Header Ads

Suku Tamiang kehidupan dan kebudayaannya

Untuk pembahasan kali ini kami akan mengulas mengenai suku tamiang, dimana dalam hal ini meliputi sejarah, mata pencaharian, kekerabatan, bahasa, agama dan kepercayaan, nah agar lebih memahami dan dimengerti simak ulasannya di bawah ini.

Sejarah Suku Tamiang

Suku Tamiang adalah salah satu kumpulan dari masyarakat yang tinggal di dekat Kabupaten Aceh Tamiang. Masyarakat suku pribumi Tamiang pada tadinya memang memilih untuk bermukim di kecamatan-kecamatan yang terdapat di distrik Kabupaten Aceh Timur. Pada 2002, kabupaten ini berubah nama menjadi Kabupaten Aceh Tamiang. Perubahan nama dari kabupaten ini kemungkinan sebab mayoritas semua penduduk yang bermukim di wilayah itu adalah etnis Tamiang. Beberapa pendapat menuliskan bahwa etnis Tamiang ini adalah para warga yang merantau dari tanah Melayu Seperti Riau dan Sumatra Timur yang imigrasi Tamiang. Kemudian terjadi banyak perkawinan gabungan dengan masyarakat setempat yang semenjak dahulu telah tinggal di daerah tersebut. Keturunan dari difusi ini mencetuskan sebuah kebiasaan baru. Memang terdapat juga wilayah yang memiliki bahasa Tamiang yang nyaris sama dengan bahasa dari kabupaten Langkat provinsi Sumatera utara yaitu masyarakat dari suku pribumi Melayu Langkat. Bukan hanya itu saja namun kebiasaan yang terdapat pada suku mereka pun mempunyai keserupaan dengan suku pribumi Melayu Langkat.

Suku Tamiang berada di enam kecamatan Kabupaten Aceh Timur, antara lain Kec Bendahara, Kec Kejeruan Muda, Kec Seruway, Kec Karang Baru, Kec Tamiang Hulu serta Kec Kuala Simpang. Disaat pendudukan Belanda wilayah ini masuk dalam Kewedanaan Tamiang. Belum ada kutipan yang pasti tentang asal usul suku bangsa ini. Akan tetapi ada yang beranggapan orang Tamiang itu berasal dari penduduk Kerajaan Melayu Raya yang bermigrasi sebab diserang Sriwijaya. Pada wilayah ini mereka membuat beberapa kerajaan, seperti Bendahara, Sungai Iyu, Sutan Muda Seruway, Karang Baru serta Keujeren Muda. Tamiang sendiri berasal dari bahasa Aceh, hitam mieng, artinya "pipi hitam". Nama tersebut diberikah oleh Sultan Muhammad Thahir Bahiansyah (1326-1350) kepada Raja Muda Setia (1330-1352), adalah raja Tamiang pertama yang tunduk kepada Aceh. Dikisahkan raja Tamiang ini mempunyai tahi lalat besar di pipinya. Pada Kitab Negara Kertagama nama kerajaan itu disebut Tumihang.

Namun ada juga yang mengatakan bahwa kata ”TAMIANG” adalah sebuah nama yang berdasarkan legenda dan data sejarah berasal dari: ”Te-Miyang” yang berarti tidak kena gatal atau kebal gatal dari miang bambu. Hal tersebut berhubungan dengan cerita sejarah tentang Raja Tamiang yang bernama Pucook Sulooh, ketika masih bayi ditemui dalam rumpun bambu Betong (istilah Tamiang ”bulooh” ) dan Raja ketika itu bernama Tamiang Pehok lalu mengambil bayi tersebut. Setelah dewasa dinobatkan menjadi Raja Tamiang dengan gelar” Pucook Sulooh Raja Te-Miyang“, yang artinya “seorang raja yang ditemukan di rumpun rebong, tetapi tidak kena gaatal atau kebal gatal”.

