Header Ads

Agama Parmalim dari tinjauan Ilmiah

Foto OkezoneTravel

A. Pengertian Aliran Parmalim

Aliran Parmalim berasal dari dua kata yaitu “aliran” dan “malim”. Secara harfiah istilah “aliran” bermakna haluan, pendapat, paham (politik, pandangan hidup dan sebagainya). Sedangkan kata malim memiliki arti “ias” (bersih) atau “pita” (suci). Maka secara etimologis definisi aliran Parmalim yaitu kelompok orang yang memiliki paham atau pendapat yang bersih dan suci. Orang yang menganut aliran Parmalim disebut sebagai “parugamo malim” (pengikut aliran Parmalim) yang biasa disingkat dengan kata “parmalim”.

Perlu dijelaskan bahwa istilah “malim” mempunyai makna yang luas jika dihubungkan dengan kata yang lain. Secara harfiah kata “malim” adalah suci, tetapi dalam konteks yang lain boleh saja kata malim menjadi berubah makna. Misalnya, dalam istilah “harajaon malim”, akan bermakna kerajaan yang berhubungan dengan aliran Parmalim, sedangkan dalam penggunaan kata “malim ni debata” akan bermakna utusan atau Nabi Debata. Demikian juga dengan kata “hamalimori” akan bermakna pengamalan keagamaan malim (kesalehan). Oleh sebab itu, kata “malim” boleh diterjemahkan menurut konteksnya yang bermakna bersih, suci, beriman, beramal, bertakwa, utusan dan termasuk nama aliran Parmalim itu sendiri.

B. Sejarah Lahirnya Aliran Parmalim

Sebelum datangnya agama Islam dan Kristen ke Tanah Batak, mereka sudah meyakini bahwa adanya Tuhan Yang Maha Esa yaitu Tuhan Debata Mulajadi Na Bolon. Keyakinan itu diperhitungkan telah ada sejak sekian lama yaitu sejak adanya si Raja Batak. Tetapi, meskipun keyakinan terhadap Tuhan ini sudah tumbuh sejak lama dalam masyarakat Batak. Tetapi keyakinan ini menurut aliran Parmalim belum dinamakan sebagai sebuah agama seperti yang diyakini penganut aliran Parmalim sekarang ini.

Meskipun masa itu masyarakat Batak bisa dikatakan masih dalam kondisi tidak beragama atau “pagan", tetapi seluruh kehidupan pribadi dan sosial orang Batak telah diserapi oleh konsep keagamaan. Hampir tidak ada satu lingkaran hidup dimana perilakunya yang tidak dibimbing oleh motif religius dan seluruh pemikirannya dikuasai oleh konsep supernatural. Kehidupan keyakinan seperti itu terus hidup selama kurun waktu yang sangat lama hingga sampai pada suatu masa dimana kepercayaan itu tumbuh menjadi agama menutut penganut aliran Parmalim pada masa raja Nasiakbagi.

Paganisme orang Batak merupakan campuran dari keyakinan keagamaan terhadap Debata, penyembahan yang bersifat animisme kepada ruh-ruh yang telah tiada dan dinamisme. Dari ketiga unsur agama ini tidak bisa dipisahkan dari yang satu dengan lainnya dalam tiap acara adat istiadat. Di satu sisi penyembahan kepada Debata dipercaya sangat terlihat tetapi dari segi unsur lain penyembahan kepada ruh-ruh yang sudah meninggal seperti ruh nenek moyang serta pemujaan terhadap bendap-benda yang dianggap memiliki kekuatan gaib juga merupakan bagian yang bersatu atau tercampur kedalam penerapan agama sehingga batas ketiga unsur itu tidak terlihat dengan jelas.

Secara kelembagaan, aliran Parmalim baru muncul pada abad ke 20 yaitu sekitar tahun 1900-an setelah kematian Raja Sisingamangaraja XII. Kemudian pada tahun 1921 Belanda mengizinkan Raja Mulia Naipospos untuk mendirikan Bale Pasogit di Hutatinggi Laguboti melalui Surat Contoleur van Toba Nomor 1494/13 tanggal 25 Juni 1921 aliran Parmalim resmi secara terang-terangan melaksanakan ritual-ritual. Kemudian jika ditinjau dari aspek pendidikan, aliran Parmalim dalam rangka mendorong untuk mencerdaskan pemikiran dengan pendalaman ajaran-ajaran keagamaan dan pendalaman intelektual maka aliran Parmalim mendirikan Parmalim School pada tanggal 1 November 1939.

Menurut aliran Parmalim, ajaran Parmalim itu pertama kali dibawa oleh utusan Debata Mulajadi Na Bolon. Utusan Debata yang pertama kali membawa ajaran Parmalim tersebut kemudian dinamakan “Malim Debata”.

