Header Ads

kuburan sebagai Simbol Status Orang Batak Toba

Jika kamu Pernah melintas di jalan raya Trans-Sumatera khususnya ruas Parapat-Balige. Pasti kamu melihat makam-makam permanen di sebelah kiri dan kanan jalan. Mulai dari makam berkijing biasa, sampai makam berbentuk rumah beton mini, lengkap dengan patung pasutri duduk di terasnya. Jenis yang terakhir ini tergolong dalam makam mewah.

Maka akan Timbul satu pertanyaan, mengapa makam harus dibangun mewah dan tampil mencolok menghadap jalan raya seperti itu? Pamer?. iya Betul, dalam arti sosiologis, menerakan suatu simbol status bagi keluarga mendiang. Menampilkan simbol eksistensi sosial ke ruang publik. Maka pekuburan orang Batak (Toba), dalam hal ini pekuburan "milik" kampung (huta), pada dasarnya merepresentasikan status sosial keluarga, sekaligus pelapisan sosial di sebuah kampung.

Intinya, kuburan berkijing biasa atau tanpa kijing merepresentasikan keluarganya yang berada pada posisi sosial bawah, warga biasa. Sedangkan kuburan berupa rumah beton  merepresentasikan keluarganya yang berada di kelas sosial atas, warga elit politik dan ekonomi kampung.

Penjelasannya sederhana saja. Untuk membangun makam rumah beton, lengkap dengan sepasang patungnya, dibutuhkan biaya besar. Tidak saja untuk biaya material bangunan dan tukang. Tapi juga untuk biaya pesta "peresmian"-nya. Hanya warga elit kampung, yang biasanya juga punya banyak kerabat sukses di rantau, yang mampu membiayainya secara tanggung-renteng.

Ini kaitannya dengan tiga nilai sukses orang Batak Toba, yaitu "hamoraon, hagabeon, hasangapon" (kaya, sukses, mulia). Capaian tiga nilai itu mesti ditampilkan antara lain melalui fisik bangunan makam orang tua atau kakek-moyang yang "mewah". Maka ketika warga kampungnya atau kampung lain lewat di depan makam itu, maka akan terlontar suatu pengakuan, "Betullah, keturunannya kaya, sukses, dan mulia".

Andaikan makam orang tua atau kakek-moyangnya tidak di bangun mewah, orang akan bilang dengan nada sinis, "Percuma keturunannya kaya, sukses, dan mulia." "Lupa bahwa semua itu mereka raih berkat restu orangtuanya." "Anak-anaknya gak tahu terimakasih." Begitulah.

Sudah menjadi watak Batak juga "bertelingan tipis". Tidak akan kuat mendengar ujaran-ujaran sinis semacam itu. Maka lebih baik memanen pujian, dengan cara membangun makam orangtua. Sekaligus sebagai pernyataan tentang status sosial mereka yang tinggi. Ini semacam menyumbang menara untuk bangunan gereja, yang terlihat dari kejauhan, lalu orang akan ingat siapa penyumbangnya. Maka tidak ada makam yang membelakangi jalan raya di Toba.

Begitulah, dengan melihat fisik makam di pekuburan kampung Batak Toba, kita langsung bisa tahu keluarga mana yang tergolong warga biasa atau elit di kampung itu. Sistem pelapisan sosial kampung itu, tergambarkan dengan tegas di pekuburan. Maka makam orang Batak Toba bukan sekadar kuburan jasad, tetapi simbol status bagi keluarga besar mendiang.***

Gara-Gara Jenazah Ditolak, Batak dan Mandailing Terbelah

Makam bukan sekadar situs penyimpanan manusia-manusia yang telah mati. Ia juga dibentuk dan dikelola untuk menandai kuasa suatu kelompok terhadap kelompok lain. Dengan begitu, siapa yang bisa dimakamkan dan bagaimana bentuk makamnya ditentukan oleh kelompok penguasa.Ceritanya mirip: jenazah seorang "Batak" tidak boleh dikuburkan di tanah yang diaku sebagai makam "Mandailing".