Kekerabatan dan Kekeluargaan Suku Tamiang

Kelompok kekerabatan yang terkecil dalam kehidupan Tamiang adalah keluarga inti yang memiliki rumah tangga sendiri. Tetapi masih berada di sekitar pemukiman keluarga asalnya. Masih mengakui bentuk keluarga luas terbatas yaitu kaum biak. Dalam keluarga luas terbatas ini terdapat dua paroh, antara lain belah ayah dan belah ibu. Untuk kehidupan sosial dalam sehari-hari mereka mempercayai prinsip kerabat bilateral. Tetapi untuk masalah warisan serta garis keturunan mereka menggunakan sistem patrilineal. Anak laki-laki tertua sangat berperan dalam keluarga. Untuk kekerabatan mereka memiliki istilah panggilan menurut urutan kelahiran, anak pertama disebut ulung, anak kedua disebut ngah, anak ketiga disebut alang, anak keempat disebut andak, anak kelima disebut uteh serta anak paling bungsu disebut uncu.

Hubungan kekerabatan dalam masyarakat mempunyai motto 'Utang sama ditanggung, malu sama ditudung'. Jadi baik pihak laki-laki maupun pihak perempuan harus bersama menanggulangi beban kekerabatan. Sehingga masyarakat ini seakan-akan ada suatu perbedaan sistem kekerabatan. Kekerabatan dengan mengandalkan kerja sama menurut garis keturunan ayah ke atas disebut kelompok wali adat atau suku sakat. Namun mereka juga mengandalkan kekerabatan menurut garis keturunan ibu ke atas. Kelompok ini disebut wali kurung atau kaum biak, sifatnya matrilokal. Di samping itu mereka juga melembagakan penghormatan kepada leluhur yang disebut ondatu, artinya dengan mengaitkan silsilah diri dalam kedatuan tertentu, contohnya dengan Datu Empat Suku, Datu Delapan Suku, Dua Belas Pihak, dan Tiga Puluh Kerabat.

Kehidupan sosial masyarakat Tamiang tidak tajam, meskipun ada kelompok tertentu yang dianggap bangsawan, adalah golongan ughang bangsawan, yang diberi gelar-gelar yang mereka pakai. Terdapat juga golongan orang terpandang karena akal budi dan jasa-jasanya, yang disebut ughang patut. Dan orang kebanyakkan disebut ughang bepake. Terdapat juga lapisan lain dari dukungan pendidikan tinggi serta harta kekayaan yang menaikkan martabatnya.

Bahasa Suku Tamiang

Bahasa Tamiang masuk dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia atau Austronesia. Dialeknya ditandai dengan pengucapan huruf r menjadi gh, contohnya kata "orang" dibaca oghang. Dan sementara huruf t dibaca dengan c, contohnya kata "tiada" dibaca dengan ciade.

Kepercayaan Suku Tamiang

Masyarakat pribumi etnis Tamiang memilih Islam sebagai kepercayaannya. Mereka paling taat dengan sekian banyak aturan yang terdapat di agama Islam. Bahkan dalam perjalanan kehidupannya, mereka paling lekat dengan beragam doktrin Islam yang tidak saja dipahami secara teori tetapi pun diaplikasikan ke dalam perjalanan hidup mereka. Walaupun begitu, terdapat juga sejumlah masyarakat yang tetap melakukan sekian banyak tradisi adat menurut keyakinan lama yang mereka miliki.

Penduduk ini memeluk agama Islam, dan mereka juga masih mengadakan upacara-upacara tradisional yang berasal dari waktu sebelum Islam, misalnya kenduri blang, turun bibit, tulak bala serta lainya.

Lambang 

Jumlah dua riak air lautan dan tujuh anak tangga menara minyak adalah lambang dari hari lahirnya Kabupaten Aceh Tamiang yaitu tanggal 2 Juli 2002. Kabupaten Aceh Tamiang lahir selain dari perjuangan panjang masyarakat Tamiang juga didukung oleh berbagai potensi daerah, diantaranya yang terbesar adalah Perusahaan Tambang Minyak Nasional (Pertamina) yang memberikan kontribusi besar bagi lahir dan berkembangnya Kabupaten Aceh Tamiang disamping potensi kelautan diantaranya tambak udang dan tambak ikan dan merupakan salah satu aset pendapatan daerah.

BINGKAI SEGI LIMA Dengan warna kuning yang diapit oleh warna hijau dapat diartikan kemuliaan dalam kesejahteraan dan kemakmuran sebagai daerah yang dalam kehidupan bernegara berada dibawah dasar falsafah Pancasila dan kehidupan beragama dengan tuntunan rukun Islam yang lima.

