Sejarah Suku Pak pak dan Adat Istiadatnya
Suku Pakpak merupakan salah satu suku bangsa yang terdapat di Sumatera Utara dan Aceh. wilayah komunitas Bangsa pakpak biasanya disebut Tanoh Pakpak atau lebuh pakpak. Tanoh Pakpak terbagi atas lima sub wilayah atau sering disebut Suak, yakni: Simsim, Keppas, Pegagan (semuanya terdapat di Kabupaten Dairi dan Kabupaten Pakpak Bharat), Kelasen (Kecamatan Parlilitan-Kabupaten Humbang Hasundutan dan Kecamatan Manduamas dan Barus-Kabupaten Tapanuli Tengah) dan Boang (Kabupaten Aceh Singkil dan Kota Subulussalam). Dalam administrasi pemerintahan Indonesia saat ini, wilayah ini dibagi dalam dua provinsi (Sumatera Utara dan Provinsi Aceh) dan lima kabupaten/kota (Kabupaten Dairi, Kabupaten Pakpak Bharat, Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Aceh Singkil dan Kota Subulussalam) yang mengakibatkan tidak ada daerah tingkat II yang penduduknya homogen orang Pakpak karena disegmentasi menjadi lima wilayah kabupaten/kota. Namum secara geografis wilayah atau hak ulayat secara tradisional yang disebut Tanoh Pakpak tersebut sebenarnya tidak terpisah satu sama lain karena semua daerah administrastifnya berbatasan langsung.
Kesatuan
komunitas terkecil yang umum dikenal hingga saat ini disebut lebuh dan
kuta. Lebuh merupakan bagian dari kuta yang dihuni oleh klen
kecil sementara kuta adalah gabungan dari lebuh-lebuh yang
dihuni oleh suatu klen besar (marga) tertentu. Jadi setiap lebuh dan kuta
dimiliki oleh klen atau marga tertentu dan dianggap sebagai penduduk asli,
sementara marga lain dikategorikan sebagai pendatang.
Dalam
sistem kekerabatan, orang Pakpak menganut prinsip patrilineal dalam
memperhitungkan garis keturunan dan pembentukan klen (kelompok kerabatnya) yang
disebut marga. Dengan demikian berimplikasi terhadap sistem pewarisan dominan
diperuntukkan untuk anak laki-laki saja. Bentuk perkawinannya adalah eksogami
marga, artinya seseorang harus kawin diluar marganya dan kalau kawin dengan
orang semarga dianggap melanggar adat karena dikategorikan sebagai sumbang (incest).
Dalam
kajian-kajian yang ada, Pakpak sering dikelompokkan menjadi sub etnis Batak (walaupun sebagian orang pakpak menolak),
tetapi dalam artikel ini digunakan konsep masyarakat Pakpak karena istilah
Batak terlalu umum atau general pada hal substansi kebudayaannya berbeda satu
sama lain.
Sebutan Suku Pakpak juga sering disebut Pakpak Dairi. Penulis sendiri lebih setuju dengan penggunaan kata Suku Pakpak karena Dairi itu sendiri merupakan nama yang diberikan Pemerintah Hindia Belanda pada saat menjajah Tanoh Pakpak, yang dinamai dengan Dairi Landen. Tanoh Pakpak dibagi-bagi dalam berbagai wilayah oleh Hindia Belanda sehingga dapat melumpuhkan perjuangan Raja Sisingamangaraja XII yang pusat perjuangannya di Pearaja dan beberapa daerah lainnya di Tanoh Pakpak. Dengan demikian, daerah administrasi Dairi Landen dapat dipisahkan dari daerah-daerah wilayah masyarakat Pakpak lainnya misalnya di Parlilitan (Humbang Hasundutan), Tongging (Karo), Boang (Aceh Singkil dan Subulussalam) dan Barus-Manduamas (Tapanuli Tengah). Beberapa suak lebih memilih penggunaan kata Pakpak sedangkan beberapa suak lainnya lebih memilih menggunakan kata Dairi, sehingga kata Pakpak Dairi sepertinya sering disandingkan dalam berbagai kesempatan, misalnya saja penamaan Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi (GKPPD), ataupun nama-nama organisasi/kumpulan orang Pakpak sering memakai kata Pakpak Dairi.
Perkembangan dan Persebaran Suku Bangsa Pakpak
Hingga saat artikel ini ditulis, belum ditemukan bukti yang autentik dan pasti tentang asal-usul dan sejarah persebaran orang Pakpak. Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan beberapa variasi.
