Header Ads

Gayo dan Asal-Usulnya

Tanah Gayo ini berada di tengah-tengah pulau Sumatera dan tidak berada di pesisir. Letaknya di tengah-tengah pegunungan daerah Aceh dari utara ke bagian tenggara sepanjang Bukit Barisan. Suku bangsa Gayo mendiami kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah dan Tekengon merupakan ibukota Kabupaten Aceh Tengah. Pada masa lampau penduduk Gayo terbagi dua, yaitu penduduk daerah Kebayakan dan Bebesan. Daerah Kebayakan berada di sebelah barat laut danau Laut Tawar, sedangkan daerah Bebesan berada di sebelah barat Kebayakan dan kedua daerah ini hanya berjarak sekitar 1 km.

Foto Mongabay

Penduduk yang mendiami daerah Kebayakan dan Bebesan merupakan kampung “inti” di Gayo Laut, tapi mereka beranggapan bahwa asal-usul mereka berbeda. Penduduk daerah Kebayakan mengatakan bahwa mereka adalah penduduk asli di Gayo, sedangkan penduduk daerah Bebesan menyadari bahwa mereka itu Batak, yang lebih dikenal dengan Batak 27.

1. Munculnya Batak 27

Pada masa pemerintahan Raja Sengeda, Gayo sudah berhubungan dengan pihak luar ditandai dengan datangnya orang-orang Batak. Kedatangannya biasanya sebagai pengembara dan bertamasya. Diceritakan bahwa di masa pemerintahan Sultan Alauddin Riayat Syah Al Kahar pada abad ke-16 M pernah 7 orang pemuda Batak melewati tanah Gayo menuju Aceh (H. AR. Latief, 1995: 81). Sementara menurut Dr. C. Snouck Hougronje, kedatangan Batak 27 adalah pada masa kejuruan (raja) Bukit telah memeluk Islam. Kejuruan Bukit adalah bagian dari raja-raja yang terdapat di tanah Gayo yang memiliki hubungan baik dengan kerajaan-kerajaan (kejuruan) lain.

Kemudian setelah pemuda Batak yang 7 orang itu sampai di Aceh, maka menyusul sebanyak 20 orang Batak, yang salah satunya bernama Lebe Kader, melewati Alas dan Tanah Gayo, dalam perjalanan menuju Aceh dengan tujuan untuk masuk Islam dan belajar mengaji. Selain untuk ongkos dan belanja sendiri, mereka juga membawa titipan ongkos untuk pulang bagi 7 orang teman mereka yang sudah berangkat lebih dulu. Melihat pundi-pundi mereka penuh dengan uang, timbul niat untuk memilikinya dalam hati salah seorang raja Gayo, yaitu Reje Bukit, yang memerintah di bagian barat Danau Laut Tawar, sehingga mengajaknya bermain judi.

Dalam permainan judi itu ternyata Reje Bukit kalah, sehingga sebagian kekayaannya berpindah ke dalam pundi-pundi orang Batak tadi. Reje Bukit marah besar dan nekad memancung salah seorang diantara mereka dan kemudian menggantungkan kepalanya di atas sebatang pohon bambu di dekat Bebesan. Peristiwa itu menjadikan nama tempat itu disebut Pegantungan hingga sekarang. Kesembilan belas orang Batak lainnya pun melarikan diri menuju Aceh untuk menemui kawan-kawannya sekaligus mengadukan kezaliman reje Gayo tersebut kepada Sultan Aceh. Mendengar itu Sultan pun merestui mereka untuk memerangi reje Gayo, tetapi mereka tidak diperbolehkan membunuh Reje Bukit.

Dalam usaha menuntut balas atas kematian temannya disertai hartanya yang dirampas, maka ke-26 orang Batak di bawah pimpinan Lebe Kader ini memerangi dan berhasil mengalahkan pasukan Reje Bukit. Reje Bukit sendiri melarikan diri dan tersesat di dalam rawa-paya dekat daerah Kebayakan, sehingga tempat itu disebut Paya Reje sampai sekarang. Setelah itu diadakanlah perdamaian dan dibuatlah perjanjian berisi tuntutan untuk perdamaian.

Pihak Batak 27 mendapat sebagian wilayah kekuasaan Reje Bukit sebagai diyat untuk mengganti kerugian akibat matinya orang Batak yang terbunuh dalam peperangan. Ganti rugi tersebut dilakukan dengan membelah danau Laut Tawar menjadi dua bagian sampai Kala Bintang di sebelah utara termasuk daratan, mulai dari kampung Kebayakan, Rebe Gedung, Simpang Tiga, Delung Tue win Ilang hingga Ramung Kengkang perbatasan Aceh Timur yang sekarang menjadi Kabupaten Bener Meriah dan ke arah selatan sampai perbatasan Lingga.

Setelah batas wilayah ditentukan oleh kedua belah pihak yang berdamai, Reje Bukit Panglima Perang Dagang mengajukan sebuah tuntutan daerah bukit berikut bangunannya yang telah diduduki oleh pihak Batak 27. Lebe Kader berkata dengan tegas: “Bebaskan!”, dalam bahasa Karo artinya dibebaskan dari tuntutan, lambat laun kata bebaskan ini berubah menjadi kata Bebesan sampai sekarang (AR. Latief, 1995). Kemudian Reje Bukit Panglima Perang Dagang bersumpah tidak berkeberatan daerah bukit, yang belakangan disebut daerah Bebesan, berikut bangunannya dijadikan hak milik pihak Batak 27.