Orang "Batak" Tak Boleh Dikubur

Tanah itu dinamakan Pekuburan Sungai Mati. Letaknya tidak jauh dari istana Kesultanan Deli. Ia dibeli pedagang-pedagang Mandailing kampung Kesawan dari seorang bangsawan Melayu. Kemudian, ia menjadi tanah wakaf dan digunakan sebagai makam sejak 1889. Pada April 1922, pengurus pekuburan menetapkan setiap jenazah harus mendapatkan izin sebelum dikuburkan. Mereka berdalih pekuburan dikhususkan untuk mengubur orang "Mandailing". Pengurus juga melarang orang "Batak" menguburkan jenazah yang tidak diakui sebagai orang Mandailing.

Tetapi, orang-orang "Batak" dari Sipirok menggali kubur di Sungai Mati pada Agustus 1922. Tidak menerima itu, Haji Ibrahim, Mohammad Noech (Direktur Sjarikat Mandailing), dan Haji Hoesin (penghulu pekuburan) melapor kepada Tengku Besar, pemimpin Melayu. Dia pun mengirim utusannya ke pekuburan untuk melarang orang-orang Batak itu. Mereka tidak mau dilarang. Tengku Besar lalu mendatangkan Haji Abdul Majid, tetua penggali kubur.

Abdul Majid bersikeras keluarganya berhak dikuburkan di sana sejak berpuluh-puluh tahun sebelumnya. Tengku Besar menawarkan opsi pekuburan lain di Medan dan berjanji berjanji memeriksa surat-surat tanah wakaf Sungai Mati sebelum pergi ke sana untuk melarang langsung penguburan. Abdul Majid membalas dengan mengatakan bangsa "Mandailing" tidak ada. Baginya, Mandailing ialah "bangsa" baru yang hanya ada di Medan. Namun, Tengku Besar tetap melarang.

Sore hari, sekitar seribu orang Mandailing berkumpul di Sungai Mati untuk mencegah penguburan "Batak". Sekembalinya ke Istana, Tengku Besar menegaskan lagi titahnya soal larangan orang Batak dikuburkan di Sungai Mati. Akhirnya, jenazah "Batak" itu dikuburkan di luar pekuburan, dekat Sungai Kerah.

Ketika "Batak" Ditanggalkan

Daniel Perret menuliskan dalam Kolonialisme dan Etnisitas: Batak dan Melayu di Sumatera Timur Laut (2010) bahwa penolakan jenazah "Batak" di pekuburan Sungai Mati ialah salah satu peristiwa penting dalam pembentukan etnisitas Mandailing.

Pada dekade pertama abad ke-20, satu per satu orang bagian selatan Tapanuli yang merantau ke pesisir timur laut Sumatra mulai mengidentifikasi dirinya sebagai Mandailing. Sebelumnya, mereka dianggap "Batak" oleh pemerintah kolonial. Sebagian besar orang Mandailing beragama Islam dan sebagian lagi lulusan sekolah misi Kristen.

“Mengenai sebabnya barangkali dapat diajukan kemungkinan bahwa pada saat itu kalangan elit yang mendapat pendidikan Barat di bagian selatan Tapanuli sudah dapat membaca publikasi dan hasil penelitian orang Barat yang tidak memberikan gambaran menguntungkan mengenai ‘suku Batak’,” sebut Perret.

Salah satu rumor yang berkembang dan dipercaya hingga sekarang ialah Batak bangsa kanibal. Hasil penelitian Perret menunjukkan kanibalisme menjadi faktor yang digunakan para pembuat kategori etnis untuk membedakan, pertama, Batak dan Melayu.

“Jadi kami beranggapan bahwa sebutan ‘Batak’ tidak muncul dengan sendirinya, tetapi dari pertentangan dengan identitas Melayu. Seluruh penduduk pedalaman dimasukkan dalam kategori ‘Batak’ yang merujuk pada orang-orang pedalaman, bukan Melayu, bukan Islam,” ujar Perret.

