Suku Amungme yang terabaikan
Suku Amungme adalah salah satu suku yang tinggal di dataran tinggi Papua. Suku Amungme memiliki tradisi pertanian berpindah, dan berburu. Mereka mendiami beberapa lembah luas di kabupaten Mimika dan Kabupaten Puncak Jaya antara gunung-gunung tinggi yaitu lembah Tsinga, lembah Hoeya, dan lembah Noema serta lembah-lembah kecil seperti lembah Bella, Alama, Aroanop, dan Wa. Sebagian lagi menetap di lembah Beoga (disebut suku Damal, sesuai panggilan suku Dani) serta dataran rendah di Agimuga dan kota Timika. Amungme terdiri dari dua kata "amung" yang artinya utama dan "mee" yang artinya manusia. Menurut legenda yang, konon orang Amungme berasal dari derah Pagema (lembah baleim) Wamena. Hal ini dapat ditelusuri dari kata kurima yang artinya tempat orang berkumpul dan hitigima yang artinya tempat pertama kali para nenek moyang orang-orang Amungme mendirikan honey dari alang-alang. Orang Amungme memiliki kepercayaan bahwa mereka adalah anak pertama dari anak sulung bangsa manusia, mereka hidup disebelah utara dan selatan pegunungan tengah yang selalu diselimuti salju yang dalam bahasa Amungme disebut nemangkawi (anak panah putih).
Suku Amungme menggangap bahwa mereka adalah penakluk, pengusa serta pewaris alam amungsa dari tangan Nagawan Into (Tuhan). Suku Amungme memiliki dua bahasa, yaitu Amung-kal yang dituturkan oleh penduduk yang hidup disebelah selatan dan Damal-kal untuk suku yang menetap di utara. Suku Amungme juga memiliki bahasa simbol yakni Aro-a-kal. Bahasa ini adalah bahasa simbol yang paling sulit dimengerti dan dikomunikasikan, serta Tebo-a-kal, bahasa simbol yang hanya diucapkan saat berada di wilayah yang dianggap keramat.
Belum banyak diketahui mengenai suku ini yang hidup di kawasan pegunungan tengah Nieuw Guinea. Le Roux dalam karya termasyur yang berjudul “Penduduk Papua di Pegunungan Nieuw Guinea dan tempat tinggalnya) mempersembahkan 3 halaman kepada suku ini. Semua data yang dianggap penting pada masa itu diliputi Le Roux dalam 3 halaman tersebut. Jumlah topiknya tidak banyak. Sebagai contoh (pada halaman 665 bukunya) dia mengatakan bahwa tidak banyak diketahui mengenai tempat tinggal suku ini dan apa yang tercatat belum jelas dan nyata.
Lebih banyak mengenai
suku ini dibahas oleh J.P.K van Eeckhoud dalam bukunya yang berjudul “Woudloper
Gods” (Pejalan Kaki Tuhan dalam Hutan), yang meliputi pengalaman dan
petualangan Romo Kammerer pada perjalanannya ke kawasan Baliem.
Salah satu perjalanan Romo membawanya ke tempat tinggal suku tersebut dimana beliau membuat catatan-catatan lengkap mengenai semua kebiasaan, pesta dan cerita rakyat suku ini yang diceritakan beliau dalam buku tersebut. Sejauh pengetahuan saya hanya sebatas itulah cerita-cerita yang pernah diterbitkan mengenai suku ini.
Setelah menetap bersama suku ini selama dua tahun, saya anggap perlu saya ceritakan semua yang saya ketahui mengenai Amungme. Daripada membuat catatan mendetil mengenai berbagai aspek kebudayaan mereka, sebaiknya saya ingin mencoba memberi Anda suatu “kesan” umum mengenai suku Papua di pegunungan ini.
Nama Amungme
Dalam kedua buku tersebut di atas suku ini diberi nama “Oehoendoeni”. Tetapi dari mulut penduduk setempat nama ini tak pernah diucapkan. Setelah ditanya mengapa, mereka menjawab nama “Oehoendoeni” hanya digunakan oleh orang Moni sebagai nama panggilan bagi orang Amungme. Penduduk setempat menamakan diri “Amungme”, yang mungkin berarti “Manusia pertama”. Nama lain untuk suku ini yang sekali-sekali digunakan oleh orang termasuk orang Amungme sendiri adalah nama “Damal”. Nama ini adalah nama yang diberi orang Ndani, penduduk Baliem, kepada orang Amungme. Saya kira sebaiknya untuk selanjutnya nama Amungme yang dipakai untuk menunjukkan suku ini karena nama ini yang digunakan oleh mereka sehari-hari.