Terdapat empat orang tercatat sebagai “Malim” utusan Debata, yang mana keempat orang tersebut diutus khusus kepada bangsa Batak, yaitu “Raja Uti,

Simarimbulubosi, Raja Sisingamangaraja, dan Raja Nasiakbagi”. Keempat Malim utusan Debata ini kemudian diyakini sebagai orang-orang pilihan dari kebanyakan orang-orang bangsa Batak. Mereka diutus untuk memberitakan tentang keagamaan kepada bangsa Batak dengan cara bertahap dengan jangka waktu lebih kurang 400 tahun lamanya.

Namun pada masa Raja Uti, Simarimbulubosi dan Sisingamangaraja, berita keagamaan itu belum dikemas kedalam sebuah agama. Dengan kata lain ajaran tersebut belum resmi dinyatakan menjadi sebuah agama, tetapi hanya sebagai sebuah kepercayaan tentang amalan atau ritual dengan tujuan untuk tali penghubung manusia dengan Debata dan “Supernatural”. Orang-orang yang terpilih sebagai “Malim Debata” merupakan orang yang memiliki “harajaon malim” atau yang disebut kerajaan Malim yang terdapat di Benua Tonga (bumi) ini. Kerajaan “Malim” yang mereka anut dan yakini didalam aliran Parmalim, merupakan aliran yang berasal dari Debata Mulajadi Na Bolon.

Raja pertama sebagai “Malim Debata” merupakan pemimpin pertama yang memiliki sifat kharismatik dan disegani oleh pengikutnya yaitu Raja Uti. Dimana, Raja Uti merupakan pemimpin yang dapat tampil ditengah masyarakat suku Batak yang sedang dalam keadaan “chaos” yang ditandai dengan pertikaian dan kekacauan sosial antar suku Batak. Selain itu suku Batak juga mengalami guncangan kepercayaan terhadap Debata Mulajadi Na Bolon dengan cara mengganti sistem kepercayaan menjadi “sipelebegu” atau menyembah ruh-ruh. Dan kemudian dia datang sebagai “Malim Debata” untuk menyelamatkan manusia dari kesesatan dan kemudian mengembalikan kepercayaan dengan tujuan untuk menyembah kembali Debata Mulajadi Na Bolon. Raja Uti merupakan orang pertama yang membentuk ajaran “marsuhi ni ampang na opat” atau ampang yang bersegi empat. Didalamnya terdiri dari “tona, poda, patik dan uhum” yang mereka yakini ajaran tersebut sudah terdapat di Banua Ginjang sebelum akhirnya diturunkanlah ke bumi ini. kedatangan Raja Uti bertujuan agar suku Batak kembali berketuhanan dan memiliki pedoman hidup.

Setelah beberapa waktu, tuhan Simarimbulubosi diutus oleh Debata sebagai “malim” kedua untuk meneruskan ajaran yang telah disebarkan oleh Raja Uti sebelumnya. Kehadirannya bertujuan untuk memperkuat keimanan suku Batak agar tetap menyembah Debata Mulajadi Na Bolon. Menurut aliran Parmalim, kedatangan Simarimbulubosi pada saat itu dipercaya sebagai bentuk berkat kasih Debata kepada suku Batak. Namun saat Simarimbulubosi meninggalkan pengikutnya untuk menghadap “na torasna” sebagai bapaknya yang terdapat di Banua Ginjang, kekacauan sosial yang dahsyat terjadi pada masa kepemimpinan Raja Uti kembali terjadi. Penyebab kekacauan sosial tersebut diakibatkan semakin jauhnya mereka dari Debata dan juga berbuat jahat sesukanya sehingga pada masa itu dikenang sebagai masa “lumlan” atau jahiliah. Namun Debata tetap saja memberikan kasihnya untuk suku Batak.

Debata mendaulat seorang lagi putra terbaik dari suku bangsa Batak sebagai ”Malim-Nya” yang ketiga yaitu Sisingamangaraja untuk membina suku bangsa Batak melalui kuasa yang dimilikinya dengan maksud agar umatnya tetap berketuhanan kepada Debata Mulajari Na Bolon.

Kedatangan Raja Sisingamangaraja hadir setelah puluhan tahun Simarimbulubosi bertugas mengisbatkan “adat, patik dan uhum” (hukum) untuk pedoman hidup dalam masyarakat suku Batak. Perlu diingat bahwa secara nyata Raja Sisingamangaraja berjumlah 12 orang, maka dari itu untuk penyebutannya adalah Raja Sisingamangaraja I sampai Sisingamangaraja XII. Namun di dalam kepercayaan aliran Parmalim menyatakan ruh Sisingamangaraja hanya ada satu, dikarenakan ruh yang terdapat pada mereka merupakan pancaran ruh dari Debata Mulajadi Na Bolon.