Cerita-cerita ini berkembang dari catatan penjelajah (Eropa, Timur Tengah, atau Cina) yang singgah di Sumatra bagian utara pada beberapa abad sebelumnya. Namun, dalam "European Travelers and Local Informants in the Making of the Image of “Cannibalism” (2005), Masashi Hirosue menunjukkan rumor itu diciptakan penguasa pesisir agar orang asing tidak kontak langsung dengan orang pedalaman yang kerap disebut Batak.

Menyandang identias "Batak", waktu itu, artinya juga mesti siap dipandang rendah bangsa-bangsa lain. Dalam artikel yang dimuat Pewarta Deli edisi 21 Oktober 1918, misalnya. Artikel yang sudah diterbitkan Java Bode dan diperkirakan ditulis seorang Jawa dari Yogyakarta itu menyebutkan, "Negeri jang beloem dikenal. Tapanuli [...] Disana, sebelah barat poelaoe Soematra ada satoe ketoeroenan bangsa jang liar, jang dinamai bangsa Batak."

Sebelum Diaku Makam Mandailing

Sebelum Pekuburan Sungai Mati ditetapkan sebagai makam Mandailing, sebuah rapat diadakan di Medan untuk membahas masalah-masalah adat "bangsa Batak" pada akhir 1919. Berita Pewarta Deli yang dicatat Perret menyebutkan orang Mandailing menolak ikut rapat itu. Mereka menyatakan pertemuan itu tidak berkaitan adat dan bangsa Mandailing.


Pada 1921, orang-orang Mandailing mendirikan Sjarikat Mandailing. Awalnya, mereka tergabung dalam Sjarikat Tapanuli. Salah satu produk Sjarikat Tapanuli ialah Pewarta Deli. Dalam suatu rapat pemungutan suara Sjarikat Tapanuli, para pemegang saham "Batak" memberikan suara cuma ke orang-orang Batak, sementara para pemegang saham "Mandailing" memberikan suara kepada orang-orang Batak dan Mandailing. Orang-orang Mandailing kecewa, lalu, bikin Sjarikat Mandailing.

Sjarikat Mandailing melarang orang non-Mandailing menjadi anggotanya. Akibatnya, catat Perret, penduduk Sipirok, Angkola, dan Padang Lawas mesti memilih identitas "Mandailing" atau "Batak". Pada Februari 1922, mereka menyatakan diri sebagai "Batak".

Perpecahan Sjarikat Tapanuli tidak berhenti di situ. Di rapat tahunan, Maret 1922, anggota-anggota Mandailing hanya memberikan suara untuk calon-calon Mandailing. Alhasil, hanya orang Mandailing yang terpilih sebagai dewan pimpinan Sjarikat karena mayoritas anggota berlatar belakang Mandailing.

Orang "Batak" akhirnya bikin perusahaan dagang sendiri, Handel Maatschappij Batak (HMB), pada beberapa pekan setelahnya. HMB diketuai Haji Muhammad Tahir. Perusahaan itu bikin surat kabar Pancaran Berita.


Setelah Jenazah "Batak" Ditolak

Ditolaknya jenazah "Batak" di Sungai Mati menimbulkan perselisihan lain dan hanya memeruncing pengkutuban "Batak" versus "Mandailing" yang sudah ada. Masih di Agustus 1922, Pewarta Deli melansir seorang perempuan Mandailing datang ke kerapatan (semacam lembaga peradilan) untuk minta cerai. Sebabnya bukan hanya si suami tidak lagi memenuhi nafkah, tetapi juga mengaku sebagai "Batak". Saat berkenalan, si suami mengaku sebagai Mandailing.

Pada Oktober 1922, Pewarta Deli memuat artikel yang mengemukakan kemajuan bangsa "Batak". Artikel itu menyebut banyak orang Batak lebih rajin daripada Mandailing, menduduki jabatan tinggi dan gaji besar di perusahaan swasta dan kantor pemerintah.

