Header Ads

Suku Simeulue dan penduduknya

Suku Simeuleu berdiam dilima kecamatan dalam Kabupaten Aceh Barat yaitu di Kecamatan Simeuleu Timur, Simeuleu Barat, Simeuleu Tengah, Salang dan Teupah Selatan. Secara geografis daerah tersebut mencakup Pulau Simeuleu yang terletak di sebelah barat pantai Pulau Sumatera. Jumlah populasinya sekarang diperkirakan sekitar 60.000 jiwa. Pada abad ke delapan belas Pulau Simeuleu dikenal dengan nama Pulau Ue “pulau kelapa”, karena daerah ini banyak menghasilkan kelapa. Nama Simeuleu dalam bahasa Aceh berarti “cantik”. Asalnya ketika seorang ulama Aceh datang ke pulau itu atas perintah sultannya, dalam perjalanannya ulama itu mengawini seorang gadis cantik anak seorang pemimpin penduduk aslinyaa. Karen itu pengaruh kebudayaan Aceh amat dominan dalam masyarakat ini. Pulau Simeuleu dikenal pula dengan nama Simalur atau Simalul.

Dalam sebuah situs disebutkan bahwa kata “Simeulue” diambil dari bahasa Aceh yang berarti “Cantik”. Sementara itu, Sinabang yang menjadi Ibukota Simeulue sering diucapkan dengan logat daerah masyarakat di sana, “Sinafang”, yang artinya “senapan” atau senjata api. Aneh memang, daerah yang tak pernah terdengar letusan senjata selama konflik di Aceh malah diambil dari nama “senjata api”. Namun demikian, semua itu tak aneh lagi jika kita membaca buku sejarah tentang Aceh. Di sana disebutkan bahwa pembubuhan nama “Senapan” yang berasal dari kata “Sinafang” lalu menjadi Sinabang itu bermula saat wilayah Aceh dijajah oleh Kompeni Belanda.

Menyimak sejarah pulau kecil dan terpencil di Aceh ini, sungguh sebuah kebanggan bagi Aceh. Ia bukan hanya jauh dari konflik bersenjata, tetapi juga jauh dari amuk gelombang tsunami yang sempat melenyapkan ratusan ribu nyawa akhir Desember 2004 lalu. Kendati letaknya berupa pulau dikelilingi oleh lautan, Simeulue, saat terjadi amuk tsunami sangat minim terjadi korban jiwa. Hal ini karena masyarakat di sana memiliki kearifan lokal yang sudah mengenal geliat gelombang laut saat akan meluah ke darat. Tsunami bagi masyarakat Simeulue disebut dengan smong, yakni peristiwa air laut surut setelah terjadi gempa. Saat mengalami kejadian seperti ini, masyarakat seluruhnya lari ke bagian tempat yang sangat tinggi. Oleh karenanya, meskipun Simeulue berada pada palung laut dunia dan pada pertemuan lempeng Asia dengan lempeng Australia, yang sangat sedat dengan pusat gempa tsunami 2004, pulau Simeulue tetap selamat. Akan tetapi bukan berarti selamanya pulau kebanggaan Aceh akan senantiasa damai jika penebangan hutan masih merajalela. Semoga pemerintah bisa menanganinya.


SIMEULUE awalnya dinamakan dengan Pulo U (Pulau Kelapa). Hal tersebut disebabkan banyaknya pohon kelapa di daerah tersebut. Tidak banyak catatan sejarah mengenai asal usul penamaan Simeulue. Namun berdasarkan buku Budaya Aceh yang diterbitkan oleh Pemerintah Aceh tahun 2009 menceritakan Simuleu berasal dari nama seorang gadis yang diculik. Buku ini ditulis oleh Abdul Rani Usman, Asli Kesuma, Azhar Munthasir, Badruzzaman Ismail, HS Soetardji M, LK Ara, Nurdin AR, Raihan Putry Ali Muhammad, dan Yusri Yusuf.