Pada kepemimpinan Raja Sisingamangaraja XII, penjajah Belanda mulai datang ke Tanah Batak. Kedatangan penjajah Belanda mengakibatkan peperangan, perang tersebut berlangsung selama 30 tahun lamanya yang dikenal dengan Perang Batak. Penjajah Belanda melakukan penyerbuan ke tempat persebunyian Raja Sisingamangaraja XII, penyerbuan tersebut mengakibatkan Sisingamangaraja ditembak mati oleh pasukan Belanda dengan dibawah pimpinan Christoffel. Pada tanggal 21 Juni 1907 pihak belanda mengumumkan bahwa Sisingamangaraja XII telah gugur. Namun menurut pandangan Parmalim Sisingamangaraja itu tidak mati, padangan tersebut dikarekan beberapa waktu setelah kejadian penembakan tersebut muncul seseorang yang bernama Raja Nasiakbagi yang telah tersebar di seluruh Tanah Batak. Raja Nasiakbagi itulah yang kemudian yang dipercayai sebagai Sisingamangaraja yang telah berubah nama.

Kehadiran sosok misterius yang bernama Raja Nasiakbagi tersebut kemudian membawa kesan menggembirakan bagi masyarakat suku Batak, dan berdampak semakin tebalnya kepercayaan bahwa raja Sisingamangaraja belum mati sebagaimana yang telah diumumkan oleh para penjajah Belanda. Tetapi dengan hadirnya sosok Raja Nasiakbagi tidak terlalu banyak orang yang dapat mengenalinya, melainkan hanya murid-muridnya saja. Raja Nasiakbagi tidak memiliki kuasa dalam kerajaan, tetapi fokus untuk membina rohani dan mengajarkan “hamalimon” (keagamaan) bagi pengikutnya. Pada suatu waktu, Raja Nasiakbagi memberi bimbingan pada para pengikutnya. Raja Nasiakbagi mengatakan: “malim ma hamu” yang bermakna malimlah kalian. Perkataan itu bermaksud, “sucilah kamu atas senantiasa suci dalam keagamaan”. Maka sejak itu ajaran yang dibawa Raja Nasiakbagi resmi dan populer yang kemudian diberi nama aliran Parmalim.

Peristiwa ini tidak hanya bertujuan menguatkan keimanan pengikutnya, tetapi juga menunjukkan kepada dunia, terkhusus pada agama pendatang bahwasanya kepercayaan dan ajaran warisan nenek moyang mereka masih eksis di masyarakat. Seperti diketahui bahwa kristenisasi pada masa itu semakin gencar dan meluas di kalangan masyarakat suku Batak. Terdapat kekhawatiran para penganut aliran Parmalim adanya kehadiran agama Kristen di kalangan suku Batak dapat menjadi ancaman pada keberadaan dan keberlangsungan hidup aliran Parmalim.

Setelah Raja Nasiakbagi meninggalkan pengikutnya, kemudian aliran Parmalim diwariskan kepada seorang murid setia pilihannya yaitu Raja Mulia Naipospos. Dia diberikan tugas untuk mempertahankan dan melanjutkan penyiaran aliran Parmalim.

Sebagai sebuah komunitas keagamaan lokal yang tumbuh dan berkembang di bagian Selatan provinsi Sumatera Utara, tepatnya berada di kecamatan Laguboti kabupaten Toba Samosir, komunitas aliran Parmalim ini dianggap cukup adaptif dengan perkembangan zaman.

Dengan demikian aliran Parmalin dapat dikatakan aliran yang dapat mengikuti perkembangan zaman dengan baik.

C. Sistem Kepercayaan Aliran Parmalim

Dalam struktur agama salah satu unsurnya adalah kepercayaan terhadap kuasa Tuhan atau “supernatural”. Keyakinan adalah dasar agama untuk setiap kegiatan ritual agama. Mengingat aliran Parmalim adalah sebuah keyakinan, maka sangatlah penting diuraikan disini tentang sistem kepercayaannya yang mencakup dari semua aspek-aspeknya.

1. Kepercayaan Kepada si Pemilik Kerajaan Parmalim (partohap harajon malim) di Banua Ginjang

Secara harfiah istilah “Harajaon” dalam bahasa Batak sama artinya dengan “kerajaan”, namun istilah “Partohap” bisa diartikan menjadi “si pemilik” atau “yang punya bagian”. Sedangkan “Parmalim” dalam istilah bahasa Batak, selain merujuk pada suatu aliran di Tanah Batak, “malim” juga memiliki arti luas.

Tergantung kepada konteks penggunaanya, istilah “malim” juga dapat berarti bermakna “suci dan suruhan” Debata atau “Nabi”.