Tempat tinggal
orang Amungme
Kawasan dimana mereka bertempat tinggal terletak di sebelah utara deretan pegunungan tengah, yaitu di Ilaga, Bergo dan Doegindora. Jumlah mereka tidak saya ketahui tetapi mungkin terdapat beberapa ribuan orang. Daerah asal mereka sebetulnya berada disebelah selatan deretan pegunungan tengah Mereka hidup terpencar mengenai beberapa lembah-lembah di antara yang paling ternama adalah lembah Tsinga dan No-ema. Lembah Tsinga terletak tepat di sebelah selatan puncak-puncak pegunungan Carstenzs. Terdapat sebuah sungai yang sangat dahsyat, yaitu sungai “Tsinggogong” dengan berpuluhan anak sungai yang mengalir melintasi lembah ini.
Mendekati muara di pantai selatan sungai Tsinggogong berubah namanya menjadi Otakwa. Jumlah penduduk Amungme yang bertempat tinggal di lembah Tsingga kurang lebih 1.500 jiwa yang hidup terpencar-pencar di 7 desa. Lembah ini “tertutup” karena dari segala penjuru dan sisi dikelilingi daerah pegunungan berlereng terjal. Satu-satunya keunggulan lembah ini adalah pemandangan alam dengan puncak-puncak salju pegunungan Carstensz, sungguh-sungguh suatu pemandangan yang sangat mengesankan, khusus pada saat fajar menyingsing. Lembah No-ema berada di arah sebelah timur; untuk mencapai daerah ini orang perlu berjalan kaki selama 7 hari melalui kawasan pegunungan yang naik turun.
Melalui lembah No-ema mengalir sungai “No-emogong” yang semakin mendekat ke muaranya berubah nama menjadi Tjemara. Jumlah penduduk Amungme di kawasan ini kurang lebih 2.300 jiwa terpencar mengenai 5 desa. Lembah ini adalah “terbuka” dengan pemandangan luas ke seluruh lembah. Masih terdapat kelompok-kelompok kecil orang Amungme di lembah Wea (200 jiwa) yang terletak di antara lembah Tsingga dan lembah No-ema. Begitu pula di lembah-lembah Wa dan Arawa, sebelah barat lembah Tsingga, dan di lembah Bela, sebelah timur No-ema. Segala sesuatu yang tercantum berikut ini berkaitan dengan 4.000 orang Amungme yang hidup di Tsingga, Wea dan Noema, daerah-daerah yang saya kenal berdasarkan pengalaman pribadi.
Bila orang ingin lebih mengetahui mengenai masa kini, maka yang harus dipelajari dulu adalah masa lalu. Demikian pula halnya mengenai Amungme. Pada jaman dahulu, yaitu sebelum tahun 1954, suku Amungme hidup terpencar-pencar dalam kelompok-kelompok kecil di daerah pegunungan. Pada suatu petak lahan kecil di kawasan hutan mereka menebang sejumlah pohon kemudian membangun rumah dengan kebun kecil disampingnya. Semua kebutuhan utama mereka terdapat di sekitar lingkungan rumahnya, seperti kayu untuk membangun rumah, kulit pohon yang digunakan sebagai bahan penutup atap rumah, kayu bakar untuk membuat api untuk menghangatkan rumah dan untuk memasak, dan lahan untuk bercocok tanam. Empat kebutuhan utama semua suku-suku di pegunungan.
Pertengkaran antara suku-suku entah disebabkan karena pencurian, emas kawin yang tak dibayar pada waktunya atau tidak dianggap layak, tak jarang terjadi dan kadang-kadang mengarah ke peperangan terbuka, bahkan memakan korban lebih dari 50 jiwa. Korban peperangan biasanya menuntut balas dendam atau bayaran tinggi yang mengarah ke peperangan lagi. Dahulukala seorang janda yang tinggal mati suaminya biasanya dipanahi sampai mati karena harus ikut mati suaminya. Hukuman perzinahan menuntut kedua belah fihak yang terkait dimatikan dengan panah bila mereka sama-sama anggota satu suku. Sekali waktu ada kejadian dimana seorang wanita disangka menjadi seorang sihir dan menerapkan guna-guna kepada orang lain sampai meninggal. Orang semacam ini juga segera disingkirkan.