Kemudian penduduk daerah bukit itu sendiri membangun pemukiman baru yang terletak di pinggir Danau Laut Tawar yang sekarang disebut dengan daerah Kebayakan. Pada awalnya kampung itu disebut Kebanyakan karena penduduknya yang terbanyak, tapi setelah penjajah Belanda datang dan tidak dapat menyebutkan nama kampung tersebut dengan tepat, maka berubahlah namanya menjadi Kebayakan.

2. Setelah Perjanjian Perdamaian

Di kampung Bebesan itulah orang Batak tadi berkembang dan keturunannya disebut sebagai Batak Bebesen atau Batak 27 dan sejak awal mereka semua masuk Islam. Lebe Kader, yang kemudian menjadi raja di sana merupakan pemimpin mereka, adalah seorang yang taat dalam mengajarkan agama Islam yang terbukti dari gelar Lebe yang diberikan kepadanya (M.J. Melala Toa, 1981:38). Lebe Kader sendiri menikahi seorang putri reje Bukit yang bernama Sri Bulan Si Merah Mata. Lebe Keder merupakan cucu dari Adi Genali, anak dari Johansyah atau Sibayak Lingga (AR. Latief 1995: 68). Kedatangan Batak 27 pimpinan Lebe Kader ini diperkirakan sekitar abad ke-16 atau 600 tahun setelah Kerajaan Linge berdiri pada abad ke-10 (dari berbagai sumber).

Di kalangan Batak 27 ini tetap dipertahankan tradisi marga-marga hingga saat ini. Marga-marga tersebut adalah Munte, Cebero, Melala, Linge, Tebe, dll., yang di kalangan Batak, yaitu: Munte, Cibro, Meliala, Lingga, dan Toba. Kata “marga” dalam bahasa Batak disebut “belah” dalam bahasa Gayo.

Batak 27 ini terdiri dari orang Karo, Pakpak, dan Toba dengan jumlahnya lebih banyak dari Karo, tetapi ketiganya sekaligus disebut Batak. Selain itu sebutan Batak ada dua kali disebut dalam “Hikajat Atjeh” sebagaimana dikemukakan Denys Lombard dalam bukunya “Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda” (Lombard, 2008:97-98). Sebutan Batak di sini jelas menunjukkan bukan berasal dari misionaris Jerman dan Belanda. 

***

MASYARAKAT Batak selama ini berkeyakinan, bahwa orang Gayo itu berasal dari Batak. Demikian pula sebagian masyarakat Gayo, memiliki keyakinan yang sama. Di Gayo ada dua klien (belah). Belah Uken dan Toa. Klien Toa, pada abad ke 16 M, didatangi oleh suku Batak- Karo, yang dikenal dengan sebutan Batak 27. Pada saat Batak 27 datang ke Bebesen, di Gayo sudah lama berdiri kerajaan Linge, Kerajaan Bukit dan Syiah Utama, serta kerajaan kecil lainnya yang merupakan klien (belah) Uken. Datangnya Batak 27 ke wilayah Bebesen, melahirkan sebuah kerajaan baru (kerajaan Cik). Talpan (dari pak-pak Dairi), pimpinan Batak 27 ini kemudian masuk islam dan diberi nama Leube Kader. Talpan diangkat menjadi raja pertama Cik Bebesen (1607-1636M). Hingga kini di bekas wilayah kerajaan Cik itu masih terdapat marga seperti Munthe, Melala, Cibro, Tebe dan lainnya. Benarkah Orang Gayo berasal dari Batak, atau justru orang Batak berasal dari Gayo. Bukti sejarah yang berhasil dihimpun oleh tim peneliti arkelogi dari Balar Medan, justru membalikan keyakinan orang Batak. Balai Arkeologi (Balar) Medan sudah melakukan kajian arkelogis, antropologis, maupun etnoarkeologis di dua daerah ini (Batak dan Gayo). Atas kajian berbagai aspek budaya yang ditemukan dalam penelitian, menunjukkan adanya indikasi yang kuat bahwa aktifitas budaya pra sejarah di Tanoh Gayo, khususnya babakan neolitik (megalitik), lebih tua dibandingkan dengan aktifitas di Tanah Batak.

Tim arkeolog Balai Arkeologi (Balar) Medan yang dipimpin Ketut Wiradyana, melakukan penelitian di Aceh Tengah pada tiga loyang (gua/ceruk); Loyang Mendale, Ujung Karang dan Puteri Pukes. Tim Balar Medan ini juga sebelumnya telah melakukan penelitian di Tanah Batak. “Sampai saat sekarang ini saya belum menemukan adanya budaya Dongson (Tanah Batak) di bumi Gayo. Kita akan melakukan kajian lebih mendalam lagi tentang ini,” sebut Ketut, menjawab Waspada, Selasa (10/1) via selular.


Menurut Ketut, yang kemudian menerbitkan buku “Merangkai Identitas Gayo”, ada beragam budaya yang dapat dibuktikan dari temuan bersejarah itu. Selain budaya Howabinh, kemudian disusul 3000 tahun sesudahnya kembali masuk budaya Austronesia- Howabin (Sumatralith). Berkemungkinan besar manusia Howabinh yang sudah beraktiftas di sekitar Danau Luttawar, berdampingan hidup dengan pendatang baru Austronesia. Apakah keturunannya ada di Gayo, itu yang perlu pembuktian lebih mendalam. Selain itu ciri ciri budaya Sahuyn-Kalanay (Filipina selatan, Indo Cina) serta bau budaya melayu (Asia Tenggara Daratan, Serawak, Kalimantan) dan budaya Lapita (Indonesia Timur dan Pasifik Barat), juga ada di Gayo.