PUCOK REBONG Adalah lambang dan sejarah masyarakat Tamiang yang kekuatan legendanya telah mengikat dalam kehidupan masyarakat sebagai awal dari asal kata Tamiang dan dapat memberi makna kepada suatu pertumbuhan yang kokoh dalam persatuan, hidupnya yang berumpun dapat dicerminkan pada kehidupan bambu, dimana yang muda menjadi benteng pelindung mengelilingi yang lebih tua berada ditengah.

TEPAK SIREH Adalah lambang adat yang dimiliki oleh 3 (tiga) suku perkauman di Tamiang yaitu Suku Perkauman Aceh, Suku Perkauman Tamiang, dan Suku Perkauman Gayo. Tepak adalah tempat sireh yang disusun sebagai sempene resam pengiring sembah pembuka madah, ketika kata akan dimulai, sireh sombul disorong dahulu. Sireh juga melambangkan persahabatan dan persaudaraan dimana setiap orang menyodorkan sireh untuk dimakan, berarti perdamaian dan persahabatan kesemuanya merupakan pelambang rukun dan damai mencakup seluruh ruang lingkup tatakrama kehidupan. Peranan tepak yang berisi sireh susun merupakan kelengkapan peradapan dari resam qanun yang tersimpul dalam kate tetuhe ” Mulie Kaom Bersireh Tepak, Kembang Kerabat Manih Bahase “.

KAPAS DAN PADI Melambangkan kehidupan pertanian yang dapat membawa kepada kemakmuran dalam usaha yang gigih. Pertanian yang merupakan usaha dari sebahagian masyarakat wilayah Tamiang baik dari tanaman keras tahunan seperti kelapa sawit, karet dan lain-lain yang telah memberikan hasil bagi pendapatan daerah serta tanaman jangka pendek seperti palawija yang mampu membawa kepada kehidupan masyarakat yang makmur dari berbagai hasilnya disamping perluasan areal percetakan sawah baru yang juga membawa arah kemakmuran masyarakat.

MENARA MINYAK Sebagai lambang dari sumber daya hasil bumi berupa minyak dan gas bumi yang dikelola oleh Perusahaan Tambang Minyak Nasional (Pertamina) milik Pemerintah serta lambang kelautan yang merupakan kekayaan hasil laut, disamping sebagai sarana akses transportasi bagi lalu lintas perdagangan juga adalah sumber yang dapat memberikan kemakmuran masyarakat.

BUKU Merupakan lambang dari ilmu pengetahuan bagi sumber daya manusia yang dapat meningkatkan kwalitas melalui peningkatan minat baca kepada sumber- sumber ilmu pengetahuan.

BINTANG Adalah lambang dari ketuhanan, dimana masyarakat wilayah Tamiang dalam kehidupannya ta’at dan tunduk dari tuntunan syari’at Islam secara berdampingan dengan adat istiadat Tamiang. Ikatan yang mempersatukan padi dan kapas berjumlah 8 (delapan) ikatan, adalah lambang persatuan diantara masyarakat dari 8 (delapan) Kecamatan. Kabupaten Aceh Tamiang mencakup 8 (delapan) Kecamatan yang terdiri dari berbagai etnis dan suku bangsa diantaranya Suku Tamiang, Suku Aceh dan Suku Gayo dimana merupakan suku asli dari wilayah tamiang disamping suku pendatang yang telah menetap di wilayah Kabupaten Aceh Tamiang seperti Jawa, Batak, Minang, Tionghoa dan lain-lain. Semuanya etnis dan suku hidup rukun, damai dan bersatu serta membaur dengan keberadaan masyarakat asli Tamiang dengan toleransi yang tinggi dan merupakan satu prinsip yang telah diwarisi secara temurun dikenal dengan ungkapan ” Digoyang Buleh, Dicabut Te’ek “. Toleransi tersebut dibatasi dalam wewenang yang nenberikan kebebasan terarah dimana tercermin dalam kate tetuhe ” Tande Belang Ade Batehnye, Tande Empus Berantare Paga “.

