Header Ads

Suku Alas dan seluk beluk Kehidupannya

Suku Alas adalah salah satu suku yang mendiami Tanah Alas, Kabupaten Aceh Tenggara, Provinsi Aceh. Arti kata “alas” dalam bahasa Alas berarti “tikar”. Ini berkaitan dengan tempat daerah itu yang membentang datar seperti tikar disela-sela Bukit Barisan. Daerah Tanah Alas dilalui banyak sungai, salah satu di antaranya adalah sungai Alas.

Desa orang Alas disebut kute yang biasanya dalam suatu kute didiami oleh satu atau beberapa klan, yang disebut merge. Anggota satu merge berasal dari satu nenek moyang yang sama. Mereka menarik garis keturunan patrilineal, artinya garis keturunan laki-laki. Mereka juga menganut adat eksogami merge, artinya jodoh harus dicari di merge lain.


Photo aerafanlava

Sejarah

Menyingkap tabir tentang sejarah dan asal muasal suku Batak Alas tidak dapat dipisahkan dari adat dan budaya Batak Alas itu sendiri. Mengingat hal ini mempunyai korelasi positif antara etiologi dengan antropologi budayanya yang telah menjadi manifestasi gerak jiwa dalam kehidupan sehari-hari mereka. Oleh sebab itu kuranglah lengkap bila hanya membahas tentang Sejarah Asal Mula Suku Batak Alas dan Penyebarannya di Tanah Alas, Aceh Tenggara. Sehingga dalam tulisan ini juga dibahas marga-marga, sekilas adat Batak Alas, Penerapan dan Landasan hukum adatnya secara juridis formal.

Ukhang Alas atau Khang Alas atau Kalak Alas telah bermukim di Lembah Alas (Alas Valley) jauh sebelum Pemerintah Kolonial Belanda masuk ke Indonesia, dimana keadaan penduduk Lembah Alas waktu itu telah diabadikan dalam sebuah buku yang ditulis oleh bangsa Belanda bernama Radermacher (1781:8). Bila dilihat dari catatan sejarah masuknya Islam ke Tanah Alas pada tahun 1325 (Effendy, 1960:36), maka jelas Tanah Alas telah dihuni penduduk (Bangkaru, 1998) walaupun masih bersifat nomaden (nomadic society), dengan menganut kepercayaan animisme dan lain sebagainya.

Nama Alas diperuntukkan bagi seorang atau kelompok etnis Alas, sedangkan daerah Alas sendiri disebut dengan Tanoh Alas (Alasland). Menurut Kreemer (1922:64) sebutan “Alas” berasal dari nama seorang kepala etnis, yaitu seorang cucu dari Raja Lambing, yang dahulunya bermukim di desa paling tua di Tanah Alas, yaitu Batoe Mboelan, kemudian nama desa ini berubah ejaannya menjadi Batumbulan.

Menurut Iwabuchi (1994:10) Sejarah raja yang pertama sekali bermukim di Tanah Alas terdapat di desa Batumbulan dikenal dengan nama RAJA LAMBING, yaitu keturunan dari RAJA LONTUNG atau dikenal dengan cucu dari GURU TATEA BULAN dari Samosir, Tanah Batak. Tatea Bulan adalah saudara kandung dari RAJA SUMBA atau Sumbaon. Guru Tatea Bulan mempunyai lima orang anak, yaitu Raja Uti, Saribu Raja, Limbong, Sagala, dan Silau Raja. Saribu Raja adalah orang tuanya Raja Bor Bor dan Raja Lontung. Raja Lontung mempunyai Sembilan orang anak (Anak Lontung: Sia si Sada Inang), yaitu dua perempuan, kawin dengan Simamora dan yang satu lagi berkeluarga dengan Sihombing dimana kedua marga ini menjadi Boru (bahasa Batak Toba), atau Anak Beru (bahassa Karo), atau Peranakberunen (bahasa Batak Alas). Kemudian anak Raja Lontung yang laki-laki adalah: Sinaga, Situmorang, Pandiangan, Nainggolan, Simatupang, Aritonang, dan Siregar yang dikenal dengan siampuan atau payampulan, sesampunen (bahasa Alas-red). 

Pandiangan merupakan monyangnya Pande, Suhut Nihuta, Gultom, Samosir, Harianja, Pakpahan, Sitinjak, SOLIN di Dairi, SEBAYANG di Tanah Karo dan SELIAN di Tanah Alas (Aceh Tenggara) dan Kluet (Aceh Selatan). Penulis dan sebagian anggota keluarga sudah pernah berkunjung ke Toga Pandiangan dan menginap di Desa Urat, Kecamatan Palipi, Kabupaten Toba Samosir Tahun 2004. Raja Lambing adalah monyang dari marga Sebayang di Tanah Karo dan Selian di Tanah Alas. Raja Lambing merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara, yaitu abangnya tertua adalah Raja Batuha di Dairi, dan nomor dua adalah Raja Enggang yang hijrah ke Kluet (Aceh Selatan), keturunan dan pengikutnya adalah marga Pinem atau Pinim). Kemudian Raja Lambing hijrah ke Tanah Karo dimana keturunan dan pengikutnya adalah marga Sebayang dengan wilayah kemukimannya mulai dari Tiga Binanga hingga ke Perbesi dan Gugung, Kabupaten Karo dan Marga Selian di Tanah Alas Kabupaten Aceh Tenggara.