Hasil penelitian radiokarbon, menunjukkan bahwa migrasi beragam budaya ke dataran Tinggi Gayo berlangsung pada awal-awal penutur Astronesia menuju Barat Sumatra. Pada jaman mesolitik itu (7000-5000 tahun yang lalu), budaya Howabinh di Gayo sudah berkembang. Disusul jaman neolitik (3500-3000 tahun lalu) dengan adanya temuan berupa kapak lonjong, gerabah, anyaman dari rotan, serta cangkang hewan lunak, dari hasil penggalian di tiga loyang ini, menandakan adaya budaya berbagai fase di Gayo (Mesolotik dan neolitik). Aktifitas itu terlihat sampai sebelum masuknya Islam di Gayo. Awal-awal tahun Masehi, loyang masih menjadi daerah hunian di tepi danau. Apakah ada hubungannya manusia prasejarah di sana dengan penduduk Gayo sekarang, tes DNA nanti akan membuktikannya, dan dilanjutkan dengan penelitian lebih mendalam, sebut Ketut. Sementara di Tanah Batak didominasi oleh budaya Dongson (salah satu budaya berasal dari Vietnam Utara) yang perkembangannya sekitar 2500 tahun yang lalu. Budaya Dongson ini ditandai dengan adanya logam dan pola hias yang ditemukan di rumah Batak Toba, yang menggambarkan binatang atau manusia dengan hiasan bulu-bulu panjang. Selain itu pada masyarakat Karo dan Nias juga memiliki bentuk hiasan berupa anting-anting yang sama dengan salah satu bentuk hiasan bejana budaya Dongson, yang ditemukan dekat Phonm Penh, Kandal, Kamboja. Menurut tim Balar Medan, budaya besar lainnya yang berkembang di Nias maupun Sumatra Utara adalah budaya Megalitik. Ciri utamanya kepercayaan terhadap roh, adanya kepercayaan akan kehidupan sesudah mati.

Budaya Howabinh yang masuk ke Tanah Gayo jauh lebih tua bila dibandingkan dengan budaya Dongson yang masuk ke Tanah Batak. Budaya Howabinh berkisar 7000-5000 tahun yang lalu, sementara budaya Dongson sekitar 3000-2500 tahun yang lalu. Ketut menjelaskan, bila dihitung generasi, satu generasi itu sekitar 25 tahun. Di Gayo sudah hidup sekitar 296 atau 300 generasi, sementara di Batak berkisar antara 140 generasi. Penemuan situs di Gayo ternyata lebih tua bila dibandingkan dengan Sumatra Utara. Prof. Dr. Bungaran A. Simanjuntak menanggapinya serius. Dalam kata pengantarnya di buku Gayo Merangkai Identitas, Bungaran menyebutkan, teori selama ini telah dipercayai dan terekam di memori orang Batak, bahwa Gayo itu berasal dari Batak.


Gayo dan Alas adalah sub-sub suku bangsa Batak, sebut Bungaran. Namun dengan temuan Balar Medan, teori ini bisa jungkir balik (masih akan diteliti secara mendalam lagi). Justru suku bangsa Batak berasal dari Gayo. Atau justru bangsa Gayo bukan sub suku bangsa Batak. Bisa jadi sederajat, seayah seibu, orang Gayo yang lebih dahulu datang ke Sumatra, baru disusul suku bangsa Batak. Bungaran Simanjuntak Berharap, perlu adanya penelitian lebih mendalam agar terang benderang. Ini sangat penting untuk diungkap secepatnya. Perbedaan tahun budaya antara Gayo dan Batak terlihat jelas. Temuan arkeolog Balar Medan ini sudah menghilangkan kekeberen (cerita dari mulut ke mulut secara turun temurun) di Gayo. Dimana sebagian orang tua di Gayo dalam kekeberennya menyebutkan bahwa orang Gayo itu berasal dari Batak. Namun bukti ilmiah, setelah tim Balar Medan yang telah menggali tiga loyang di pinggiran Danau Lot Tawar, mematahkan kekeberan itu. Budaya Gayo (Howabinh) jauh lebih tua bila dibandingkan dengan budaya Dongson di Batak. 

Komunitas Gayo

Hingga saat ini penduduk Gayo ini dibagi menurut daerah kediamannya. Suku Gayo disebut sebagai orang Gayo Laut atau Gayo Lut bagi mereka dan berdiam di sekitar Gayo Lues dan orang Gayo serba jadi bagi mereka yang berdiam diri di sekitar serba jadi sembung-lukup (sekarang Kabupaten Gayo Lues-red). Selain itu masih ada orang-orang Gayo yang terdapat dalam kelompok-kelompok kecil yang terpisah-pisah yang berdiam di sekitar Aceh Timur dan sekitar perbatasan Aceh Timur-Sumatera Utara, seperti orang Gayo Kalul, orang Gayo Johar dan lain-lain. Sedangkan suku Alas berdiam di berbagai daerah tanah Alas yang berbatasan langsung dengan Gayo Lues, Asel, daerah Karo dan Sumatera Utara.