Tetapi cara hidup seperti digambarkan di atas mengalami perubahan besar dengan munculnya atau kedatangan kembali seorang pemuda bernama Mozes Tenbak. Keberadaan Mozes berpengaruh besar terhadap anggota-anggota sukunya di Tsingga dan No-ema dan jalan hidupnya adalah suatu cerita tersendiri. Secara pendek Mozes dilahirkan di lembah No-ema. Pada umur 11 tahun, dia tanpa izin ayahnya ikut rombongan pedagang Amungme dalam perjalanan ke kawasan pantai Mimika. Setelah beberapa waktu berada disana Mozes ditinggalkan mereka di Mimika dalam asuhan seorang guru asal kepuauan Kei yang mengangkat Mozes sebagai anaknya sendiri dan menyekolahkannya pertama-tama ke sekolah rakyat kemudian ke sekolah lanjutan. Mozes kemudian ikut ayah angkatnya ke Kei untuk berlibur disana. Mozes kemudian melanjutkan studinya di sekolah kejuruan di Fak-Fak dimana setelah lulus dia menjadi seorang guru.
Pada tahun 1954 Moses pulang kampung di pegunungan dengan satu komitmen yaitu mengangkat rakyatnya dari tingkat kehidupan yang rendah.. Dia membuat perjalanan ke Tsingga, Wea dan No-ema untuk mensosialisasikan rencana dan tujuannya, yaitu menyebar firman Tuhan melalui agama Katolik dan mendatangkan pendidikan bagi semua anak-anak.
Mozes yang wataknya penuh kharisma pintar berbicara dan perpidato. Tak sulit buatnya untuk meyakinkan orang lain dan kadang-kadang dengan hanya satu larangan dia sanggup menciptakan kedamaian. Memanai sampai mati janda dilarang olehnya, demikian pula pembunuhan terhadap wanita yang disangka memiliki pengaruh buruk. Hukuman mati bagi pezinah diupayakan agar diganti dengan suatu hukuman berat lain. Dia berhasil membujuk penduduk di Tsingga dan No-ema untuk bergabung dan tinggal di dalam perkampongan yang luas. Dia mendirikan gereja di perkampungan tersebut dimana juga didirikan sekolah untuk anak-anak dan menyediakan pelajaran agama bagi anak-anak maupun orang dewasa. Dengan bantuan Romo Coenen, pastor di Mimika Timur, tidak lama kemudian berpuluhan pemuda-pemuda berdatangan dari Mimika untuk mengulurkan tangan membantu Mozes. Sementara itu Mozes dengan teratur mengunjungi kampong-kampong kalau bukan untuk menyelesaikan masalah-masalah setempat, mengunjungi orang sakit. Dia juga menjamin bahwa semua orang yang meninggal diberi tempat istirahat terakhir yang layak.
Harus diakui bahwa kegiatan Mozes sangat berpengaruh terhadap kehidupan seluruh bangsa Amungme dan apa yang telah dilakukan olehnya patut dihormati dan dipuji. Segala kesalahan yang pernah dilakukannya dalam proses tersebut dengan rela dimaafkan. Dalam pekerjaannya Mozes selalu dibantu misi Katolik, tetapi pada akhirnya dialah yang melakukan segala-galanya. Ibarat suatu pesta bagi Mozes dan seluruh bangsa Amungme waktu pada tahun 1957 dua misionaris berdatangan untuk menetapkan diri di daerah Amungme, masing-masing satu di Tsangga dan satu di No-ema.
Harapan terpenuhi?
Sambutan yang diberikan penduduk kepada Mozes waktu dia pulang kampong dan kepada kedua misionaris sangat meriah dan membuat kami bertanya: apa sebenarnya mereka memikir mengenai diri kami? Apa yang mereka harapkan dari kami? Kedua misionaris diminta duduk dalam dua kursi yang dibuat dari papan dan rotan yang diangkat oleh dua laki-laki yang kuat tegap ke atas bahu mereka dan diarak-arak memasuki kampong. Dari pembicaraan dengan berbagai orang yang telah berusia lanjut dari beragam keahlian dan pengalaman dan dari cerita-cerita mengenai Amungme, menjadi jelas bagi saya bahwa disini terdapat suatu harapan tinggi yang minta dikabulkan. Harapan bahwa pada suatu hari akan tiba suatu masa atau waktu, atau tercipta suatu tempat dimana tidak ada penyakit, tidak ada kematian dan hanya terdapat benda-benda yang cantik, seperti kapak, parang, pakaian, manik-manik dll. tanpa perlu melakukan upaya mendapatkannya. Dan bahwa masa atau tempat ini dapat dimasuki orang secara hidup-hidup tanpa perlu mati terdahulu. Mozes dianggap telah pulang dari tempat itu, demikian juga kami, (para Romo) dianggap seolah-olah kembali dari masa dan tempat yang penuh kesenangan, suka cita dan kenyamanan.