Setelah kedatangan Raja Lambing ke Tanah Alas, lalu menyusul Raja Dewa, yaitu pembawa ajaran Islam perdana dan termasyhur ke Tanah Alas, dimana beliau menjadi suami putri kandung Raja Lambing. Kemudian Raja Lambing menyerahkan tahta kerajaannya kepada menantunya Raja Dewa yang dikenal juga dengan nama Malik Maulana Ibrahim (Ismail, Informan, 2003). Bukti situs sejarah kerajaan ini masih dikunjungi berbagai pejiarah dalam dan luar negeri, yaitu Perkuburan Datuk Raja Dewa/Malik Maulana Ibrahim, berlokasi di muara Lawe Sikap, desa Batumbulan. Raja Dewa mempunyai seorang putra yang bernama Alas yang terakhir menjadi seorang Raja di Tanah Alas. Kemudian setelah menerima tahta Kerajaan dari orang tuanya Raja Dewa, seluruh wilayah ini menjadi kekuasaan Raja Alas, siapapun yang hendak bermukim dan menggarap lahan di ”Tanahnya si Alas” tentunya harus seizin Alas sebagai seorang penguasa Negeri. Karena luasnya kekuasaan wilayahnya, maka pihak luar Aceh Tenggara memberi nama tujuan (destination) Tanah Alas, lalu nama inilah dikenal hingga hari ini menjadi nama Orang Alas (The People of The Alas Valley), Suku Alas, atau Tanah Alas atau Alas land, bahkan Lawe Alas (Kali Alas-red) dan Lembah Alas (Alas Valley).

Keturunan Raja Alas hingga tahun 2000 ada yang bermukim di berbagai wilayah, baik di tanah Alas, ibu kota Propinsi Aceh (Banda Aceh), Medan, Malaysia, maupun tempat lainnya (Encyclopaedisch Bureau, 1916:119; Iwabuchi, 1994:10-15; Kreemer, 1923:243-244; Rahman, Informan, 2003; Jibun, Informan 1998).

Berdasarkan temuan data tersebut di atas, maka jelas bahwa nama Alas bukan berasal dari sebutan berbagai bahasa etnis di Nusantara. Misalnya, karena Tanah Alas dikelilingi bukit/gunung-gunung artinya dalam bahasa Jawa adalah Alas, karena di hamparan ini banyak Talas, maka disebut wilayah ini menjadi Alas, atau daerah ini merupakan lembah yang rendah maka dalam kata Melayu disebut Alas, karena merupakan hamparan luas maka disebut Alos (tikar) menurut etnis Gayo. Jelasnya penamaan seperti ini sulit dipertanggung-jawabkan secara akademik.

Diperkirakan pada akhir abad 12, Raja Lambing hijrah dari Tanah Karo ke Tanah Alas, dan bermukim di Desa Batumbulan, keturunan dan pengikutnya adalah Marga Selian. Ada hal yang menarik perhatian dari kesepakatan antara putra Raja Lambing (Raja Adeh, Raja Kaye dan Raja Lele) dengan Putra Raja Dewa (Raja Alas) bahwa syi’ar Islam yang di bawa oleh Raja Dewa diterima oleh seluruh kalangan masyarakat Batak Alas, tetapi adat istiadat Batak Alas yang dipunyai Raja Lambing tetap dipakai bersama (Rahman, Informan, 2003; Ismail, Informan, 2003; Jibun, Informan, 1998). Ringkasnya adalah “hidup dikandung adat, mati dikandung hukum (Islam)”. Oleh sebab itu jelas bahwa assimilasi adat istiadat dengan ajaran Islam dalam kebudayaan suku Batak Alas telah berlangsung sejak ratusan tahun lalu. Raja Adeh mempunyai keturunan Selian dan pengikutnya di Kertan (Kecamatan Badar dan Kecamatan Darul Hasanah), Raja Lele adalah monyangnya Selian dan pengikutnya di Engkeran (Kecamatan Lawe Alas dan sekitarnya), dan Raja Kaye adalah Monyangnya Orang Selian Batumbulan dan Pengikutnya, sekarang Kecamatan Babussalam dan sekitarnya (Jibun, Informan, 1998; Rahman, Informan, 2003, dan Ismail, Informan, 2003). Raja Lambing di Tanah Alas hingga tahun 2000, telah mempunyai keturunan ke 26 yang bermukim tersebar di tanah Alas (Encyclopaedisch Bureau, 1916:118; Effendy, 1960:36; Sebayang 1986:17; Ismail, Informan, 2003).

Pada awal kedatangannya, Datuk Raja Dewa atau Malik Maulana Ibrahim migrasi melalui pesisir bagian Timur Aceh (Pasai) sebelum ada kesepakatan di atas, ia masih memegang budaya maternalistik dari Minang Kabau, sehingga putranya Raja Alas, sebagai pewaris kerajaan, mengikuti garis keturunan dan marga pihak ibu yaitu Selian. Setelah Raja Alas menerima asimilasi adat istiadat yang dibawa oleh Raja Lambing dengan ajaran Islam, maka sejak itulah mulai menetapkan keturunannya mengikuti garis keturunan ayah (paternalistik). Raja Alas dikenal pula sebagai pewaris kerajaan, disamping kekayaan harta tanah ayahnya dan yang diperoleh dari kakeknya Raja Lambing (Sebayang, 1975:73). Sejak itulah diperkirakan daerah ini dikenal dengan sebutan nama Tanah Alas (Tanah Alas), Tanah artinya permukaan bumi yang terbatas, ditempati suatu bangsa/suku/clan yang diperintah dalam suatu negeri/wilayah dan mendapat pengakuan dari publik (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2001: 1132-34).

Menurut Iwabuchi (1994:11), akhirnya, kakek Raja Alas (Raja Lambing) migrasi lagi ke Kluet (Aceh Selatan) untuk mencari “abangnya” yang nomor dua, yaitu Raja Enggang. Raja Lambing di Kluet juga mempunyai keturunan dan pengikutnya dikenal dengan marga Selian serta ia menghembuskan nafas terakhir dan makamnya berada di Deleng Puntung, desa Icing Manuk, yaitu diperkirakan antara Lawe Sawah dan Lawe Manggamat sekarang (Rahman, Informan, 2003; Ismail, Informan, 2003; Jibun, Informan, 1998). Oleh sebab itu banyak keturunan dan pengikutnya berkembang di Kluet. Sebagian mereka sudah kembali lagi ke Batumbulan (Aceh Tenggara) dan sekitarnya, bahkan sebaliknya dari Batumbulan juga ada yang hijrah ke Lae (Lawe) Sawah, Paya Dapur, Kota Pajar, Manggamat dan sekitarnya di Kluet. Mereka bermukim di wilayah ini diperkirakan sejak awal abad ke 13 yang lalu (Effendy, 1960:36 Encyclopaedisch Bureau, 1916:118-9; Akbar, 2010-b; Akbar,2005).