Islam Di Gayo

Memperhatikan keaneka ragaman penduduk Gayo yang tinggal di tanah Gayo, Aceh Tengah itu menunjukkan bahwa daerah gayo itu tidak menutup pintu bagi orang-orang yang hendak tinggal di sana. Kemungkinan besar bagi pendatang itu mendapat tempat yang layak dikalangan masyarakat, maka suatu dugaan keras bahwa masuknya Islam ke daerah Gayo di bawa oleh pendatang-pendatang. Baik pendatang itu sebagai pedagang maupun sebagai mubaligh. Salah satu bukti yang dapat dilihat adalah adanya sebuah kuburan Ya’kub, saudara Misan dari Al-Malik Al-Kamil yang terdapat di desa Lingga. Ya’kub meninggal pada hari Jum’at, 15 Muharram 630 H (1232 M). Namun, untuk hal ini diperlukan lagi penelitian yang lebih mendalam.

Menurut Belanda, daerah Gayo adalah suatu daerah yang menentukan hidup matinya kekuasaan Belanda di Aceh. Sebab ketika Batee Iliek jatuh ke tangan Belanda, Sultan mundur ke Tanah Gayo yang bertepatan dengan disusunnya gerakan mempertahankan kemerdekaan yang dipimpin oleh Teungku Tapa sejak tahun 1898. Rakyat Gayo yang menyadari Agresi Belanda sangat berbahaya, maka dengan serempak rakyat Gayo menaikkan bendera putih yang disebut “Pepanyi ni Umah”, panji tersebut dilukis dengan kalimah Allah, Rasul dan keempat sahabat. Panji-panji tersebut dinaikkan oleh rakyat di tiap-tiap rumahnya sebagai pertanda datangnya syaitan yang bermaksud menjahanamkan ummat Islam (Mohd. Said 1981: 632) sehingga rakyat Gayo dengan serta merta mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Tanah Gayo meliputi pusat pegunungan Bukit Barisan bagian Utara yang merupakan dataran tinggi dengan ketinggian diatas meter diatas permukaan laut. Wilayahnya terpotong-potong oleh punggung-punggung bukit. Punggung-punggung bukit dimaksud merupakan hulu-hulu sungai besar dan penting, seperti Sungai Peusangan, Meulaboh, Jambu Aye/Jemer, Tripa, Temiang, dan Sungai Perlak dengan beberapa anak sungainya. Jajaran bukit barisan yang membentang disebelah Utara merupakan batas alam yang memisahkan Tanah Gayo dengan pesisir Aceh bagian Utara. Kemudian dibagian Barat melengkung dibagian hulu Sungai Senangan, arah ke Timur Bur Ni Alas, dan Bur Ni Serbe Langit yang langsung berbatasan dengan Tanah Alas dan Tanah Batak. Secara tradisional, wilayah Tanah Gayo terbagi atas empat bagian yaitu Wilayah Lut Tawar, Wilayah Deret, (daerah jambu aye), Wilayah Gayo Lues dan Gayo Tanyo serta Wilayah Serbe Jadi (Hurgroje, 1996 : 2-7). 

Dalam sejarah, penduduk yang mendiami kampung Kebayakan dan Bebesen merupakan kampung inti di Gayo Laut, mempunyai satu anggapan bahwa asal usul mereka berbeda. Penduduk kampung Kebayakan mengatakan mereka adalah penduduk asli di daerah Gayo, sedangkan yang satu pihak lagi, yakni penduduk kampung Bebesen, memang menyadari bahwa mereka berasal dari daerah Batak dengan sebutan Batak 27. Batak 27 merupakan cerita rakyat yang dikenal cukup luas di Tanah Gayo, cerita tentang Batak 27 juga di tulis oleh C. Snouck Hurgronje (1996: 53-54), H. AR. Latief (1995: 81) dan di tulis juga oleh H. Mahmud Ibrahim (2007: 65-69). Karena cerita ini berkaitan dengan kedatangan suku Batak ke Tanah Gayo maka saya tertarik untuk melakukan penelitian mengenai Cerita Rakyat Batak 27 Tentang Migrasi Orang Batak Ke Tanah Gayo Di Kecamatan Bebesen Kabupaten Aceh Tengah. 