Tetapi sayang sekali harapan tersebut disusul
kekecewaan dan tak terkabul. Karena si orang kulit putih (si romo) mengajar
bahwa semua orang harus mati, termasuk dia sendiri dan begitupun semua orang
Amungme. Untuk memperoleh kapak atau benda-benda cantik orang harus bekerja keras
dan berusaha; orang-orang tetap jatuh sakit dan meninggal, seperti dahulu, ya,
mungkin malah kini lebih sering dari dulu.
Harapan memang tidak terkabul. Orang menjadi sedikit kecewa. Kekecewaan mereka terasa pada semua bidang. Orang berangkat lagi dari kampong-kampong besar, kembali ke kampong-kampong yang terpencar yang dikelilingi kebun, kesediaan orang membantu orang lain tak lagi seihlas seperti dulu, orang menghadapi kesulitan untuk memperolah pemikul barang; gereja-gereja tidak sepenuh seperti dulu dll. Ada juga yang mengambil arah lain: mereka berpendapat bahwa si Romo itu yang membawa masuk penyakit. Mereka ingin mengusirnya dan bahkan terdapat isju bahwa ada tiga orang yang mau membunuhnya. Ada juga yang berpindah ke lembah lain mencari tempat dimana tidak dikenal penyakit dan kematian.
Begitulah keadaan disini, di No-ema, dimana saya tinggal tidak lama berselang. Tidak semua orang disini berparas muka kecewa. Orang Amungme tidak mau terlalu banyak memikir, mereka suka humor dan senang ketawa. Dan kini lagu-lagu cinta yang menggerakan semangat tetap terdengar mengiringi permainan cinta di dalam rumah-rumah pada malam hari, dan kini juga tetap terdengar bunyi tumbukan kaki penari Amungme di atas tanah semalam suntuk hingga fajar menyingsing.
Spiritualisme
Konsep mengenai tanah, manusia dan lingkungan alam mempunyai arti yang integral dalam kehidupan sehari-hari. Tanah digambarkan sebagai figure seorang ibu yang memberi makan, memelihara, mendidik dan membesarkan dari bayi hingga lanjut usia dan akhirnya mati. Tanah dengan lingkungan hidup habitatnya dipandang sebagai tempat tinggal, berkebun, berburu dan pemakaman juga tempat kediaman roh halus dan arwah para leluhur sehingga ada beberapa lokasi tanah seperti gua, gunung, air terjun dan kuburan dianggap sebagai tempat keramat. Magaboarat Negel Jombei-Peibei (tanah leluhur yang sangat mereka hormati, sumber penghidupan mereka), demikian suku Amungme menyebut tanah leluhur tempat tinggal mereka. Beberapa model kepemimpinan suku Amungme yaitu menagawan, kalwang, dewan adat, wem-wang, dan wem-mum, untuk menjadi pemimpin tidak ditentukan oleh garis keturunan, seorang pemimpin dapat muncul secara alamiah oleh proses waktu dan situasi sosial serta lingkungan ekologis yang mempengaruhi perilaku kepemimpinan tradisonal pada tingkat budaya mereka sendiri.
Kontak pertama
dengan dunia luar
Kontak pertama dengan dunia luar terjadi pada tahun 1936 ketika ekpedisi Carstensz yang pimpinan Dr.Colijn cs, melalui misi katolik pada 1954 yang dipimpin oleh Pastor Michael Cammerer dibantu penduduk lokal bernama Moses Kilangin dan pemerintah Belanda. Sebagian besar masyarakat Amungme dipindahkan ke daerah pesisir, di Akimuga sampai saat ini, alasan pemindahan disebabkan proses penyebaran agama dan pelayanan terhadap masyarakat Amungme tidak mungkin dilakukan di daerah pegunungan.
Konflik
perlawanan Suku Amungme
Suku Amungme sangat terikat kepada tanah leluhur mereka dan menganggap gunung sebagai sesuatu yang sakral. Gunung yang dijadikan pusat penambangan emas dan tembaga oleh PT. Freeport Indonesia merupakan gunung suci yang di agung-agungkan oleh masyarakat Amungme, dengan nama Nemang Kawi. Nemang artinya panah dan kawi artinya suci. Nemang Kawi artinya panah yang suci (bebas perang/ perdamaian). Suku Amungme memiliki sebuah lembaga adat bernama Lemasa (Lembaga Adat Suku Amungme) yang memperjuangkan hak-hak dasar masyarakat Amungme.
Oleh: Drs. H.L. Peters O.F.M
No comments
berkomentar sesuai dengan jatidirimu