Beberapa data menyebutkan bahwa setelah kehadiran Selian di Batumbulan, muncul lagi kerajaan lain yang dikenal dengan marga Sekedang yang basis wilayahnya meliputi Bambel hingga ke Lawe Sumur dan sekitarnya. Raja Sekedang ini menurut beberapa informasi dan data yang ditemukan pada awal kehadirannya ke Tanah Alas adalah mencari Ayahnya, yaitu Raja Dewa yang migrasi ke Tanah Alas. Raja Marga Sekedang datang ke Tanah Alas diperkirakan pada pertengahan abad ke 13, yaitu bernama Nazaruddin yang dikenal dengan panggilan Datuk Rambat yang datang dari Pasai. Pendatang berikutnya semasa Raja Alas adalah kelompok Megit Ali dari Aceh Pesisir dan keturunannya berkembang di Biak Muli dan sekitarnya, yang dikenal dengan marga Bekhuh (Beruh). Lalu terjadi migrasi berikutnya yang membentuk beberapa marga, namun mereka tetap merupakan pemekaran dari penduduk Batumbulan (Iwabuchi, 1994; Akbar, 2010-c:3). Penduduk Batumbulan mempunyai beberapa kelompok atau marga (clan dan sub-clan). Marga tersebut meliputi Pale Dese yang bermukim di bagian barat laut Batumbulan, yaitu Terutung Pedi, lalu hadir kelompok Selian, datang Kelompok Sinaga (Sinage), Keruas, dan Pagan. Disamping itu bergabung lagi marga Munthe, Pinim (Pinem), Karo-karo, dan Terigan (Tarigan). 

Marga Pale Dese merupakan penduduk yang pertama sekali menduduki Tanah Alas Iwabuchi, 1994; Akbar, 2010-a), namun tidak punya kerajaan yang tercatat dalam sejarah(Akbar, 2010-b:3). Kemudian hadir pula Deski yang bermukim di kampung Ujung Barat (sekarang masuk dalam wilayah Batumbulan II).

PENYEBARAN BANGSO BATAK ALAS DI TANAH ALAS

Penyebaran Bangso Batak Alas yang berdomisili di desa (Kute) Batumbulan sebagai wilayah asal muasal penyebaran Batak Alas menurut hasil penelitian Iwabuchi yang dicatat oleh Daalen sejak 1904-1907 adalah: Lawe Pangkat, tenembak Alas, Gusung Batu, Pulonas, bagian dari Mbarung (Ujung Barat), Perapat, Cane Keretan, Pulogang/Tambunan, Kute Tinggi, Deleng Megakhe (Tanah Merah), Mbornut, Batin, Gulo, Kute Pasir (Kampung Raja), Muara Lawe Bulan, Kuta Lenge, Telage Mekar, Penumbukan, Kute Batu, Lawe Rutung, Itam Mencawan ni Tualang, Kute Gerat, Lawe Sumur, Kandang Mbelang, Batumbulan Mbaru, Lawe Pio, Lawe Perlak, Ntualang Sembilar. Pemekaran Batumbulan ke arah utara adalah Rambung Teldak, bagian dari Natam, Lawe Gerger, Jongar, Pengeparan, dan Cingkam. Kemudian pemekaran Batumbulan ke Kembang Kertan adalah Kute Rambe, Kute Buluh, Kute Ujung, Kute Mesung, Lawe Pungge, Lawe Bekung (Salang). Kemudian pemekaran ini berlanjut ke Kute Lengat Mbaru (bagian Terutung Pedi), Gulo, Paye Munje, dan Kute Lengat. Kemudian ke Terutung Pelariken, Ntualang, Terutung Buluh (Kute Buluh), Kute Rih, dan Tenembak Langlang. Kemudian berkembang lagi ke arah Barat daya, yaitu Ngkeran, Lawe Kongkir, Rumah Luar, Paye Munje, Terutung Payung, Kute Genting Muara Baru, Pulo Tebu, Pulo Latong, Kute Mbaru, Terutung Pilun, Penampaan, dan beberapa desa lagi berkembang akhir-akhir ini, misalnya Lak-lak (dusun Aunan) di Kecamatan Badar, Kute Lengat Marpunge di Kecamatan Blangkejeren, Kuta Tengah (Kecamatan Lawe Sigala-Gala), Lawe Sempilang, Liang Pangi (Kecamatan Lawe Alas), dan lain-lain yang belum di inventarisir.

Berdasarkan fakta sejarah dari berbagai literatur hasil penelitian di atas bahwa kerajaan di Tanah Alas yang tertua berada di Batumbulan dan merupakan basis pemekaran serta cikal bakal lahirnya nama Tanah Alas. Oleh sebab itu dapat dimaklumi bahwa secara asas hukum adat dan ethnologis maka berlaku teori receptio in complexu dan istilah Gods dientige Wetten yang kemudian berubah menjadi Adatrech (Djunet, 1992:7-8). Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka Batumbulan adalah merupakan wilayah kerajaan tertua dan asal muasalnya adat-istiadat Batak Alas dan pusat pengembangan syi’ar Islam di Tanah Alas tempo doeloe. 

Mata pencaharian

Mata pencaharian suku Alas adalah pertanian dan peternakan. Pertanian dapat berupa menanam padi, karet, kopi,dan kemiri, serta mencari berbagai hasil hutan, seperti kayu, rotan, damar dan kemenyan. Sedangkan untuk peternakan mereka memelihara kuda, kambing, kerbau, dan sapi.

Agama

Suku Alas menganut ajaran agama Islam. Tetapi masih ada juga yang mempercayai praktik perdukunan misalnya dalam kegiatan pertanian.