A. Migrasi Orang Batak Ke Tanah Gayo

Berdasarkan Literatur Menurut Latief dalam Pelangi Kehidupan Gayo dan Alas (1996: 81-90), dapat disimpulkan bahwa migrasi orang Batak ke tanah Gayo terjadi pada masa Sultan Alaudin Riyatsyah Al Kahar memerintah pada abad ke XVI Masehi dari hasil kemenangan Batak Karo (Batak 27) dalam peperangan melawan Kerajaan Bukit, yang berakhir atas dengan kesepakaan membayar diyat atas tewasnya enam orang Batak Karo yang di bunuh dan digantung oleh penduduk Bukit. Dalam kesepakatan pembayaran diyat tersebut Kerajaan Bukit memberikan sebahagian wilayah Bukit Kepada Batak 27, sehingga Batak 27 membentuk suatu kerajaan yang disebut dengan kerajaan Cik Bebesen yang Rajanya yang pertama adalah Lebe Kader. Di sisi lain, mendengar Batak 27 memenangkan peperangan dengan Raja Bukit, sebagian penduduk Batak Karo berduyun-duyun datang ke tanah Gayo yaitu ke daerah Bebesen. Rombongan yang pertama datang dengan jumlah yang sangat besar yang berasal dari marga Tebe Balohan yang dipimpin oleh seorang penghulu Balohan, sedangkan rombongan berikutnya dimasukan kedalam belah-belah sesuai dengan asal belahnya di tanah Karo seperti belah Munte, Melala dan Cibro (Latief, 1996). Menurut Ibrahim dalam Mujahid Dataran Tinggi Gayo (2007: 65), Kerajaan Cik Bebesen berdiri sekitar tahun 1607 M. Yang berawal dari kedatangan lima orang remaja Batak Karo ke tanah Gayo, sesampainya di tanah Gayo kelima orang remaja Batak Karo bermain judi dengan remaja Bebesen, karena remaja Bebesen selalu kalah maka remaja Bebesen sangat marah sehingga terjadi perkelahian antara remaja Karo dengan remaja Bebesen sehingga pada akhirnya ketiga remaja orang Karo terbunuh dan dua orang remaja Karo bisa melarikan diri dan pulang ke tanah Karo melaporkan kajadian tersebut, sehingga orang Batak Karo datang ke tanah Gayo untuk menuntut balas atas perbuatan remaja Bebesen yang membunuh anggota keluarga Batak Karo yang membawa sebanyak dua puluh enam orang Batak Karo ke Tanah Gayo untuk memerangi orang Gayo yang dipimpin oleh Lebe Kader. Menurut Hurgronje Terjemahan Budiman, Tanah Gayo dan Penduduknya (Het Gayo Land en Zijne Bewoners, 1996: 51-56), mengatakan bahwa: satu unsur lain yang penting bagi penambahan penduduk Gayo diwujudkan oleh orang Batak. Sebagaimana mereka datang ke Aceh, orang Batak juga datang ke tanah Gayo sebagai Budak belian (temulok). Tetapi sementara di Aceh sejak zaman dulu, orang Nias menjadi kelompok terbesar dengan golongan abdi dan sementara orang Batak disitu sama juga dengan budak Negro merupakan kekecualian, maka diantara orang Gayo sejak zaman dulu kebanyakan budak adalah orang Batak. Ini meskipun beberapa diantara para pemilik suku Aceh ada yang mengambil alih budak belian dari Nias. Untuk sebagian orang Batak tersebut dirampok, untuk sebagian yang lebih besar mereka adalah budak atau orang gadaian yang oleh orang Gayo Alas dan melayu dibeli dari para majikannya orang Batak, akhirnya mereka tiba ditanah Gayo. Semuanya diharuskan masuk agama Islam. 

B. Folklor Batak 27 Tentang Migrasi Orang Batak ke Tanah Gayo 

1. Folklor Batak 27 Berdasarkan Literatur Dalam buku Gayo, Masyarakat Dan Kebudayaannya (1996: 35-37) yang tulis oleh C. Snock Hurgronje terjemahan dari Hatta Hasan Aman Asnah, menuliskan tentang folklor Batak 27 yaitu sebagai berikut : Orang Gayo seluruhnya memeluk agama Islam dan merupakan pengikut yang setia dari Raja Aceh, ketika tujuh orang Batak yang salah satunya bernama Lebe Kader lewat Alas dan Tanah Gayo berangkat menuju Aceh dengan tujuan masuk Islam dan belajar mengaji. Belakangan menyusul 20 orang Batak lainnya dengan tujuan yang sama. Selain untuk ongkos dan belanja sendiri, mereka juga membawa titipan ongkos untuk pulang bagi ketujuh temannya tadi. Melihat pundi-pundi yang berisi penuh ini, timbul niat jahat dalam hati salah seorang Reje Gayo, yaitu Reje Bukit, yang memerintah dibagian barat Danau Laut Tawar dan mengajaknya bermain judi. Ternyata Reje Bukit waktu itu bernasib sial. Dia kalah dan mau tidak mau harus merelakan sebagian kekayaannya berpindah ke dalam pundi-pundi orang Batak tadi. 

Dihantui oleh perasaan marah, kesal, malu, dan iri, reje bukit nekat memancung salah seorang diantara mereka lalu menggantungkan kepalanya diatas sebatang pohon bambu tidak jauh dari Bebesen. Karena itulah tempat ini disebut pegantungen hingga saat ini. Kesembilan belas orang Batak yang lain sangat ketakutan dan langsung melarikan diri menuju Aceh untuk menemui kawan-kawannya, sekaligus bermaksud untuk mengadukan kezaliman Reje Gayo tersebut kepada Raja Aceh. Sultan memberi mereka restu untuk memerangi Reje Gayo dan yakin bahwa mereka akan dapat mengalahkannya, tetapi Reje Bukit sendiri tidak Boleh di bunuh.