Kemudian yang dimaksud kerajaan Parmalim di Banua Ginjang merupakan kerajaan yang memiliki hubungan dengan dimensi agama. Aliran Parmalim beranggapan bahwa sumber wujud suatu agama bisa dipastikan berasal dari si pemilik kerajaan Parmalim yang berada di Banua Ginjang. Keyakinan apa pun yang terdapat di bumi dipercayai tidak terdapat satu pun yang tidak berasal dari Banua Ginjang. Oleh karena itu, aliran Parmalim merupakan aliran kepercayaan yang khusus diberikan kepada suku Batak yang dipercayai bersumber dari Debata Mulajadi Na Bolon. Aliran ini diserahkan kepada para Malim Debata (utusan atau nabi) yang berdiam di Banua Ginjang. Dari sanalah semua asal ajaran itu ada yang kemudian oleh “malim” Debata disampaikan kepada umat manusia di Banua Tonga (Bumi).

Menurut kepercayaan aliran Parmalim, sebelum manusia diciptakan Debata melalui tangan Deakparujar sesungguhnya kerajaan Malim itu sudah lebih dulu ada di Banua Ginjang. Kemudian Debata Menciptakan dewa-dewa lainnya dan mengangkat mereka sebagai pembantunya sekaligus mengikutsertakan mereka dalam barisan si pemilik kerajaan Parmalim di Banua Ginjang. Adapun nama-nama dewa yang dimaksudkan itu ialah Debata Natolu, Siboru Deakparuraj, Nagapadohaniaji dan Siboru Saningnaga.

Perlu diketahui bahwa asas untuk mempercayai semua “si pemilik kerajaan Parmalim di Banua Ginjang” ini bukanlah bersumber dari sebuah kitab suci, melainkan merujuk kepada bunyi “tonggo-tonggo” (doa-doa) yang disusun oleh Raja Nasiakbagi. Dengan kata lain, melalui doa-doa itulah para penganut aliran Parmalim mengimani dan menjadikannya sebagai referensi dalam melaksanakan berbagai ritual keagamaan.

2. Kepercayaan Kepada si Pemilik Kerajaan Parmalim (partohap harajaon malim) di Banua Tonga

Dalam kepercayaan aliran Parmalim, ada empat orang yang tercatat sebagai “raja atau malim” Debata yang sengaja di utus Debata khusus kepada manusia suku Batak, yaitu Raja Uti, Simarimbulubosi, Raja Sisingamangaraja dan Raja Nasiakbagi. Keempat raja ini yang kini merupakan perpanjangan tangan Debata untuk menyampaikan ajaran keagamaan kepada manusia suku Batak dengan maksud supaya mereka berketuhanan (marhadebataon) dan beramal ibadat (marhamalimon). Oleh karena merekalah yang diangkat untuk membawa dan menyampaikann ajaran Parmalim kepada suku Batak, maka mereka pulalah yang disebut sebagai “partohap harajaon malim” (si pemilik kerajaan Parmalim) di Banua Tonga. Dengan demikian kerajaan Parmalim dapat diartikan kekuasaan dalam hal membina dan mengelolah sebuah agama khusus di Tanah Batak.

Bagi aliran Parmalim, keempat nama “malim” Debata yang telah disebut di atas semuanya dipercayai sebagai utusan Debata khusus untuk orang Batak. Para Malim Debata itu disebut juga dengan Anak Debata khusus untuk orang Batak. Makna anak dalam konteks ini adalah “todi” (ruh) dan ruh inilah yang ditiupkan Debata kepada mereka sehingga sikap dan perilaku mereka berbeda dengan manusia biasa. Yang paling penting lagi ialah mereka bisa memegang amanah dan memiliki kemampuan dalam menyampaikan ajaran agama kepada umat manusia.

3. Kepercayaan Kepada Habonaran

Secara harfiah, kata “habonaron” dalam bahasa Batak bisa bermakna “kebenaran”. Namun pemahaman dari segi kepercayaan, kata “habonaron” ini belum tepat jika diartikan dengan “kebenaran” karena ia mengandung makna yang sangat luas. “habonaron” adalah kata benda yang berasal dari kata sifat bonar, yang bermakna “benar” sedangkan kata “mambonarhon” adalah kata kerja yang bermakna “membenarkan”.

Dalam budaya Batak merupakan hal yang biasa dan lazim meminjam atau menggunakan kosakata bahasa Batak terutama “kata sifat” atau “kata kerja” yang bermakna positif untuk memberikan nama seseorang anak, misalnya nama “tigor” (lurus) dan “hasudungan” (kesenangan hati) dan sebagainya. Akan tetapi dalam konteks ini, istilah “habonaron” adalah nama yang disebut dengan nama “tohonan” (jabatan) bagi suruhan Debata yang tugasnya adalah “mambonarhon” (membenarkan). Artinya si pelaku yang memegang tugas “membenarkan” itu bernama “habonaron” dan nama ini sesuai dengan tugasnya.