Dalam buku tersebut diceritakan, pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Tsani, berdasarkan dongeng yang ada, terjadi penculikan anak-anak dalam jumlah yang banyak. Salah satu penculik tersebut bernama Sonsangbulu. Dia terkenal dengan sebutan Inolafu.

Inolafu mencari mangsanya di sekitar Teluk Simeulue (bunga melur). Dalam aksinya dia berhasil menculik seorang puteri yang sangat cantik bernama Simeulue. Kecantikan puteri ini sangat terkenal sehingga dia diserahkan kepada sultan dan ditempatkan di keraton. Simeulue kemudian diislamkan. Sementara pulau asalnya diganti namanya menjadi Simeulue.


Pada periode sebelum masuknya Islam, Pulau Simeulue dibagi dalam lima daerah yang disebut Banno. Banno adalah daerah atau kawasan tempat penduduk yang dipimpin oleh masing-masing kepala suku. Kelima Banno tersebut yaitu Banno Teupah, Siemeulue, Lekon, Along, dan Banno. Setelah Islam masuk, Simeulue kemudian tunduk kepada Kerajaan Aceh Darussalam. Pada masa itu, Sultan Aceh mengutus seorang ulama untuk mengislamkan penduduk pulau ini.  

Di bawah pemerintahan Kerajaan Aceh Darussalam, kemudian pulau ini dibagi menjadi lima kerajaan kecil yang dipimpin oleh masing-masing seorang raja. Kelima kerajaan tersebut adalah Teupah, Kerajaan Simeulue, Kerajaan Along, Kerajaan Lekon, dan Kerajaan Sigulai.  Sementara pada masa Belanda, Pulau Simeulue masuk dalam bagian afdelling wetkust van Aceh, yang popular dengan sebutan Onder afdeling Simeulue. Daerah ini dipimpin oleh seorang Controleur dan dibagi menjadi lima landschap. Kelima landschap tersebut adalah Sinabang yang ibukotanya Sinabang, Simeulue beribukota Pulau Aie, Salang beribukota Nasrehe, Lekon beribukota Lekon, dan Sigulai beribukota Lamamek. 

Saat Jepang masuk pada 1942, Pulau Simeulue juga menjadi incaran pasukan Dai Nippon. Tidak ada perubahan selama Jepang menancapkan kakinya di sana. Mereka hanya mengganti landschap dengan son dan dikepalai oleh seorang Suntyoo. Pada masa Indonesia merdeka, 17 Agustus 1945, Simeulue berubah menjadi kewedanaan yang dipimpin oleh seorang wedana dan berkedudukan di Sinabang. Kewedanaan Simeulue saat itu berada di bawah binaan Bupati Aceh Barat. Saat itu, pemerintah juga merampingkan lima wilayah landschap menjadi empat kenegerian. Istilah kenegerian ini kemudian berganti menjadi kecamatan. Setidaknya ada tiga kecamatan yang menaungi wilayah Simeulue saat itu. Keempat kecamatan tersebut adalah Kecamatan Simeulue timur (bekas Teupah son) dengan ibukotanya Kampung Aie, Kecamatan Simeulue Barat dengan ibukotanya Sibigo, Kecamatan Teupah Selatan dengan ibukotanya Labuhan Bajou, dan Kecamatan Salang dengan ibukotanya Nasrehe. Saat ini, Simeulue berubah menjadi daerah kabupaten dengan ibukotanya tetap berada di Sinabang. 

Masih menurut buku Budaya Aceh, asal usul etnik Simeulue diperkirakan datang dari daratan Sumatera. Ada dua rombongan yang tergolong sebagai pendatang pertama ke pulau tersebut. Pertama, rombongan yang dipimpin oleh Lasenga, menempati daerah Teupah, Simeulue Tengah dan mereka dinamakan orang Lasali. Kedua, rombongan yang dipimpin oleh Lamborek, yang menempati daratan Salang, Sigulai (Simeulue Barat), dan Leukon. Mereka kemudian dipanggil dengan sebutang orang Lafung Lasal.  Rombongan selanjutnya datang orang Bugis. Pendatang baru ini kemudian menempati Simeulue Barat dan Simeulue Tengah. Di Simeulue Barat mereka dinamakan orang Lanteng, dan Simeulue Tengah disebut orang Chabu.  Pendatang selanjutnya berasal dari Aceh dan Pedir. Mereka kemudian dikenal dengan sebutan suku dagang.