Mata Pencaharian Suku Tamiang

Tempat bermukim atau lokasi tinggal dari suku pribumi etnis Tamiang ini dipecah menjadi dua bagian. Daerah kesatu yakni wilayah yang terletak di sebelah barat Kabupaten Aceh Timur. wilayah ini memiliki sejumlah kecamatan antara beda Kecamatan Kejuruan Muda, Kecamatan Karang baru dan pun Kecamatan Tamiang Hulu.

Selain bermukim di Kabupaten Aceh Timur sebelah barat, masyarakat Tamiang pun tinggal di wilayah pantai. Permukiman masyarakat Tamiang itu terletak salah satu hutan bakau dan juga wilayah yang berawa-rawa. Sementara wilayah di terpencil yang dijadikan lokasi tinggal mereka yaitu lokasi yang jaraknya dekat dengan perkebunan, wilayahnya luas dan pun dekat dengan hutan alam. Banyak yang mereka dapatkan dari alam antara lain yakni kelapa sawit dan pun karet.

Sejarah Kabupaten Tamiang

Tamiang pada awalnya merupakan satu kerajaan yang pernah mencapai puncak kejayaan dibawah pimpinan seorang Raja Muda Sedia yang memerintah selama tahun 1330-1366 M. Pada masa kerajaan tersebut wilayah Tamiang dibatasi oleh daerah-daerah :

Sungai Raya/Selat Malaka di bagian Utara

· Besitang di bagian Selatan

· Selat Malaka di bagianTimur

· Gunung Segama (gunung Bendahara / Wilhelmina Gebergte) di bagian Barat.

 Pada masa kesultanan Aceh, kerajaan Tamiang telah mendapat Cap Sukureung dan hak Tumpang Gantung (Zainuddin, 1961, 136-137) dari Sultan Aceh Darussalam, atas wilayah Negeri Karang dan negeri Kejuruan Muda. Sementara negeri Sulthan Muda Seruway, negeri Sungai Iyu, negeri Kaloy dan negeri Telaga Meuku merupakan wilayah yang belum mendapat cap Sikureung dan dijadikan sebagai wilayah protector bagi wilayah yang telah mendapat cap Sikureung.

Pada tahun 1908 terjadi perubahan Staatblad No.112 tahun 1878, yakni Wilayah Tamiang dimasukkan ke dalam Geuverment Aceh en Onderhoorigheden yang artinya wilayah tersebut berada dibawah status hokum Onder afdelling. Dalam Afdeling Oostkust Van Atjeh (Aceh Timur) terdapat beberapa wilayah Landschaps dimana berdasarkan Korte Verklaring diakui sebagai Zelfbestuurder dengan status hukumOnderafdelling Tamiang termasuk wilayah-wilayah :

· Landschap Karang

· Landschap Seruway / Sultan Muda

· Landschap Kejuruan Muda

· Landschap Bendahara

· Landschap Sungai Iyu, dan

· Gouvermentagebied Vierkantepaal Kualasimpang.

Data – data Kerajaan Tamiang :

1. Prasasti Sriwijaya yang diterjemahkan oleh Prof. Nilkanta Sastri dalam ”The Great Tamralingga (capable of) Strong Action in dangerous Battle“ (Moh. Said 1961:36).

2. Data kuno Tiongkok (dalam buku ”Wee Pei Shih”) ditata kembali oleh I.V.Mills, 1937, halaman 24 tercatat negeri Kan Pei Chiang (Tamiang) yang berjarak 5 Km (35 Mil Laut) dari Diamond Point (Posri).

3. Kerajaan Islam Tamiang dalam The Rushinuddin’s Geographical Notices (1310 M).

4. Tercatat sebagai ”Tumihang” dalam syair 13 buku Nagara Kartagama (M. Yamin, 1946: 51).

5. Benda-benda peninggalan budaya yang terdapat pada situs Tamiang ( Penemuan T.Yakob, Meer muhr dan Penulis Sartono dkk ).

 Berkaitan dengan data diatas serta hasil penelitian terhadap penemuan fosil sejarah, maka nama Tamiang dipakai menjadi usulan bagi pemekaran status wilayah Pembantu Bupati Aceh Timur Wilayah-III meliputi wilayah bekas Kewedanaan Tamiang.