Bahasa

Bahasa yang digunakan adalah Bahasa Alas (Cekhok Alas) Bahasa ini merupakan rumpun bahasa dari Austronesia suku Kluet di kabupaten Aceh Selatan juga menggunakan Bahasa yang hampir sama dengan bahasa suku Alas.

Tolong Menolong Masyarakat Alas

Penelitian yang dilakukan oleh Muliadi Imami (2013) dalam desertasinya yang berjudul Perilaku altruisme di Aceh Tenggara, ia menemukan beberpa ciri khas budaya menolong masyarakat Alas, yaitu:

1. Bidang Sosial Ekonomi

Jika seorang dari suku Alas baru berumah tangga, secara adat akan dibantu orang tua dari pihak lelaki dan orang tua di pihak perempuan. Budaya bantuan untuk pengantin tersebut dikenal sebagai berikut:

a) Jawè, artinya pisah rumah. Pengantin yang dianggap telah cukup masa tinggal di rumah ibu bapanya (orang tua pengantin lelaki) harus membentuk rumahtangga yang baik dengan tinggal di rumah lain. Sebagai modal awal, ibu bapanya akan memberikan modal usaha dan beberapa peralatan yang diperlukan.

b) Pesula’i, bermaksud memberikan ‘hadiah’ sebagai cikal bakal dalam memulai kehidupan yang baru. Pesula’i adalah pemberian dari orang tua pengantin perempuan kepada anaknya dengan maksud membantunya dalam menempuh hidup baru. Barang-barang yang biasanya diberikan adalah perhiasan dari emas dan alat-alat rumah tangga yang diperlukan.

2. Bidang Pertanian

Pada bidang pertanian ada beberapa istilah tolong menolong yang dilakukan.

a) Budaya Peleng Akhi, Budaya ini mempunyai arti ‘bergiliran’. Maksudnya, bekerja sama dalam melakukan pekerjaan di bidang pertanian dengan cara bergiliran. Orang yang telah dibantu pekerjaannya oleh orang lain diwajibkan untuk menggantinya dengan bekerja di lahan pertanian orang tersebut di lain waktu.

b) Nempuhi, Artinya membantu orang lain dalam hal bertani tanpa mengharapkan ganjaran dari pekerjaan itu. Budaya ini biasanya dilakukan kepada orang yang dihormati seperti guru atau pemimpin kampung, serta orang yang mempunyai kelemahan secara fisik. Sebaliknya, bila yang dibantu itu guru atau pemimpin, mereka mempunyai kesadaran untuk menyediakan makanan dan minuman kepada para pekerja tersebut sebagai bentuk penghargaan dan terimakasih.

3. Acara Adat Istiadat

Upacara adat istiadat yang ada dalam masyarakat suku Alas adalah ‘Turun Mandi’, ‘Sunat Khitan’, ‘Perkawinan’, dan ‘Kematian’. Pada setiap kegiatan ini dikenal beberapa budaya tolong menolong yang dilakukan oleh masyarakat sesuai dengan posisinya dalam struktur kekerabatan. Ada tiga struktur kekerabatan dalam suku Alas yaitu Wali, Sukut/Senine, dan Pebekhunen/Malu. Adapun bentuk tolong-menolong yang dilakukan adalah

a) Pemamanen, yaitu panggilan yang diberikan kepada rombongan yang datang dari pihak Wali yaitu ayah dan saudara lelaki dari perempuan (Malu) yang mempunyai hajatan. Pada setiap acara adat Alas, pemamanen mempunyai peran penting karena mereka adalah tamu yang dimuliakan. Dalam setiap kegiatan mereka akan membawa bantuan kepada tuan rumah dan biasanya bantuan ini dalam bentuk materi atau sejumlah uang. Semakin tinggi nilai bantuan maka semakin tinggi pula prestige yang mereka dapatkan. Begitupula tuan rumah merasa lebih dihormati dan dimuliakan. Slogan yang menjadi failosofi budaya ini adalah Besar wali karena malu, besar malu karena wali

b) Tempuh, artinya bantuan yang diberikan oleh saudara dekat atau diistilahkan dengan kelompok sukut artinya orang yang punya kerja (saudara kandung atau masih mempunyai pertalian darah dan marga). Bantuan ini terkadang ditentukan dalam musyawarah keluarga, namun terkadang juga tidak ditentukan, sehingga pemberian didasarkan oleh kesadaran masing-masing yang disesuaikan dengan kemampuannya, serta bergantung pula pada jauh dekatnya pertalian kekerabatan yang dimiliki.

c) Nempuhi Wali artinya membantu wali, bantuan ini diberikan oleh Malu yaitu anak perempuan atau saudara perempuan yang sudah kawin dan pebekhunen yaitu suaminya kepada pihak wali yang mempunyai hajatan/acara adat. Dalam setiap kegiatan bantuan yang mereka berikan adalah dalam bentuk tenaga, misalnya bertanggung jawab di dapur dalam menyiapkan hidangan dan membereskannya. Sebenarnya Nempuhi Wali ini merupakan kewajiban yang ditetapkan dalam budaya suku Alas tidak hanya pada kegiatan yang menyangkut adat-istiadat, tetapi juga pada kegiatan lainnya dalam kehidupan sehari-hari seperti membantu di sawah dan lain-lain.

MARGA-MARGA SUKU BATAK ALAS

Menurut Zainuddin (1961:187; Akbar, 2010-a:5); bahwa adapun marga yang tertua di kalangan Bangso Batak Alas adalah 28 marga, dengan urutan (sesuai susunan abjad) adalah Marga Bangko, Cibro, Desky, Keling, Pale Dese, Keruas, Pagan, dan Selian. Kemudian hadir lagi marga Acih, Beruh, Gale, Kekaro (Karo-karo), Mahe (Maha), Menalu (Manalu), Mencawan, Munthe, Sinage (Sinaga), Pase, Pelis, Pinim (Pinem), Ramin, Ramud, Sambo, Sekedang, Sugihen, Sepayung (Sipayung), Sebayang, dan marga Terigan (Tarigan).