Dalam perjalanan pulang ke Tanah Gayo, musuh pertama yang mereka jumpai berada di Beruksah, namun dapat mereka usir dan mendesaknya sampai ke kampung Ketol. Disini orang Gayo kembali membuat pertahanan disuatu tempat yang sampai saat ini bernama Kute Gelime yang pada akhirnya terpaksa mereka tinggalkan juga karena terdesak dan mundur terus ke satu tempat yang bernama Bebesen, tempat kedudukan Reje Bukit. Disini Reje Gayo itu mengumpulkan kekuatan di Ujung Bebulon, sebuah lapangan yang sekarang hanya di gunakan untuk tempat penyembelihan kerbau pada saat-saat hari raya. Orang Batak ini terus maju dan berkesempatan untuk membuat sebuah benteng di suatu tempat yang bernama Kute Malaka. Disini dengan diam-diam mereka berhasil menjalin hubungan rahasia dengan beberapa orang Batak, budak dari Reje Bukit. Dengan kesepakatan mereka bersama, maka diaturlah siasat bagaimana cara mengalahkan Reje Bukit tanpa membunuhnya. Siasat itu ialah menaikan bendera putih (pepanyi) di puncak sebuah bukit di antara pertahanan mereka dan danau, yang apabila terlihat bendera berkibar nanti, budak-budak tersebut harus berpura-pura panik dan berlari ke sana-kemari seolah-olah mengetahui bahwa pasukan musuh amatlah besarnya. Kalau ini tidak berhasil, budakbudak tadi secara diam-diam harus membukakan pintu kute (pintu gerbang) Reje Bukit dan berusaha untuk mengatakan kepada mereka bahwa terbukannya pintu gerbang ini adalah karena kesaktian ilmu dari musuh. Di bukit tempat orang Batak menaikan pepanyi ini sampai sekarang bernama Bur ni Pepanyi (bukit bendera). Lalu semua siasat secara secara seksama dijalankan, namun Reje Bukit tidak tergeming sedikitpun. Akhirnya, tidak ada jalan lain pertempuran tidak terelakkan lagi, sebagaimana menurut adat yang berlaku di Tanah Gayo dan Tanah Batak, perang harus dilakukan dilapangan terbuka. Di Paya Tumpi kedua pasukan ini bertemu. 

Agar tidak melanggar pesan Raja Aceh, orang-orang Batak tadi tidak mengisi senjatanya dengan peluru sungguhan, tetapi mengisinya dengan terong peret (sejenis tomat kecil, kalau sudah matang warnanya merah) yang kalau kena badan gatalnya bukan kepalang. Doa restu raja terkabul, tidak seorang pun orang Batak terkena peluru orang Gayo. Sebaliknya, peluru terong peret dari pasukan Batak mengenai sebagian besar orang Gayo. Disamping itu, kawanan orang Batak yang menjadi budak Reje Bukit membuat keadaan menjadi panik berlari kesana-kemari sambil membawa bendera putih (alam) mengatakan bahwa orang-orang Gayo telah kalah. Sementara itu, wanita dan anak-anak berlari menuju Aceh untuk mengadukan halnya kepada Daulat. Reje Bukit sendiri dalam keadaan panik lari dan tersesat ke dalam sebuah paya (rawa-rawa) di ekat kampung Kebayakan. Yang karenanya disebut Paya Reje sampai saat ini. Wanita dan anak-anak yang telah lari tadi dihimbau oleh orang Batak untuk pulang kembali karena antara Reje Bukit dan kedua puluh enam orang batak itu telah dibuat suatu perjanjian perdamaian. Sampai saat ini, tempat dimana wanita dan anak-anak ini berbalik disebut balik. Setelah itu maka dibuatlah perjanjian, Reje Bukit bersama anak buahnya ditunjuk untuk menempati kampung kebayakan yang sekarang, dan kedua puluh enam orang Batak tersebut (yang sisanya sudah semua masuk Islam) menempati tempat yang sekarang ini sudah menjadi kampung induk Reje Cik, yaitu kampung Bebesen. Akhirnya, orang Batak yang telah menjadi orang Gayo itu berkembang dengan aman dan sejahtera. Walaupun mereka selalu berdampingan dengan Reje Bukit, dalam hati mereka senantiasa teringat akan janji suci leluhur mereka kepada Raja Aceh tentang apa yang telah diperbuat oleh Reje Bukit. 

2. Folklor Batak 27 Berdasarkan Hasil Wawancara Dengan Tokoh-Tokoh Masyarakat Gayo Menurut versi yang disampaikan oleh Bapak Drs. H. Ibnu Hadjar Laut Tawar pada tanggal 3 Mei 2013, mengatakan bahwa: pada awalnya ada sebuah Kerajaan di tanah Gayo yaitu Kerajaan Linge, anak Raja Linge ada empat. Yang pertama bernama Johansyah yang kedua bernama Joharsyah yang ketiga bernama Alisyah dan yang ke empat bernama Merah Linge. Pada saat Joharsyah lahir ada sarungnya dan dia kebal yang tidak bisa dimakan oleh pisau sehingga pada saat beliau mau di khitan (kemaluannya) tidak mau terputus, joharsyah merasa sangat malu dan akhirnya dia pergi ke daerah Pakpak (daerah Batak) sesampainya disana dia menikah dengan orang Pakpak sampai dengan melahirkan anak cucu mereka. 

Pada suatu saat cucunya datang ke tanah Gayo untuk melihat negeri kakeknya. Setelah mereka sampai di tanah Gayo mereka bermain judi dengan orang Gayo. Sehingga pada akhirnya orang Gayo selalu kalah dalam permainan judi tersebut dan pada akhirnya orang Gayo marah kepada orang Batak Karo sehingga orang Gayo membunuh beberapa orang Batak Karo tersebut dan sebagian orang Batak Karo dapat meloloskan diri dan pulang ke daerah asalnya yaitu ke tanah Karo. Sehingga pada akhirnya orang Batak Karo yang meloloskan diri tersebut mengadukan kejadian itu kepada saudara-saudara mereka yang berada di tanah Karo, orang Batak Karo tidak terima terhadap perlakuan msyarakat Gayo, sehingga mereka mengirim beberapa orang ke tanah Gayo untuk menuntut bela atas kematian saudara-saudaranya yang di bunuh di tanah Gayo dengan membawa rombongan sebanyak 27 orang Batak Karo yang dipimpin oleh Talpan atau yang disebut dengan Lebe Kader. Sesampainya di tanah gayo terjadilah pertempuran antara orang Batak Karo dengan orang Gayo di bawah pemerintahan Kerajaan Bukit yang Rajanya bernama Sengeda. Dalam pertempuran itu dimenangkan oleh orang Batak Karo sehingga Raja Bukit melarikan diri dari daerah kekuasannya untuk bersembunyi. Sehingga atas kemenangan orang Batak karo tersebut terjadilah musyawarah antara petua-petua kerajaan Bukit dengan orang Batak Karo tersebut.