Tuntutan pemekaran daerah di Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebenarnya telah dicetuskan dan diperjuangkan sejak tahun 1957 awal masa Propinsi Aceh ke-II, termasuk eks Kewedanaan Tamiang diusulkan menjadi Kabupaten Daerah Otonom.

Berikutnya usulan tersebut mendapat dorongan semangat yang lebih kuat lagi sehubungan dengan keluarnya ketetapan MPRS hasil sidang umum ke-IV tahun 1966 tentang pemberian otonomi yang seluas-luasnya.

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah-Gotong Royong (DPRD-GR) Propinsi Daerah Istimewa Aceh dalam usul memorendumnya tentang Pelaksanaan Otonomi Riel dan luas dengan Nomor B-7/DPRD-GR/66, terhadap Pemekaran Daerah yang dianggap sudah matang untuk dikembangkan secara lengkap adalah sebagai berikut :

  1. Bekas Kewedanaan Alas dan Gayo Lues menjadi Kabupaten Aceh Tenggara dengan ibukotanya Kutacane;
  2. Bekas daerah Kewedanaan Bireun, menjadi Kabupaten Djeumpa dengan ibukota Bireun;
  3. Tujuh kecamatan dari bekas kewedanaan Blang Pidie menjadi Kabupaten Aceh Barat Daya dengan ibukota Blang Pidie;
  4. Bekas Daerah “Kewedanaan Tamiang” menjadi Kabupaten Aceh Tamiang dengan ibukotanya Kualasimpang;
  5. Bekas daerah Kewedanaan Singkil menjadi Kabupaten Singkil dengan ibukotanya Singkil;
  6. Bekas daearh Kewedanaan Simeulue menjadi Kabupaten Simeulue dengan ibukotanya Sinabang;
  7. Kotif Langsa menjadi Kotamadya Langsa.

Usulan tersebut diatas sebahagian besar sudah menjadi kenyataan dari 7 wilayah usulan, saat ini yang sudah mendapat realisasi sebanyak 4 wilayah dan Tamiang termasuk yang belum mendapatkannya.

Bertitik tolak dari hal-hal tersebut diatas dan sesuai dengan tuntutan dan kehendak masyarakat di Wilayah Tamiang, maka selaras dengan perkembangan zaman diera reformasi, demokrasi wajar kiranya bila masyarakat setempat mengajukan pemekaran dan peningkatan statusnya.

Sebagai tindak lanjut dari cita-cita masyarakat Tamiang tersebut yang cukup lama proses secara historis, maka pada era reformasi sesuai dengan undang-undang No. 22 tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah, pintu cita-cita tersebut terbuka kembali serta mendapat dukungan dan usul dari :

1. Bupati Aceh Timur, dengan surat No. 2557/138/ tanggal 23 Maret 2000, tentang usul peningkatan status Pembantu Bupati Wilayah III Kualasimpang menjadi Kabupaten Aceh Tamiang kepada DPRD Kabupaten Aceh Timur.

2. DPRD Kabupaten Aceh Timur dengan surat No. 1086/100-A/2000, tanggal 9 Mei 2000, tentang persetujuan peningkatan status Kabupaten Aceh Tamiang.

3. Surat Bupati Aceh Timur, No. 12032/138 tanggal 4 Mei 2003 kepada Gebernur Daerah Istimewa Aceh tentang peningkatan status Kabupaten Aceh Tamiang.

4. Surat Gubernur Daerah Istimewa Aceh No. 138/9801 tanggal 8 Juni 2000 kepada DPRD Propinsi Daerah Istimewa Aceh tentang peningkatan status Kabupaten Aceh Tamiang.

5. Surat DPRD Daerah Istimewa Aceh No. 1378/8333 tanggal 20 Juli 2000 tentang persetujuan peningkatan status Kabupaten Aceh Tamiang.

6. Surat Gubernur Daerah Istimewa Aceh No. 135/1764 tanggal 29 Januari 2001 kepada Menteri Dalam dan Otonomi Daerah Republik Indonesia Cq. Dirjen PUMD tentang usul peningkatan status Pembantu Bupati dan Kota Adminstrasi menjadi Daerah Otonom.

No comments

berkomentar sesuai dengan jatidirimu

Powered by Blogger.