Atas dasar etiologi kehadiran berbagai etnis di Tanah Alas, maka jelas tidak ada satu orangpun orang Batak Alas yang berdiri sendiri secara independen ibarat tumbuhnya cendawan dimusim hujan. Oleh karena itu etnis Batak Alas sejak monyang terdahulu hingga sekarang adalah pendatang. Namun kedatangan mereka ada yang lebih awal hadir, yang datang kemudian, dan ada yang baru hadir dan bermukim di Tanah Alas. Sehingga wajar penduduk di Tanah Alas merasa senasib-sepenanggungan serta sama-sama pendatang ke daerah ini, termasuk penulis sendiri walaupun asli penduduk Batumbulan, namun harus diakui moyangnya adalah imigran tempo doeloe.

ADAT ISTIADAT BATAK ALAS

Seperangkat nilai-nilai keyakinan sosial yang tumbuh dan berakar dalam kehidupan masyarakat tertentu disebut dengan adat istiadat. Keragaman adat istiadat di Aceh merupakan kekayaan yang berharga bagi ummat, salah satu diantaranya adalah adat Batak Alas. Keberadaan adat Alas telah memberikan sumbangan dalam mengatur kehidupan masyarakat secara turun temurun di Lembah Alas. Berdasarkan Undang-undang Nomor 44 tahun 1999, tentang penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh dan Perda Nomor 7 tahun 2000, tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat maka sudah pasti Pemerintah telah mengakui keberadaan adat Aceh, termasuk adat Batak Alas yang tidak lapuk dihati khang Alas (orang Alas). Pengakuan Pemerintah tersebut di atas menunjukkan betapa besarnya peran adat istiadat untuk difungsikan kembali demi mewujudkan keharmonisan dalam kehidupan masyarakat Aceh pada umumnya dan masyarakat Batak Alas pada khususnya. Adat istiadat Batak Alas berkaitan dengan “Adat Bak Po teu Meureuhom, Hukom bak Syiah Kuala, Kanun bak Putro Phang, Resam bak Laksamana, Hukum ngon Adat lagee Zat ngon Sifeut”. Sehubungan dengan maksud tersebut di atas, maka penyelenggaraan kehidupan adat di Tanah Alas diatur dalam suatu Peraturan Daerah, yaitu Qanun Nomor: 24 Tahun 2000 (Akbar dan Kartini, 2006).

Pemulihan pemberlakuan hukum adat berdasarkan peraturan perundang-undangan resmi dari Negara kepada masyarakat adat di Propinsi Naggroe Aceh Darussalam (NAD), khususnya masyarakat adat Batak Alas, yaitu merupakan upaya secara langsung membantu Pemerintah untuk menyelesaian tindak pidana adat secara tuntas dan memuaskan masyarakat adat di luar Pengadilan Negeri. Justru itu peraturan adat setempat jauh lebih dihormati oleh masyarakat adat ketimbang hukum warisan kolonial Belanda yang masih berlaku di Tanah Air ini. Dengan demikian keadaan di Aceh mendatang, khususnya masyarakat adat Batak Alas di Kabupaten Aceh Tenggara, mirip dengan penegakan hukum di Manhattan, State of Kansas, Amerika Serikat (USA), di mana Kota Penulis menyelesaikan Sudi, yaitu pemberlakuan hokum lokal (State regulations enforcement), sesuai budaya masyarakat Midwest. Karena hukum lokal yang begitu mendarah daging dan tetap hidup dalam masyarakat, maka timbul hipotesis bahwa sifat-sifat kepatuhan terhadap regulasi di kalangan keluarga diwariskan secara genetika kepada anak-anak mereka. Terbukti bila ada pelanggaran terhadap regulasi di USA, individu atau masyarakat akan segera melaporkan kepada pihak berwajib lewat telepon khusus 911 (nine-one-one). 

Kepatuhan terhadap regulasi tentu ada sebabnya, yaitu para saksi sangat dilindungi kerahasiaan pelaporannya oleh Pemerintah Federal dan diberikan insentif ratusan hingga ribuan Dollar setiap laporan pertama dari saksi terhadap kasus tindak pidana. Tentu seluruh masyarakat menjadi “polisi” yang membuka tabir tindak pidana sesuai regulasi setempat membatu penegak hukum di USA (Black, 1990).

Ada kemiripan penerpan hukum adat di USA di atas dengan halnya hukum masyarakat adat Batak Alas, hingga kini tetap hidup dan unik, dimana sipelapor selalu dirahasiakan serta mendapat perlindungan adat disamping memperoleh hak adat dari pengabdiannya. Hal inilah masih berlaku dalam masyarakat adat Batak Alas. Hukum adat dalam masyarakat Batak Alas mengatur tatanan kehidupan masyarakat sejak ratusan tahun lalu, sehingga dikenal istilah pelanggaran adat, sanksi, dan denda tindak pidana adat. Pelanggaran adat dalam kehidupan masyarakat Batak Alas sangat tidak dibenarkan. Namun bila terjadi pelanggaran, maka dapat diselesaikan di luar pengadilan Pemerintah. Sehingga dalam penyelesaian tindak pidana adat Batak Alas mengacu pada Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 dan Perda (Qanun) Nomor 7 Tahun 2000, Pasal 10 menegaskan bahwa “Aparat penegak hukum memberi kesempatan terlebih dahulu kepada Geuchik (Penghulu) dan Imum Mukim untuk menyelesaikan sengketa-sengketa/perselisihan di Gampong/Mukim masing-masing”. Pada Pasal 11, ayat (1) berbunyi “Keuchik berwenang untuk menyelesaikan perselisihan persengketaan/ permasalahan yang terjadi di Gampong (Desa), baik masalah-masalah dalam keluarga, antar keluarga, dan masalah-masalah sosial yang timbul di masyarakat dalam suatu Rapat Adat Gampong (desa)”, dalam hal ini Rapat Adat Batak Alas. Pada ayat (2) menegaskan “Apabila dalam jangka waktu 2 (dua) bulan perselisihan tersebut tidak dapat diselesaikan di Gampong atau para pihak yang bersengketa tidak dapat menerima keputusan adat tingkat Geuchik, maka perselisihan sengketa tersebut diselesaikan oleh Imum Mukim dalam rapat Adat Mukim”. Pasal 14 ayat (2) menegaskan bahwa “Para pihak yang tidak mengindahkan keputusan adat pada tingkat Geuchik atau Imum Mukim, ia akan dikenakan sanksi adat yang lebih berat oleh karena merusak kata kesepakatan dan mengganggu keseimbangan yang hidup dalam masyarakat”. Pasal 15 ayat (1) menegaskan bahwa “Dalam jangka waktu 1 (satu) bulan Imum mukim tidak dapat menyelesaikan atau para pihak yang berselisih/bersengketa merasa tidak puas terhadap keputusan adat tingkat Mukim, maka ia dapat mengajukan perkaranya kepada aparat penegak hukum (Polisi). Pasal yang sama pada ayat (2) ”Keputusan adat yang telah dijatuhkan kepada pihak-pihak yang bersengketa dapat dijadikan salah satu pertimbangan oleh aparat penegak hukum dalam menyelesaikan perkara.