Dalam kepercayaan aliran Parmalim, “habonaron” adalah berwujud ruh atau tondi. Dia adalah gaib, halus dan zatnya tidak dapat ditangkap oleh panca indera manusia. Meskipun tidak dapat dilihat dengan mata, namun bisa dilihat dengan mata hati (roha) manusia. Bagi aliran Parmalim, “habonaron” adalah anak naposo (na poso) atau pesuruh (suru-suruan) Debata Mulajadi Nabolon yang bertugas dalam hal “mambonarhon” segala bentuk perilaku manusia di permukaan bumi ini. Di samping itu ia juga bertindak sebagai saksi, menjaga, melindungi (mangaramoti) dan juga memberikan peringatan (pissang-pissang) bagi manusia.

Tugas “habonaron” dalam hal “mambonarhon” (membenarkan) adalah semacam legitimasi dan penguatan (reinforcement) dalam hal pekerjaan atau amal manusia. Bentuk tingkah laku yang dikuatkan itu bermacam-macam. Ada pekerjaan yang baik dan ada pula yang buruk. Misalnya, apabila ada orang memohon melalui sebuah doa, maka “habonaron” itulah yang “membenarkan” atau menguatkan kepada Debata. “Habonaron” dapat berbuat demikian karena setiap saat hadir dan melihat gerak-gerik manusia. Dia dapat memantau semua pekerjaan manusia setiap hari. Sekiranya ada manusia berdoa tetapi tidak sesuai dengan amal perbuatannya, maka “habonaron” disini mempunyai peranan yang sangat besar dalam menilainya

4. Kepercayaan Kepada Sahala

Menurut kepercayaan aliran Parmalim, “Sahala” adalah ruh suci yang bersumber dari Debata Mulajadi Nabolon yang diturunkan melalui Balabulan kepada umat manusia yang terpilih. Oleh karena itu, “sahala” tidak dapat dipelajari dan juga tidak dapat dipanggil untuk memperolehnya melainkan ia akan datang sendiri (maisolang) pada seseorang manusia tanpa sepengatuan orang yang bersangkutan. “Sahala” itu ada yang sifatnya menetap tinggal dan ada juga yang hanya singgah sementara pada seseorang.

Wujud sahala adalah gaib, halus dan tidak dapat ditangkap oleh panca indra manusia dan tidak pula diketahui kapan masuk dan hinggap pada diri manusia. orang yang dihinggapi “sahala” disebut “marsahala”(yang menpunyai sahala). Jika seseorang disebut “marsahala”, itu bermakna bahwa “sahala” tadi telah menyatuh dengan jiwa dan badannya. Apabila orang tersebut “berkata” dan ”bergerak”, maka apa yang dkatakan dan yang digerakannya adalah perkataan dan gerak “sahala” yang sudah terintegrasi dengan dirinya. Pribadi nya yang asli tidak akan dimunculkan melaikan pribadi “sahala”. Dan pribadi “sahala” inilah yang senantiasa mewarnai sikap dan perilaku manusia setiap saatnya.

Ciri-ciri orang yang sudah “marsahala” dapat terlihat pada kehidupan sehari-harinya. Biasanya, orang yang dihinggapi “sahala”, akan terjadi perubahan pada dirinya terutama dari segi sikap dan perilaku manusia tersebut. Dia akan selalu mengawasi drinya dari hal-hal yang dapat merusak dirinya sendiri dan juga orang lain dimana saja pun dia berada. Disamping itu, pada masa-masa tertentu ada juga terjadi perubahan pada paras orang yang bersangkutan, jika wajahnya sebelum tampak biasa-biasa saja, akan tetapi dengan hadirnya “sahala” itu pada dirinya akan tampak lebih berwibawa karena sudah mendapatkan siraman sinar kharisma.

D. Ritual-Ritual Aliran Parmalim

Setiap agama dan kepercayaan pasti memiliki ritual atau pun upacara-upacara yang rutin dilakukan oleh penganut agama atau kepercayaan tersebut. Termasuk aliran Paralim yang memiliki berbagai macam jenis ritual keagamaan sebagai berikut.

1. Upacara mararisabtu (ibadah mingguan di hari sabtu)

Mararisabtu adalah salah satu upacara agama yang sangat penting dalam aliran Parmalim. Penepatan hari sabtu sebagai hari upacara sendiri yaitu dari sejarah dimana tepat pada hari sabtu atau hari ketujuh, Siboru Deakparujar menggunakan hari sabtu sebagai hari untuk beristirahat.

Mararisabtu biasanya dilakukan pada puku 11.00 WIB pagi hari dan sebelum upacara dimulai pengurus harus menyiapkan peralatan yang digunakan untuk upacara seperti “air pensucian” atau “pangurason”, alat untuk membakar dupa “pardaupaan” dan peralatan lainnya.