Bahasa Suku Simeulue

Bahasa Simeuleu dianggap salah satu dialek dari bahasa Aceh. Bahasa asli atau bahasa yang dianggap paling tua di masyarakat ini adalah bahasa yang disebut Sigulai. Sementara itu ada pula ahli yang menemukan beberapa variasi dialek lain dalam bahasa Simeuleu.


Kekerabatan Suku Simeulue

Rumah tangga orang Simeuleu biasanya hanya terdiri dari satu keluarga inti, dimana ayah menjadi kepala keluarga, sekaligus sebagai orientasi prinsip patrilineal yang mereka anut. Pasangan yang baru menikah akan tinggal di rumah orang tua pihak perempuan paling tidak satu tahun atau setelah mereka memiliki anak pertama, sesudah itu baru membentuk rumah tangga sendiri. Adat uksorilokal ini oleh masyarakat disebut mengeneng adat. Kesatuan hidup komunal setempat disebut kampung yang dikepalai oleh seorang keucik. Pada masa dulu kepala kampung ini dipanggil dengan gelar Datuk. Pemimpin tradisional lain ialah imeum meunasah “ulama” dan tuha peut “cerdik pandai”. Beberapa kampung bergabung dalam satu kemukiman yang dikepalai oleh seorang kepala mukim. Setiap kemukiman juga mengenal pemimpin lain seperti imeum ciek atau imeum masijit “imam masjid”.

Walaupun pada masa sekarang pelapisan sosial yang tejam tidak ketara, akan tetapi sisa-sisa pengaruh lama masih kelihatan dalam pengelompokan sosial mereka. Masih ada golongan raja-raja atau bangsawan yang dihormati masyarakat. Selain itu peran golongan ulama dan cerdik pandai juga masih dominan. Pada masa sekarang ada pula golongan ata kayo “orang kaya”. Kesenian Simeuleu banyak dipengaruhi oleh kebudayaan masyarakat daratan Sumatera speperti pengaruh Aceh dan Minangkabau. Kesenian nandong dan kumendang misalnya ialah tarian bersyair yang dipengaruhi oleh kesenaian Minangkabau. Kesenian yang dipengaruhi Aceh misalnya seni nanga-nanga “tradisi lisan”, tari-tarian seperti rapai dabus, tonjou, angguk, mincar, saramo dan angkun.


Mata Pencaharian Suku Simeulue

Mata pencaharian utama mereka ialah bertani di kebun. Tanaman utamanya ialah kelapa, kopi, cengkeh dan sebagian ada juga bertani padi di sawah. Sebagian lagi beternak kerbau, nelayan, pedagang kecil atau pengumpul hasil hutan. Dalam pertanian ini mereka masih menggunakan peralatan sederhana seperti cangkul, dikeh “guru”, parang, tuai “ani-ani”, tembilang dan endok “lesung” untuk menumbuk padi. Begitu juga dengan mata pencaharian lain, umumnya masih menggunakan peralatan tradisional. 

Agama Dan Kepercayaan Suku Simeulue

Masyarakat Simeuleu pada masa sekarang sudah memeluk agama Islam sebagai kepercayaannya. Tetapi dalam kebudayaan mereka masih ditemukan upacara-upacara animisme, seperti pemakaian mantera-mantera lama dengan membakar kemenyan, misalnya untuk kegiatan pertanian yang disebut dengan upacara kenduri blang.