Pasal 24 berbunyi “Aparat Pemerintah yang berasal dari luar daerah dan bertugas di Aceh, khusunya di Tanah Alas, harus mempelajari dan menghormati dasar-dasar adat Alas dan nilai-nilai yang hidup di tengah-tengah masyarakat adat”. Tata cara dan syarat-syarat penyelesaian perselisihan/ persengketaan, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan adat di masing-masing daerah, dalam hal ini secara Adat Batak Alas. Sebagai pedoman penyelesaian pelanggaran adat sudah diterbitkan buku “Sanksi dan Denda Tindak Pidana Adat Alas”, tahun 2001 dan edisi kedua dicetak ulang tahun 2004.

MIGRASI BATAK TOBA KE TANAH ALAS PADA ZAMAN KOLONIAL BELANDA

Pemerintah Kolonial Belanda dikenal dengan politik De vide et imperanya dalam menguasai Nusantara. Kemudian pembukaan akses transportasi untuk mobilitas hasil bumi dan kekayaan alam yang mereka eksplorasi sangat diutamakannya. Akses transportasi yang dimaksud meliputi pembangunan jalan baru dari Sumatera Timur ke Tanah Alas (1909-1914). Sehingga memudahkan migrasi antar suku berikutnya, antara lain Melayu Deli dari Sumatera Timur, Batak Toba dari Samosir dan sekitarnya. Termasuk dari Angkola, Sipirok, Batak Timur Raya, Simalungun, Karo, Pakpak, Mandailing, Singkil dan lain-lain (Gayo, 1983). Disamping sebagai serdadu Nica Belanda, banyak pekerja dan buruh membuka jalan dibawa dari Jawa, Menado, Batak Toba, dll, sampai saat ini telah berketurunan di Aceh Tenggara. Mereka inidi duga menjadi sumber informasi bagi orang Batak Toba dan suku lainnya untuk datang di kemudian hari ke Tanah Alas.

Migran Batak Toba sesampainya di Tanah Alas tentu harus melapor dan umumnya tinggal di Batumbulan. Raja Batumbulan saat itu, Haji Sidon, yaitu abang sepupu Raja Haji Durasa alias Wan Ampuk. Beliau memerintahkan kepada pendatang Batak Toba membuka persawahan dan diharapkan menjadi contoh bagi Batak Alas dalam bercocok tanam. Berita tentang Tanah Alas semakin tersebar di kalangan petani Batak Toba di Samosir dan Tapanuli, maka secara berangsur-angsur mereka memasuki Tanah Alas yang subur.

Petani Batak Toba sekitar tahun 1920-an semakin ramai datang untuk mendapatkan tanah, umumnya mereka terlebih dahulu membayar uang adat dan mendapatkan surat izin dari Keujeuruen sesuai adat Batak Alas yang dikenal ”Secawan Ngkahe, Secawan Ngkolu”. Penyelesaian uang adat ini adalah untuk mendapat hak garap saja (bukan hak milik/pinjaman) lahan subur, maka dalam tahun 1922 diperkirakan sudah tidak kurang dari 148 Kepala Keluarga yang menetap di Tanah Alas di bawah kepemimpinan Raja Haji Sidon.

Setelah berakhir kekuasaan Raja Haji Sidon (sakit dan meninggal dunia) pada zaman penjajahan Belanda, dimana sebenarnya penduduk Batak Alas merupakan ”pemilik lahan” yang sanga luas dan subur.di se-antero Lembah Alas. Mengetahui informasi tersebut, maka migran Batak Toba sangat tergiur, sebab tanah di Pulau Samosir dan Tapanuli sangat kurang menjanjikan untuk kehidupan bidang pertanian ladang atau sawah. 

Tidak seperti pada masa kekuasaan Raja Sidon, lahan hanya sebatas hak garap, kemudian Keujeurun Bambel di bawah kekuasaan Haji Durasa Selian (Marga Selian adalah anaknya Pandiangan dari Pulau Samosir, red) atau dikenal dengan Raja Wan Ampuk. Semasa Raja Wan Ampuk (Penduduk Batumbulan Asli, red), tidak dikenakan uang adat garapan atas tanah seperti pada masa Raja Sidon kepada siapa saja pendatang di Tanah Alas, oleh sebab itu pendatang Batak Toba lebih senang. Mereka ada yang tinggal di Batumbulan, dimana sifatnya adalah pekerja keras, apalagi mereka sudah diberikan hak milik adat atas tanah yang selama ini hanya sebagai garapan saja. Lalu semasa Raja Wan Ampuk menjadi Keujeurun Bambel lahan-lahan garapan ditetapkan menjadi hak milik adat, sehingga kehidupan mereka relatif lebih baik dibandingkan penduduk setempat, Batak Alas. 