Jika semua peralatan sudah lengkap maka seluruh jamaah yang akan mengikuti upacara ini memasuki “Parsantian” dengan didahului oleh seorang pimpinan “Ulupunguan”. Semua jamaah duduk rapi bersila sesuai dengan aturan yang berlaku. Misalnya kaum perempuan duduk sebelah kanan dan kaum laki-laki di sebelah kiri menghadap ke arah depan menghadap “Ulupunguan”.

Ulupunguan atau Ihutan berdiri untuk memulai melafalkan “tonggo-tonggo” atau doa-doa sementara para jamaah menyimak dengan khusuk. Dari semua “tonggo-tonggo” yang dilafalkan tersebut berisi permohonan dan penyerahan diri kepada Debata Mulajadi Na Bolon. Selama pemimpin atau Ulupunguan melafalkan doa-doa semua peserta merapatkan kedua telapak tangan dan mengangkat sejajar dengan dada.

Acara selanjutnya pemaparan pasal-pasal bunyi “patik” yang biasa disebut dengan “Pajojorhon patik” yang bertujuan agar para peserta mengingat pesan-pesan yang terkandung dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Setelah “Pajojorhon Patik” selesai maka selanjutnya yaitu satu atau dua orang dari peserta memberikan siraman rohani atau ceramah agama.

Setelah siraman rohani selesai maka pimpinan ritual memercikkan air pensucian yang bertujuan untuk mensucikan para jamaah atau peserta upacara dan sembari memohon dalam hati kepada Debata agar amal ibadah mereka diterima oleh-Nya.

2. Upacara martutuaek (hari kelahiran anak)

“Martutuaek” adalah upacara khusus untuk memandikan anak yang baru lahir atau juga dapat dikatakan sebagai sambutan untuk anak yang baru lahir ke dunia dan juga sebagai bentuk syukur kepada Debata.

Anak bayi yang hendak “martutuaek” dibawa dengan digendong muka “diambit” oleh seorang ibu tetapi bukan Ibu kandungnya dan mengambil tempat dekat dengan pemimpin upacara. Jika bayi laki-laki maka yang menggendong adalah keluarga pihak ibu “tutur nantulang” atau kelompok “wife giver” namun jika bayi perempuan maka yang menggendong adalah adik atau kakak bapaknya “tutur namboru” atau kumpulan keluarga “wife taker”.

Kemudian Ihutan atau Ulupunguan melafalkan doa-doa yang bertujuan supaya anak yang ditabalkan namanya dalam upacara martutuaek senantiasa dalam lindungan Debata, sehat, selamat dan patuh terhadap orang tuanya dan juga tidak lepas untuk mendoakan Ibu, Bapak dan Peserta yang hadir supaya mendapat keselamatan dan kekuatan untuk mencari rezeki.

Setelah berdoa, pimpinan upacara mengambil segenggam beras dalam “Parbuesanti” lalu meletakkan beras tersebut di atas ubun-ubun anak bayi tersebut termasuk pepada Ibu dan Bapaknya. Kemudia segenggang lagi ditaburkan kepada peserta yang hadir. Beras yang ditaburkan ini disebut “beras sipir ni tondi” yakni beras yang mengandung makna pengharapan agar dapat menguatkan jiwa anak bayi, ibu bapaknya dan peserta yang hadir tersebut.

Setelah itu dilanjutkan dengan upacara di sekitar mata air “mual” dan semua peserta berjalan dengan berbaris tertib dan juga sopan saat berjalan menuju ke mata air tersebut. Posisi yang paling depan adalah yang menjunjung “Pangurason” yaitu seorang anak dara yang masih muda belia. Sedangkan dibelakangnya ialah pembawa kue “itak gur-gur” yaitu kue khas Batak baru disusul dengan Ibu yang menggendong anak Bayi tersebut. Semua Ibu-ibu yang ikut upacara ini harus meletakkan setangkai daun beringin di atas sanggulnya sementara bapak-bapak cukup meletakkan dalam kantong bajunya.

Sebelum berjalan menuju mata air terlebih dahulu beberapa genggang “itak gur-gur” diletakkan di halaman rumah dan dibawah tangga rumah dengan maksud penghormatan kepada dewa Nagapadohaniaji selaku Dewa yang berkuasa di tanah. Di tengah perjalanan ada juga “itak gur-gur” yang diletakkan di setiap simpang atau cabang jalan yang jumlahnya minimal tiga dan sebanyak-banyaknya tujuh tempat.

Setibanya di mata air, dua buah jeruk purut yang ada dalam “Pangurason” diserahkan kepada Boru Siniangnaga atau penguasa air sebagai penghormatan. Selepas itu diambillah air dari mata air tersebut oleh seorang Ibu yang “dituakan” dan kemudian memandikan atau mengusapkan air tersebut pada anak Bayi. Sama dengan waktu pergi semuanya pulang dengan tertib juga. Setelah sampai di tangga rumah, pimpinan ritual menyambut mereka. Di dalam rumah, pimpinan kembali menaburkan beras di atas ubun-ubun bayi tersebut dan

memercikkan air “pangurason” kepada sang bayi untuk disucikan kembali. Setelah bayi disucikan barulah diadakan jamuan makan bersama.