Seni Khas Simeulue

Perkembangan seni di Simeulue dilandasi dengan budaya Aceh sendiri. Di Simeulue terdapat seni budaya tersendiri, baik dalam seni tarian, musik dan kesenian yang berbau spiritual. Adapun beberapa jenis Tarian Simeulue adalah:

1. Nandong

Nandong atau senandung merupakan keseniaan tradisional yang masih membudaya secara turun temurun di Kabupaten Simeulue. Dalam Nandong syair atau pantun dapat dilantunkan dengan merdu dengan atau tanpa iringan gendang. Namun lazimnya Nandong selalu diringi tabuhan gendang oleh beberapa pemain yang juga merangkap sebagai pelantun syair. Salah satu ciri khas Nandong adalah keahlian dalam merangkai bait-bait syair dengan makna pembangunan dan arti kehidupan sehari-hari. Kesenian nandong dapat berlangsung sepanjang malam hingga pagi hari, selain pada acara khusus, seperti acara: Perkawinan dan Khitanan, Nandong sering dilakukan sebagai alat sosialisasi sehari-hari. Khusus pada acara perkawinan biasanya dilaksankana pada malam sebelum akad nikah yang dalam prosesi adat perkawinan Simeulue disebut “Mallaulu”.

2. Angguk Rafa’I

Angguk Rafa’I merupakn salah satu Kesenian Tradisional Kabupaten Simeulue. Tarian ini sering ditampilkan pada acara-acara tradisonal, karena isinya syarat dengan nilai keagamaan yang mengagungkan kebesaran Allah SWT. Para penari yang menggerakkan kepala, tangan dan badan secara bergantian, kadang sambil memainkan rebana/gendang merupakn keunikan dari kesenian ini.


3. Rafa’I Debus

Rafa’I Debus biasanya ditampilkan bersamaan dengan angguk pada acara pernikahan, penyambutan tamu atau acara resmi lainnya. Diringi tabuhan rebana pelaku debus mempertontonkan kekebalan anggota tubuh dalam menghadapi sayatan dan tusukan benda tajam seperti pisau, parang, rantai, kayu atau bamboo yang ditajamkan. Biasanya penampilan kesenian ini dipimpin oleh seorang yang dipandang ahli, di Simeulue disebut dengan Khalifah.


4. Tari andalas

Tari andalas berasal dari daerah Barus, Sumatera Utara. Tarian ini ditampilkan pada acara resmi penyambutan tamu, acara perkawinan dan acara tradisional lainnya.

5. Tari Sikambang

Tari Sikambang atau buai merupakan salah satu tarian yang membudaya di Simeulue yang berasal dari daerah Singkil. Tarian ini sering ditampilkan pada cara perkawinan, khitanan, turun anak dan juga menerima tamu para tamu kehormatan. Tari Sikambang dimainkan oleh dua orang laki-laki dan perempuan. Dalam tarian ini, kedua pemain juga melantunkan syair-syair yang berisi do’a/permintaan kepada Tuhan yang maha pengasih yang dilantunkan dalam bentuk buain dengan harapan anak yang dimaksud, apabila dalam keadaan sakit semoga cepat sembuh dan manakala anak yang dibuai dalam kedaan sehat, maka do’a dan harapan menjadi anak yang baik, anak yang sholeh/sholeha, berguna bagi bangsa, Negara dan agama serta menjadi anak yang berbakti kepada kedua orang tua.

Pulau Hutan Simeulue

Wilayah Simeulue ini memiliki potensi hutan mencapai 100.000 hektar lebih. Dengan demikian, 50% dari total wilayah kepulauan terpencil ini diisi dengan hutan. Sayangnya, pemanfaatan hutan di kepulauan ini masih memerlukan tindakan tegas dari pemerintah. Selama ini, pemanfatan hutan di Simeulue cenderung disalahgunakan dengan penebangan ilegal. Selain jenis kayu bulat, hutan Simeulue juga menghasilkan beberapa jenis rotan, seperti manau, saga, dan lain-lain. Oleh karenanya, hutan dan hasilnya di Simeuelu telah menjadi penyumbang terbesar kedua bagi kegiatan ekonomi masyarakat setempat, setelah peternakan. Adapun penyumbang utama bagi perekonomian masyarakat Simeulue, lebih kepada pertanian. Pertanian cengkeh merupakan hasil devisa terbesar daerah ini. Menurut mantan Wakil Bupati Simeulue, Ibnu Aban, masyarakat Simeulue sebagian besar hidup dari hasil cengkeh dan kelapa. “Tahun 1970-an hingga 1980-an, warga Simeulue mendapat hasil yang lumayan dari pertanian cengkeh. Dengan cengkeh pula, banyak masyarakat di sini yang mampu menyekolahkan ana-anaknya ke luar,” kata Ibnu Aban semasa masih menjabat wakil bupati setempat, seperti diterbitkan oleh puloe-simeulue.blogspot.com.