Untuk memecahkan persoalan Pekuburan Sungai Mati, gubernur Pesisir Timur membentuk sebuah komisi pada November 1922. Komisi ini diketuai Sultan Deli dan beranggotakan lima orang: wakil pemerintah, Sultan Deli, wakil Mandailing, wakil Batak, dan seorang lagi yang dipilih empat orang tersebut.

Keputusan komisi itu membenarkan tindakan orang-orang Mandailing. Catatan pejabat kolonial yang termaktub dalam Memories van Overgave Deli-Serdang 1925 yang dikutip Perret menyebutkan diluar orang yang mengaku Mandailing hanya orang asal Sipirok yang boleh dikuburkan di Sungai Mati.

Setelah itu, sejumlah kerusuhan pecah lagi saat acara penguburan seorang "Batak" pengawal gubernur di Sungai Mati. Orang "Batak" mengajukan masalah kuburan ini ke gubernur jenderal. Kasus itu pun dibawa ke landraad Medan. Keputusan lembaga itu menguntungkan orang Batak. Tidak terima, orang Mandailing mengajukan banding ke Raad van Justitie. Lembaga itu memenangkan orang Mandailing.

Putusan itu diterima orang-orang Batak. Mereka akhirnya mendapat tanah pemakaman tersendiri. Namun, friksi antara "Batak" dan "Mandailing" terlanjur subur. Pewarta Deli edisi 22 Desember 1922 melaporkan seorang pemimpin "Batak" datang dari Pematang Siantar untuk mencela orang Mandailing di Batubara, suatu wilayah di luar Medan.

Riwayat Tanah Wakaf Bangsa Mandailing di Sungai Mati yang ditulis pada 1926 oleh Mangaraja Ihoetan (pemimpin redaksi Pewarta Deli) dan Abdoellah Loebis meringkas posisi superior Mandailing atas Batak.

Dua tahun berikutnya, seorang "Batak" anggota Nederlansch-Indonersisch Verbond (Ikatan Belanda-Indonesia) menyatakan istilah "Batak" selalu dikaitkan dengan sikap merendahkan dan dipandang sebagai hinaan. Akibatnya, orang "Batak" memilih menyebutkan daerah asalnya seperti Mandailing, Angkola, atau Toba.

Akhirnya, orang Mandailing membentuk Comité Kebangsaan Mandailing. Tujuannya memperoleh pengakuan sebagai "bangsa" kepada pemerintah. Namun, pemerintah menolaknya.

Dalam sensus 1930, orang yang mengaku Mandailing dikategorikan sebagai "Batak Mandailing". Orang-orang Mandailing protes dan mengirim utusannya ke Batavia. Mereka juga protes ketika pemerintah menyusun dasar-dasar Batakraad untuk memerintah pada 1939. Mereka menolak digolongkan sebagai orang Batak.

Mangokkal Holi

Ritual “Mangongkal Holi” merupakan satu dari sekian banyak ritus budaya yang ada pada masyarakat Batak Toba dan tetap dilakukan hingga saat ini. Pada dasarnya, ritual ini termasuk yang paling sakral dan kompleks tata cara pelaksanaannya. Mangongkal holi sendiri secara sederhana dapat diartikan sebagai upaya pemindahan tulang-belulang seseorang dari satu pemakaman ke “tambak” (pemakaman) yang lebih baik dan telah dipersiapkan secara khusus. Pada umumnya tulang belulang yang akan dipindahkan itu, setidaknya telah berusia 10 tahun.

Salah satu tujuannya ritus ini adalah untuk menyatukan kembali “jasad” orang yang telah meninggal itu bersama dengan “jasad” sanak keluarga/kerabatnya. Kekerabatan itu bisa berupa hubungan opung-cucu, orangtua-anak, atau yang satu generasi (abang-adik) lengkap dengan pasangannya masing-masing.

Tambak atau tempat pemakaman yang baru itu, biasanya telah disediakan jauh-jauh hari sebelumnya. Di tempat khusus pula. Biasanya di kampung halaman yang disebut ‘Bona Pasogi’.