Dari hasil musyawarah antara orang Batak Karo dengan petua-petua masyarakat Gayo kerajaan Bukit tersebut sebagian wilayah kerajaan Bukit diberikan kepada orang-orang Batak karo yaitu wilayah yang diberikan adalah wilayah disekitar Bebesen. Sehingga pada saat itu wilayah Bebesen diduduki oleh orang batak Karo yang dipimpin oleh Talpan (Lebe Kader). Sehingga mereka membentuk kerajaan Cik Bebesen. Menurut versi yang disampaikan oleh Bapak Ir. M. Yusin Saleh pada tanggal 4 Mei 2013, mengatakan bahwa: Nenek Moyang orang Gayo sama dengan Nenek Moyang orang Batak yaitu datang dari Hindia Belakang (Vietnam, Laos dan Kamboja). Angkatan yang pertama datang ke tanah Gayo adalah orang Batak Karo kemudian datang lagi orang Batak Toba, kemudian datang lagi kelompok Marga Mandailing (Nasution, Lubis dan Hasibuan). 

Tempat menyebrang orang Batak ke tanah Gayo yaitu di Besitang. Sesampainya di Besitang mereka bermukim kemudian yang datang ke tanah Gayo adalah Batak Karo dan Batak Toba, yang datang melalui aliran Sungai Pesangan menuju ke Ketol, sesampai di Ketol mereka datang ke Bebesen sebanyak 27 orang. Setelah sampai di daerah Bebesen, terjadilah perkelahian antara orang Batak dengan orang Gayo Kebayakan Kerajaan Bukit. Sebenarnya yang datang pertama adalah sebanyak dua puluh enam orang Batak Karo kemudian mereka membawa pimpinan mereka yang bernama Talpan atau Lebe Kader untuk membantu mereka dalam perperangan/perkelahian antara orang Batak dengan orang Gayo Kebayakan Kerajaan Bukit. Dalam perkelahian tersebut melahirkan perdamaian antara orang Gayo Kerajaan Bukit dengan orang Batak Karo tersebut dengan memberikan sebagian wilayah kekuasaan kerajaan Bukit kepada orang Batak Karo tersebut. Pada saat itu terjadilah perebutan wilayah daerah Pantai Danau Lut Tawar. Kemudian Raja Linge memekarkan wilayah Gayo menjadi empat Kerajaan yaitu yang pertama adalah Kerajaan Linge, Kerajaan Bukit, Kerajaan Cik Bebesen dan Kerajaan Syah Utama. Dari keempat kerajaan tersebut hanya Kerajaan Cik Bebesenlah yang tidak mempunyai Bawar. 

Bawar merupakan tanda bukti dari kerajaan tradisional secara Resmi. Kemudian pembagian wilayah Kerajaan menurut cerita zaman dulu berdasarkan kesepakatan bersama dengan cara melepaskan kuda, sampai mana kuda tersebut berlari maka sampai disitulah wilayah kerajaan tersebut. Makanya wilayah ke empat kerajaan tersebut berliku-liku. Setelah batak 27 tersebut menempati daerah Bebesen kemudian datang lagi saudara-saudara mereka dari tanah Karo ke tanah Gayo. 

C. Fakta-Fakta

Yang Terdapat Pada Folklor Batak 27 Tentang Migrasi Orang Batak Ke Tanah Gayo Di tanah Gayo, terutama di daerah Bebesen adanya nama lima buah klen utama (belah) yaitu belah Linge, Munthe, Cebero, Tebe, dan Melala, tetapi pada saat sekarang ini belah (marga) ini sudah jarang dipakai di dalam nama belakang penduduk Bebesen tetapi nama-nama dari belah (marga) ini hanya di ingat berdasarkan keturunan mereka sendiri yang diwariskan atau disebarluaskan berdasarkan dari mulut ke mulut dari keturunan mereka sendiri. 


Berdasarkan hasil wawancara peneliti bersama Kepala Kampung Desa Bebesen bapak Riduansyah dan masyarakat sekitarnya pada tanggal 30 April 2013, mengatakan bahwa: memang ada belah (Marga) di dalam masyarakat Bebesen yaitu belah Melala Toa, Belah Melala Uken, Belah Melala Sagi dan ada juga belah (Marga) yang lainnya seperti Munthe, dan Cibro. Bapak Ridwansyah juga menegaskan bahwa beliau juga merupakan bagian dari belah Melala. Di daerah Bebesen, sebagian warga tidak mau mengatakan bahwa mereka berasal dari Batak 27 karena sebagian penduduk Bebesen menganggap bahwa kesan dari Batak 27 merupakan suatu hal yang tidak mengenakan (aib) bagi mereka.

Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan bapak Ir. M. Yusin Saleh dan bapak Drs. H. Ibnu Hajar Laut Tawar pada tanggal 3 dan 4 Mei 2013, mengatakan bahwa: dari dulu hingga saat sekarang ini orang Bebesen tidak mau di bilang berasal dari keturunan Batak 27 meskipun nama belah mereka sama seperti marga yang ada di dalam Batak Karo, dan sering terjadi pertentangan dan bahkan pertengkaran antara penduduk Bebesen dengan penduduk Kebayakan yang merupakan penduduk asli dari keturunan Kerajaan Bukit. Pada saat sekarang ini penduduk Bebesen yang memiliki belah (marga) sudah menyebar di daerah penduduk Gayo lainnya, baik penduduk Aceh Tengah maupun penduduk Bener Meriah. Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan bapak Abd. Rahman pada tanggal 2 Mei 2013, mengatakan bahwa: dulu beliau berasal dari Bebesen tetapi sekarang beliau pindah ke desa Tensaren, beliau juga mengatakan bahwa dia merupakan salah satu keturunan dari belah Munthe yang ada di daerah Bebesen tetapi nama Munthe itu sendiri tidak di tulis di nama belakang beliau, beliau hanya mengetahuinya dari mulut kemulut dari keturunanya. 

Berdasarkan keterangan dan analisis yang telah dilakukan maka peneliti dapat membuat kesimpulan sebagai berikut: 

1. Migrasi orang Batak ke tanah Gayo terjadi pada masa Sultan Alaudin Riyatsyah Alkahar memerintah pada abad ke XVI Masehi, pada masa itu Batak Karo (Batak 27) menang dalam peperangan melawan kerajaan Bukit, sehingga Batak Karo membentuk suatu kerajaan yang disebut dengan kerajaan Cik Bebesen. Selain itu, orang Batak datang ke tanah Gayo sebagai budak belian (temulok). 

2. Folklor Batak 27 mengambarkan aktivitas orang Batak di tanah Gayo yang menggambarkan tentang migrasi orang Batak ke tanah Gayo menurut tradisi lisan orang Gayo. Di dalam Folklor Batak 27 tersebut menceritakan tentang kedatangan orang Batak ke tanah Gayo sebanyak 27 orang Batak Karo yang diawali dari pembunuhan beberapa orang Batak di tanah Gayo sehingga terjadinya peperangan antara orang Gayo dengan orang Batak karo yang diakhiri atas kemenangan orang Batak karo (Batak 27) sehingga orang Batak Karo (Batak 27) membentuk suatu kerajaan yang disebut dengan kerajaan Cik Bebesen. 

3. Fakta-fakta yang ada dalam folklor Batak 27 adalah keberadaan Klen (belah) kelompok masyarakat yang terdapat di tanah Gayo, terutama di daerah Bebesen adanya nama lima buah klen utama (belah) yaitu belah Linge, Munthe, Cebero, Tebe, dan Melala. Belah ini sama seperti marga yang terdapat di dalam marga-marga Batak Karo. 

DAFTAR PUSTAKA
Ara, L.K. dan Medri Ensiklopedi Aceh: adat, Hikayat dan Sastra. Banda Aceh: Yayasan Mata Air Jernih (YMAJ). 
Bangun, Payung Kebudayaan Batak. Dalam Koentjaranigrat. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djamban. 
Danandjaja, James Folklor Indonesia: Ilmu gosip, dongeng, dan lain-lain. Jakarta : Pustaka Utama Grafiti. 
Gottschalk, Louis. Mengerti Sejarah. Jakarta: Universitas Indonesia (UI-PRES). 
Gayo, M.H Perang Gayo Alas Melawan Kolonialis Belanda. Jakarta: PN Balai Pustaka. 
Hurgronje, C. Snock Tanah Gayo dan Penduduknya. Jakarta : Indonesia Nederlands Coopertion in Islamic Studies. 
Hurgronje, C. Snock Gayo, Masyarakat dan Kebudayaannya Awal Abad ke-20. Jakarta: Balai Pustaka. 
Ibrahim, Mahmud Mujahid Dataran Tinggi Gayo. Takengon: Yayasan Maqamammahmuda. 
Kartodirdjo, Sartono Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metologi Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 
Latief, H. AR Pelangi Kehidupan Gayo dan Alas. Bandung: Kurnia Bupa Bandung. 
Munir, Rozy Dasar-dasar Demografi. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 
Purba, O.H.S dan Purba, Elvis F Migran Batak Toba di Luar Tapanuli Utara: Suatu Deskrepsi. Medan.
Onora. Rusli, Said Pengantar Ilmu Kependudukan. Jakarta : LP3ES. 
Susanto, Hary Mitos, pemikiran Mircea Eliade. Yogyakarta: Kanisius. 
Simanjuntak, Bungaran Antonius dan Sosrodihardjo, Soedjito Metode Penelitian Sosial. Medan : Bina Media Perintis. 
Syukri Sarakopat, Sistem Pemerintahan Tanah Gayo dan Relevansi Terhadap Pelaksanaan Otonomi Daerah. Jakarta: Hijri Pustaka Utama. 
Titus, Milan J Migrasi Antar Daerah Di Indonesia Sebagai Cerminan Ketimpangan Regional dan Sosial. Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada. 
Wiradnyana, Ketut dan TaufikurrahmanSetiawan Gayo Merangkai Identitas. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

No comments

berkomentar sesuai dengan jatidirimu

Powered by Blogger.