3. Upacara pasahat tondi (kematian)

“Pasahat tondi” berasal dari 2 kata yaitu “pasahat” yang bermakna ”menyampaikan” atau “menyerahkan”, sedangkan ”tondi” berati “ruh”. Dengan demikian arti “pasahat tondi” yaitu menyampaikan atau menyerahkan ruh kepada Debata Mulajadi Nabolon dan berharap orang yang diserahkan (orang meninggal) tersebut diampuni segala kesalahan dan dosa-dosanya selama hidup di dunia.

Upacara “pasahat tondi” dilakukan paling lambat sebulan setelah meninggal dunia. Sebelum pelaksanaan upacara ini, pihak Tuan Rumah harus mempersiapkan beberapa hal yang diperlukan seperti seekor kambing putih, dan macam-macam bahan sesaji lain termasuk air pensucian “Pangurason” dan tempat pembakaran daupa “Pardaupaan”.

Satu per satu sesaji yang ada dalam pinggan diangkat secara bersambung oleh beberapa orang. Orang yang paling ujung menerima dan memasukkan sesaji ke dalam langgatan atau podium yaitu pimpinan ritual. Seluruh peserta upacara mengambil tempat dan duduk menghadap ke arah langgatan.

Setelah itu pimpinan upacara membawakan doa-doa yang ditujukan kepada Debata Mulajadi Na Bolon. Tujuan dari doa-doa tersebut yaitu menyerahkan ruh yang sudah meninggal dunia kepada Debata Mulajadi Na Bolon, memohon agar mengampuni dosa-dosa orang yang meninggal tersebut dan berharap agar keluarga yang ditinggalkan mendapat keampunan dosa juga.

Setelah selesai berdoa maka selanjutnya memberikan kata-kata takziah “setawar sedingin” kepada ahli musibah yang bertujuan agar keluarga yang ditinggalkan bersabar dan menerima musibah tersebut. Setelah itu dilanjutkan dengan pengumpulan uang bantuan yang disebut dengan “sidokka” atau sedekah.

Setelah pengumpulan ”sidokka” dilanjutkan dengan pemberian kata-kata takziah penutup dan mengambil semua sesaji dalam langgatan untuk dibawa oleh orang secara bersambung hingga sampai ke dalam rumah. Langgatann yang terbuat dari bambu itu dibuka dan langsung dibawa ke kuburan orang yang bersangkutan. Kemudian para peserta pulang ke rumah untuk bergabung dengan peserta lainnya untuk makan bersama.

4. Upacara mamasumasu (memberkati perkawinan)

Istilah “mamasumasu” dapat diartikan sebagai “pemberkatan perkawinan”. Dalam istilah ilmu antropologi acara ini merupakan upacara yang termasuk dalam upacara krisis (rites crisis), karena seseorang hendak melalui suatu tahapan perjalanan hidupnya yaitu ke gerbang perkawinan.

Proses pelaksanaan pemberkatan perkawinan diawali dari pihak tuan rumah menyediakan sejumlah perlatan yang diperlukan, seperti “parbuesanti, pangurason, pardaupaan, dan sebuah gelas”. Kesemua peralatan ini diletakkan diatas tikar tiga lapis. Pada saat pemberkatan dilaksanakan kedua pengantin mengambil posisis di sebelah kanan atau duduk menghadap ke arah samping kanan peralatan upacara, sedangkan posisi ihutan langsung menghadap ke depan peralatan upacara atau membelakangi para undangan yang hadir di spasi acara perkawinan itu.

Sebelum pelafalan doa-doa pernikahan, lebih dahulu Ihutan menanyakan beberapa hal kepada kedua pengantin termasuk kepada masing-masing orang tua kedua pengantin. Biasanya pertanyaan yang dilemparkan adalah sebagai berikut: 

  1. apakah kalian berdua tidak sedang dalam meneriam pinangan atau sedang meminang anak orang lain? 
  2. apakah kalian berdua sudah sama-sama mencintai untuk membentuk rumah tangga yang bahagia? 
  3. apakah alian berdua sudah bersungguh hati dan bersedia untuk dinikahkan dengan memohon berkat dari Debata dengan perantaraan Raja Nasiakbagi?

Jika semua pertanyaan ini dijawab dengan “Iya”, maka berarti segala sesuatunya telah dimusyawarahkan dan upacara pernikahan pun sudah boleh dilaksanakan.