Pada umumnya tambak itu dibangun dengan megah dan biasanya bertingkat. Dari atas ke bawah, tambak itu berisikan tulang belulang orang yang lebih tua generasinya. Biasanya sampai tiga generasi.

Seperti disebut di atas, prosesi mangongkal holi merupakan peristiwa adat-budaya yang sangat kompleks. Karena melibatkan banyak orang sesuai dengan fungsinya dalam peradatan yang diatur dalam konsep ‘Dalihan Natolu’.

Karenanya, upacara mangongkal holi bisa berlangsung sampai berhari-hari. Selama itu, penyelenggara harus menjamu masyarakat, raja-raja adat, raja kampung dan semua yang terlibat dalam prosesi itu. Tidak tanggung-tanggung untuk kebutuhan itu, beberapa ekor kerbau harus disiapkan. Tidak heran bila ritus mangongkal holi akan memakan biaya yang sangat besar.

Sebenarnya ada berbagai nilai luhur yang terkandung dalam ritual ini. Salah satunya sebagai bukti penghormatan terhadap orangtua/generasi terdahulu.

Orang Batak meyakini bahwa arwah seseorang yang sudah meninggal akan hidup abadi. Dengan menaruh tulang-belulangnya ke tempat yang lebih layak (tinggi) berarti mendekatkan arwah itu kepada Penciptanya.

Namun yang paling mendasar dari dilakukannya mangongkal holi lebih bertujuan untuk menyatukan jasad seseorang dengan kerabat keluarga yang dicintainya. Mengingat bisa saja seseorang meninggal dan dikubur di suatu tempat yang jauh dari tanah kelahiran maupun domisili sanak keluarganya. Sehingga perlu ada penyatuan agar jasadnya berada satu tempat dengan jasad saudara-saudarinya. Apalagi mereka yang suami-istri. Jasad mereka mesti disatukan dalam satu tempat yang sama.

Dengan kata lain, selain bermakna religius, mangongkal holi juga bagian dari upaya mendokumentasikan kembali silsilah keluarga. Dengan berada satu tempat, generasi selanjutnya akan lebih mudah mengetahui siapa-siapa saja nenek moyang/generasi di atasnya. Dengan begitu tidak ada rantai generasi yang putus.

Hal itu disampaikan penulis buku visualgrafis, “Mangongkal Holi”, Hasiolan Siahaan, kepada medanbisnisdaily.com, Senin (30/10/2017).

Disebut-sebut, tradisi mangongkal holi juga bagian dari tradisi biblis mengenai penghormatan leluhur (nenek moyang) dan orang tua. Dalam tradisi Israel ada kebiasaan untuk mengumpulkan tulang belulang orang yang sudah meninggal dan menempatkannya bersama nenek moyangnya.

Disalahartikan

Namun sekarang kni tradisi mangongkal holi ini kini ada pergeseran. Tujuannya bukan lagi sebagai bentuk penghormatan, namun lebih sering dijadikan untuk pamer harta dan kekuasaan.

Karena merasa mampu, sebuah keluarga membangun tambak yang begitu megah. Biayanya mencapai ratusan miliar. Juga menggelar pesta berhari-hari. Mereka memanfaatkan momen itu untuk menunjukkan keberhasilannya. Akibatnya, muncul kecemburuan dan rasa minder orang-orang yang hidupnya masih susah.

“Tetapi ada juga yang memaksa. Karena gengsi dan sebagainya. Mereka membangun tambak dengan megah. Itulah yang sering kita lihat, kuburan untuk orang meninggal dibuat mewah, sementara rumahnya sendiri sudah mau tumbang,” kata Hasioalan.

Tidak hanya mangongkal holi. Dalam pesta adat dan budaya lainnya, pamer harta itu juga terjadi. Inilah salah satu problem sosial terbesar orang Batak Toba sekarang ini. Keinginan untuk menunjukkan keberhasilannya sering dilebih-lebihkan. Sebaliknya, nilai-nilai yang melekat di dalam ritus itu malah dilupakan.

No comments

berkomentar sesuai dengan jatidirimu

Powered by Blogger.