun di tengah hutan. Saat itu malam sangat dingin dan pekat. Orang itu jongkok di bawah pohon sambil mengarahkan kedua tangannya dalam posisi telungkup ke arah api. Karena tangannya mulai panas ia menggosok-gosokkan tangannya ke punggungnya. Kemudian tiba-tiba sebuah ranting jatuh dan refleks ia menangkisnya. Gerakan itulah kemudian dijadikan gerakan dasar mossak. Namun kini mossak sendiri sudah hampir punah. Setahu Sirait, hanya Soringamangaraja Sitanggang yang masih meneruskannya.
Salah satu faktor punahnya mossak, adalah karena ketakutan penerus mossak menurunkan mossak kepada generasi sesudahnya. “Kalau pengetahuan dan kebatinannya lemah, bisa mempengaruhi kepercayaan mereka terhadap Maha Pencipta,” jelas Sirait.
Budaya Melayu
Sejarah silat di nusantara adalah bagian dari kebudayaan Melayu
yang merupakan kebudayaan induk nusantara. Penyebutan Melayu sendiri diberikan
bagi masyarakat yang tinggal di pesisir, terutama di sepanjang Selat Malaka
(Sumatera).
Sebagai kebudayaan yang terbuka, kebudayaan Melayu lahir dari proses hibridisasi berbagai kebudayaan yang dibawa oleh pedagang dari India, China, Arab, Turki, dan lainnya. Kebudayaan-kebudayaan itu beradaptasi dengan kebudayaan penduduk asli. Termasuk silat. Menurut berbagai sumber, diperkirakan silat menyebar ke nusantara sejak abad ke-7. Perkembangan silat di kemudian hari semakin berkembang berkat pengaruh kaum ulama, seiring dengan penyebaran agama Islam pada abad ke-14 di nusantara.
Kala itu pencak silat telah diajarkan bersama-sama dengan pelajaran agama di surau-surau. Silat lalu berkembang dari sekadar ilmu bela diri dan seni tari rakyat menjadi bagian dari pendidikan bela negara untuk menghadapi penjajah. Pencak silat juga menjadi bagian dari latihan spiritual.
Saat ini silat lebih berkembang di Pulau Jawa. Antara lain pada masyarakat Betawi, Sunda, Madura dan Bali. Di Betawi sendiri silat telah berkembang sebanyak 300 aliran. Salah satu aliran silat Betawi adalah silat cingkrik dengan Si Pitung sebagai ikonnya. Sementara di Sumatera hanya berkembang di masyarakat Minangkabau. Yang lainnya terancam punah, termasuk mossak (Toba) dan ndikar (Karo).
No comments
berkomentar sesuai dengan jatidirimu