Lahan-lahan yang diserahkan pertama sekali oleh Raja Wan Ampuk diantaranya Mura Keminjin, Deleng Megare dan Jambur Lele (Tanah Merah) kepada keluarga Pakpahan, dan Pasaribu Cs. Selanjutnya diberikan ratusan Hektar kepada keluarga Sianturi dan Situmeang Cs. di Buluh Biang (Paranginan), sekarang di Kecamatan Badar. Selanjutnya Raja Wan Ampuk memberikan ratusan hektar kepada keluarga Haji N. Siregar, Harahap, Situmorang, Simamora Cs. dari Tapanuli Selatan di Kampung Melayu, Maracar, Kuta Batu dan Simpang Semadam. Untuk Keluarga Aruan, Aritonang, Tampubolon, Siregar dan Sinaga Cs diberikan di Afdeling Lawe Petanduk, Lawe Sigala, Lawe Desky, Kandang Belang, Kampung Nangka, Lawe Ponggas, Bunga Melur, Kuta Pengkih. Titipanjang diberikan menjadi lahan Sibarani Cs, tanpa membayar uang adat. Untuk keluarga Silaban, Sitohang, Simanjuntak, Siagian, Hutauruk, Sihombing Cs diberikan lahan di afdeling Lawe Bekung, Rukahan, Simpang Tiga Rantodior (Tanah Milik adat/pribadi Wan Ampuk) hingga ke batas kebun Rutung Tenembak Bahu (sekarang Desa Kati Jeroh-red).

Pada tahun 1932, Pemerintah Belanda menilai bahwa kehidupan rakyat sudah membaik, saatnya mulai ditetapkan penarikan pajak. Sebenarnya kehidupan yang sudah jauh lebih baik itu adalah umumnya migran Batak Toba, bukan Batak Alas. Oleh sebab itu Keujeuruen Bambel, Haji Durasa (Wan Ampuk) diperintahkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda mengutip blasteng (pajak), walaupun waktu itu dalam keadaan musim pacikelik (Ginting, 2003; Akbar, 2003; Jibun, Informan, 1998). Namun terjadi kontroversi, Raja Wan Ampuk tidak bersedia mengutipnya, malah menampar muka seorang Petugas/ pimpinan dari Pemerintah Belanda (Sebayang, 1986; Ismail Informan,2003, Rahman, Informan, 2003). Kesalahan Wan Ampuk dimata Pemerintah Kolonial Belanda adalah karena tidak mau kooperatif menarik blasteng dari Batak Toba maupun Batak Alas atas tanah hak milik adat mereka. Nanum demikian akhirnya seluruh penggarap Batak Toba dan Batak Alas harus membayar blasteng kepada Pemerintah Kolonial Belanda. Dengan ketentuan bila tidak membayar blasteng, tanah milik adat harus dipulangkan kepada Raja atau dikosongkan, tidak boleh diusahai lagi. Akibat melawan pihak Belanda dengan tuduhan ”penganiayaan” (menampar), maka Raja Wan Ampuk ditangkap dan dipenjarakan di Nagari, Kabanjahe (Ginting, 2003; Rahman, Informan, 2003). Kemudian diadili di Medan (Ismail, Informan, 2003). Keputusan hukuman dari hakim Belanda pada tahun 1936 adalah Raja Wan Ampuk dan keluarganya di berikan pilihan harus pindah ke Batavia (Jakarta) atau semenanjung Malaya (Malaysia) dan diberikan ongkos naik Haji atas biaya Pemerintah Kolonial Belanda. Raja Wan Ampuk memutuskan untuk berdomisili dan pindah ke Alor Setar, Kedah, Semenanjung Malaya (Malaysia). Dan kini sebagain besar keturunannya yang berpendidikan berdomisili di Kota Kedah dan Petaling Jaya Kuala Lumpur (Iwabuchi, 1994; Annonimus, 1968; Sebayang, 1986, Latief, 1995, Akbar, 2006; Gayo, 1982; Ya’cob Pagan, Informan,2003).

MENGAPA BATAK ALAS DAN BATAK TOBA BISA HIDUP BERDAMPINGAN

Sebelum kemerdekaan RI, secara umum suku Batak Alas tidak menuliskan marganya pada akhir namanya, hal ini diduga disebabkan salah satu oleh adanya politik Pemerintah Belanda yang memecah belah rakyat di Aceh memalui propaganda Agama dan pengucilan etnis/marga tertentu (Gayo, 1983; Annonimous, 2003-3).

Adanya tali persaudaraan dari keturunan Guru Tatea Bulan, Raja Sumba dan Raja Lontung seperti yang telah diutarakan sebelumnya, Batak Alas yang bermagra Selian adalah keturunan Marga Pandiangan, anak ketiga dari Raja Lontung, dimana juga mayoritas Batak Alas di Aceh Tenggara adalah Marga Selian. Sedangkan untuk Anak Raja Lontung tertua adalah Sinaga, mereka secara adat cukup dekat dengan Selian hingga kini. Bila tidak atas dasar satu tarombo, Batak Alas sudah banyak sekali berkerabat dengan Batak Toba melalui tali perkawinan. Salah satu contoh kekerabatan karena pertalian perkawinan antara Batak Alas dengan Batak Toba (keturunan Raja Lontung/Raja Wan Ampuk Selian Pandiangan, Desa Batumbulan, Kecamatan Babussalam, Kabupaten Aceh Tenggara)

Kesenian Alas

Alas sebagai sebuah wilayah yang menghampar di Aceh bagian tengah memiliki ragam kesenian tradisi. Se­jumlah kesenian yang sangat kental dan dikenal di Alas antara lain pele­bat, mesekat, landok alun, dan vokal suku Alas.