Inti upacara pernikahan, Ihutan memulai melafalkan doa-doa yang ditujukan kepada si Pemilik Kerajaan Malim di Banua Ginjang dan Banua Tonga. Bunyi doa-doa itu adalah menyampaikan hajat kedua pengantin sekaligus memohon agar diberi berkat untuk mengarungi mahligai rumah tangga yang bahagia. Disamping itu, dimohonkan agar keluarga ini mendapat keturunan anak laki-laki dan perempuan, Selepas pelafalan doa-doa, barulah Ihutan meberikan nasihat kepada kedua mempelai seraya mengharapkan agar mereka dapat rukun dan damai, bahagia sehidup semati dan tidak akan berpisah kecuali karena kematian. Sebagai simbol pemberkatan, Ihutan mengambil beras beberapa genggam dari dalam Parbuesanti yang disebut dengan beras yang bisa menguatkan semangat dan jiwa boras sipir ni tondi.

Terakhir, Ihutan mengambil uang dari atas parbuesanti dan menyerahkan secara simbolis sebagian dari uang itu kepada orang itu kepada orangtua pengantin perempuan dan sebagian lagi kepada orang tua pengantin laki-laki dan selebihnya untuk ugason torop (harta milik bersama).

DAFTAR PUSTAKA

A. Hakim, Bashori (ed.). Pandangan Pemuka Agama Tentang Urgensi Pengaturan Hubungan Antarumat Beragama Di Indonesia. Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2015.

Arifinsyah. Agama Dialogis, Medan, : Perdana Publishing, 2016

Arifinsyah. Ilmu Perbandingan Agama Dari Regulasi ke Toleransi, Medan, : Perdana Publishing, 2018

Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta, : PT. Rineka Cipta, 2002.

Colbran, Nicola. Tantangan Yang Dihadapi Masyarakat Adat Dalam Mewujudkan Hak Dan Bekepercayan. Yogyakarta: Pusham UII Yogyakarta, 2007.

Data Majelis Ulama Indonesia oleh Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia tahun 2018

Data Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia oleh PGI-WSU Tahun 2016

Ebta Setiawan, https://kbbi.web.id/alir

Erlangga, Ruri. Ensiklopedia Seni Dan Budaya Nusantara : Sumatera Utara. Bekasi: PT. Mentari Utama Unggul, 2013.

Feby Yudianita, “Tinjauan Yuridis Terhadap Aliran Kepercayaan Dihubungkan Dengan Pasal 29 Ayat 2 UUD 1945”, Skripsi: Fakultas Hukum Universitas Riau, 2015

Gultom, Ibrahim. Agama Malim Di Tanah Batak. Jakarta: Bumi Aksara, 2010.

Hasan, Muhammad Tholhah. Islam Dalam Perspektif Sosio Kultural. Jakarta: Lantabora Press, 2005.

http://konghocuindonesia.blogspot.com/2012/05/makalah-kelompok.html?m

https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/Pandangan

https://map-bms.wikipedia.org/wiki/Persekutuan_Gereja gereja_di_Indonesia

https://nasional.kompas.com/read/2014/11/10/17411001/Kemenag.Aliran.Kepercayaan/Dibiarkan.Hidup.tetapi.Pemerintah.Tak.Beri.Servis

Karim, Helmi. Konsep Ijtihad Majelis Ulama Indonesia Dalam Pengembangan Hukum Islam, Pekanbaru: SusqanPress, 1994.

Kartono, Kartini. Pengantar Metodologi riset Sosial, Bandung: Mandar Maju, 1990.

Katimin.Pertumbuhan dan Perkembangan Parmalim di Sumatera tahun1885-Sekarang, Analityca Islamica Journal. Vol. 1, No. 2.

Margono, S. Metode Penelitian Dan Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 2004

Mariyat, Akrim. Ajaran Beberapa Aliran Kebatinan, Darussalam Press Gontor-Ponorogo, 1997

Mukti Ali, A. Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini, Jakarta:Rajawali Press, 1987

Munandar, Agus Aris (ed.). Sejarah Kebudayaan Indonesia. Depok: PT. Raja Grafindo Persada, 2009.

Nuryanti Reni dan Peno Suryanto, Penelitian: Sebuah Pengantar Yogyakarta: UKM Penelitian UNY, 2006.

Purba, Djamaluddin. Budaya Etnik-Etnik Sumatera Utara. Medan: Dinas Pendidikan Sumatera Utara, 2011.

Saidurrahman. Nalar Kerukunan Merawat Keragaman Bangsa Mengawal NKRI, Medan: Perdana Publishing, 2018

Sugono, Dendy (ed.). Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008.

Syafaruddin, (ed.). Metodologi Penelitian. Medan : Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara, 2006.

Tata Dasar dan Tata Rumah Tangga Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia Wilayah Sumatera Utara Tahun 2018

No comments

berkomentar sesuai dengan jatidirimu

Powered by Blogger.