Namun, setelah itu harga cengkeh anjlok sehingga kejayaan masyarakat Simeulue pun sirna. Akibatnya, pohon cengkeh tak terurus lagi. Data pemerintah setempat menunjukkan sedikitnya 18.414 hektar tanaman cengkeh produktif di Simeulue tahun 1995. Namun, jumlah itu kini anjlok hingga 50 persen karena petani enggan merawat dan mengusahakan tanaman itu akibat anjloknya harga. Di sana juga tercatat sekitar 6.000 hektar tanaman kelapa, sekitar 18.814 hektar areal sawah. Hal yang sangat mengejutkan selanjutnya di pulau kecil dan terpencil itu adalah populasi ternak kerbau mencapai 45.000 ekor. Tentu ini sangat menakjubkan, sebab penduduk di sana hanya berkisar sekira 66.306 jiwa.


Jauh dari Konflik Senjata

Secara geografis, Kepulauan Simeulue terletak pada posisi 4-4,3 LU dan 96-07 BT. Wilayah ini memiliki keluasan 205.955 hektar, dengan panjang pulau sekitar 97,5 kilometer dan lebar 15,8 kilometer. Oleh karena letaknya yang terpaut hingga 150 kilometer dari pantai barat Aceh, Simeulue aman dari konflik bersenjata yang pernah melanda Aceh hingga 32 tahun. Sampai sekarang, kita tidak pernah mendengar ada Panglima GAM wilayah Simeulue. Ini salah satu pertanda masyarakat di Simeulue hidup bermasyarakat tanpa menghendaki konflik bersenjata. Memang hampir tak ditemui fakta sejarah yang menunjukkan keadaan pulau Simeulue sebagaimana wilayah lain di Aceh. Namun, tak dapat pula dipungkiri di pulau kecil itu hidup masyarakat bersuku-suku. Suku Simeulue memiliki bahasa yang disebut bahasa Devayan dengan beberapa dialek. Akan tetapi, masyarakat Simeulue, jika sudah keluar dari pulau itu, lebih senang berbahasa Jamee sesama dia daripada bahasa Simeulue. Rasa kurang percaya terhadap bahasa sendiri bagi masyarakat Simeulue membuat mereka ‘malu’ berbahasa Devayan. Ditambah lagi ada isu yang menyebutkan bahasa Simeulue adalah “mirip bahasa burung”. Padahal, semua bahasa memiliki keunikan tersendiri sehingga seyogianya masyarakat mana pun tak harus malu berbahasa daerah sendiri, apalagi bahasa itu adalah bahasa ibu.

Secara sepesifik, terdapat tiga bahasa yang dominan dipakai masyarakat Pulau Simeulue, yaitu bahasa Ulau, bahasa Sibigo, dan bahasa Jamee (wikipedia.com). Bahasa Ulau umumnya digunakan oleh masyarakat yang mendiami Kecamatan Simeulue Timur, Teupah Selatan, Simeulue Tengah, Teupah Barat, dan Teluk Dalam. Bahasa Sibigo umumnya dipakai oleh masyarakat yang berdomisili di Kecamatan Simeulue Barat, Alafan, dan Salang. Bahasa Jamee dipakai oleh masyarakat yang mendiami skitar Kota Sinabang. Umumnya mereka yang mendiami Kota Sinabang ini adalah pendatang yang dahulu bermaksud berniaga di pulau tersebut. Kebanyakan mereka adalah suku Minang dan Mandailing. Mungkin karena itu pula, masyarakat Simeulue memiliki ciri seperti orang Cina, bermata sipit.

No comments

berkomentar sesuai dengan jatidirimu

Powered by Blogger.