a. Pelebat

Kata “pelebat” berasal dari kata “rubat” yakni suatu perkelahian yang menunjukkan keperkasaan dan kelihaian seseorang menggunakan senjata berupa benda tajam seperti pisau mekhemu atau pedang. Kar­ena pedang hanya digunakan untuk melawan musuh, terutama masa peperangan, dalam kesenian pele­bat tidak dibenarkan menggunakan pedang sungguhan. Penggantinya disepakatai berupa sebilah bambu yang sudah diraut. Kesenian ini biasanya digunakan dalam acara perkawinan, yaitu saat penjemputan mempelai laki-laki dari rumah perempuan. Kegiatan ini dis­ebut dengan nipengembunan. Kedua belah pihak akan mempersiapkan pemain andalannya dalam mempera­gakan pelebat tersebut.

b. Mesekat

Kesenian ini merupakan sebuah tar­ian yang dimainkan oleh anak-anak dan orang dewas secara berkeelom­pok. Posisi pemain duduk berbaris seperti duduk tawarruk/ iftirasy (duduk membaca tahyat) dalam salat. Permainan ini menggunakan seorang imam yang disebut dengan kadhi atau syeh yang menjadi panutan da­lam setiap gerakan dan syair secara serentak dan serasi.

c. Landok Alun

Landok Alun merupakan jenis kes­enian yang dimainkan dalam posisi berdiri. “Landok” berarti menari, sedangkan Alun berarti lambat. Jadi, kesenian ini berupa kesenian tarian yang dimainkan dengan gerakan lambat. Tarian ini juga mendapat julukan tari alas yang sangat sensitif dimainkan oleh kaum muda laki-laki. Asal-mula permainan ini tatkala masyarakat mencari dan menemukan lahan pertanian/perkebunan yang lokasinya sangat luas, rata, dan mu­dah mendapatkan air, untuk diolah dalam bertani.

d. Vokal Suku Alas

Kesenian vokal suku Alas dibagi menjadi dua bagian: melagam dan tangis. Melagam dipilah lagi menjadi tiga macam. (1) Melagam Ni Lepo, yakni lagu yang disampaikan seorang pemuda yang sedang jatuh cinta atau mepakhuh dalam menyampaikan salam selamat datang. Vokal ini bi­asanya disampaikan kepada seorang gadis yang datang saat begahen pada acara pesta perkawinan dan sunat rasul. (2) Melagam Ni Pedo, yaitu kesenian yang dimainkan oleh siapa saja, tak terbatasi usia atau jabatan. Sebelum memainkan kesenian ini, terlebih dahulu diminta izin kepada hadirin andai kata ada pekhangkenen (antara menantu dan mertua). (3) Melagam Ni Jalu, yakni kesenian yang dimainkan oleh dua atau tiga orang yang sengaja diundang saat acara su­nat rasul. Biasanya, lagam ini berkisah antara muda-mudi, dari kisah peke­nalan hingga ke perkawinan.

Selanjutnya kesenian tangis. Kesenian ini dimaksudkan pada pengantin perempuan sewaktu njaga i. Ada be­berapa macam tangis, di antaranya: (1) Tangis Mangikhi, yakni tangis se­orang pengantin memanggil kerabat/ famili yang hadir untuk mempeusijuk orang yang nikah. (2) Tangis Dhilo, yakni seorang pengantin mencerita­kan perjalanan hidupnya kepada te­man atau sahabat. (3) Tangis Nekhah­ken Mas Kawin, yaitu adat istiadat kata bertutur tentang kampong kela­hiran sampai ke daerah perkawinan. (4) Tangis Nohkan Bekhas Seselup Lawe Sentabu, yaitu permohonan maaf dan minta petunjuk kepada keluarga semoga hidup di tempat yang baru. (5) Tangis Tukhunen, yaitu kisah menitipkan orangtua kepada kerabat lelaki. (6) Tangis Ngehawinken, yaitu tangis jawaban yang diminta mem­pelai perempuan berupa petunjuk, nasihat, dan pesan-kesan. (7) Tangis Ngehawinken, yaitu tangis jawaban yang diminta mempelai perem­puan berupa petunjuk, nasihat, dan pesan, serta kesan. (8) Tangis Mbabe Senubung.

Alat Tradisional

Selain jenis kesenian, suku Alas juga memiliki alat-alat kesenian tradisional lainnya, diantaranya canang situ (dari tembaga), canang buluh (dari bambu), bagsi (dari bamboo kecil), genggong (alat music tiup dari dari getaran besi yang ditempa), oloi-oloi (dari jerami padi), dan keketuk layar (dari bambu atau kayu).

Menilik keragaman kesenian tra­disi suku Alas, memperlihatkan bahwa daerah ini menjadi salah satu kebanggaan bangsa Aceh. Na­mun, anggapan ini bisa saja luntur manakala Alas menjadi ALA (Aceh Leuser Antara). Pepatah Gayo mengatakan, “Beluh sara loloten, mowen sara tamunen, bulet lagu umut, tirus lagu gelas, rempak lagu re, mususun lagu belo”.

Payung Mesikhat merupakan payung adat yang dibuat oleh suku Alas di Aceh Tenggara. Payung Mesikhat digunakan untuk upacara adat seperti perkawinan, upacara peusijuk, upacara Pesenat (sunat rasul) dan sebagainya. Payung Mesikhat dibuat dari kain hitam yang tidak tembus air. Pada kain tersebut dibuat sulaman yang mempunyai cerita dan arti tertentu. Misalnya, terdapat motif/gambar berupa gambaran masa gadis/lajang, masa meminta hukum (nikah), masa menumbuk padi untuk perkawinan, masa memberikan beras sebambu, masa antar taruk, masa ganto kuweh, antar pengantin, antar dara baro, membawa nasi, kematian dan sebagainya. Gambar tersebut akan dihiasi dengan ukiran/motif yang menarik, dibagian atas dipenuhi dengan motif, bagian tengah motif gambar bersambung, dan bagian bawah payung dibuat bermacam-macam motif yang disesuaikan dengan keinginan/permintaan dari pemesan. Payung adat dari suku Alas merupakan payung yang hingga saat ini masih diwariskan secara turun temurun.

No comments

berkomentar sesuai dengan jatidirimu

Powered by Blogger.