Pertama, dikatakan bahwa orang Pakpak berasal dari India yakni pedagang-pedagang India yang menetap di Barus dan daerah Pantai Singkil dan selanjutnya masuk ke pedalaman sepanjang daerah Pakkat sampai ke Singkil dan beranak pinak menjadi orang Pakpak. Alasannya adalah bahwa adanya kebiasaan tradisional orang Pakpak dalam pembakaran tulang-belulang nenek moyang dan Barus sebagai daerah pantai dan pusat perdagangan berbatasan langsung dengan Tanoh Pakpak.
Kedua, orang Pakpak berasal dari Batak Toba yang merantau ke Tanoh Pakpak.
Alasan
Pakpak berasal dari Batak Toba hanya adanya kesamaan struktur sosial dan
kemiripan nama-nama marga. Sedangkan alasan ketiga yang menyatakan dari dahulu
kala sudah ada orang Pakpak hanya didasarkan pada folklore di mana diceritakan
adanya tiga zaman manusia di Tanoh Pakpak, yakni zaman Tuara (Manusia Raksasa),
zaman si Aji (manusia primitif) dan zaman manusia (homo sapien).
Ketiga, orang Pakpak memang dari sejak zaman dahulu kala sudah ada. Alasannya didasarkan pada folklore dimana diceritakan adanya tiga zaman manusia di Tanoh Pakpak, yakni Zaman Tuara (manusia raksasa), zaman si Aji (manusia primitif) dan zaman manusia (homo sapien). Satu hal yang pasti umur masyarakat Pakpak itu hingga saat ini belum dapat ditentukan karena penemuan-penemuan bekas bekas tulang belulang yang dibakar dan mejan-mejan (patung batu) menunjukkan bahwa orang Pakpak sudah ada sejak Zaman Batu.
Sebagian orang Pakpak diperkirakan masuk ke Tanah Karo dan menetap disana. Ini dibuktikan dengan kedekatan bahasa antar Suku Karo dan Pakpak demikian juga marga misalnya Cibro (Sibero di Karo), Maha, Lingga (Sinulingga di Karo), dan lain-lain. Hal tersebut juga dikemukan seorang suku Karo yaitu Darwan Perangin-angin bahwa Ginting Sini Suka menurut cerita lisan Karo berasal dari Kelasen (Pakpak) berasal dari Lingga Raja di Pakpak. Sementara itu ada juga marga-marga Pakpak yang berasal dari Toba menetap di Tanoh Pakpak dan menjadi Raja Kuta seperti marga Kabeaken dari Habeahan (Pasaribu), marga Lembeng (Limbong), Sagala, Kaloko (Haloho), dan lain-lain.
Berdasarkan dialek dan wilayah persebarannya, Pakpak dapat diklasifikasikan menjadi lima bagian besar yakni: Pakpak Simsim, Pakpak Keppas, Pakpak Pegagan, Pakpak Boang dan Pakpak Kelasen (Coleman, 1983; Berutu, 1994). Masing-masing sub ini dibedakan berdasarkan hak ulayat marga yang secara administratif tidak hanya tinggal atau menetap di wilayah Kabupaten Dairi (sebelum dimekarkan), tetapi ada yang di Aceh Singkil, Humbang Hasundutan (sebelum dimekarkan dari Tapanuli Utara) dan Tapanuli Tengah.
1. Pakpak Simsim, yakni orang Pakpak yang menetap dan memiliki hak ulayat di wilayah Simsim meliputi wilayah Salak, Situje, Situju, Kerajaan, Pergetteng-getteng Sengkut, Tinada dan Jambu. Marga-marganya antara lain Berutu, Padang, Solin, Cibro, Sinamo, Boang Manalu, Manik, Banurea, Sitakar, Kabeaken, Lembeng, Tinendung dan lain-lain.
2. Pakpak Keppas, yakni orang Pakpak yang menetap dan memiliki hak ulayat di wilayah Sidikalang, Sitelu Nempu, Siempat Nempu, Silima Pungga-Pungga, Tanoh Pinem, Parbuluan, Lae Luhung. Adapun marga-marganya yaitu Angkat, Bintang, Capah, Ujung, Berampu, Pasi, Maha, dan lain-lain.
3. Pakpak Pegagan, yakni orang Pakpak yang menetap dan memilki hak ulayat di wilayah Pegagan meliputi Sumbul, Tiga Baru, Silalahi, dan Tiga Lingga. Adapun marga-marganya yaitu Lingga, Matanari, Maibang, Kaloko, Manik Sikettang, dan lain-lain.
4. Pakpak Kelasen, yakni orang Pakpak yang menetap dan memilki hak ulayat di wilayah Kelasen meliputi wilayah Parlilitan, Pakkat, Barus dan Manduamas. Adapun marga-marganya misalnya Tinambunan, Tumangger, Turuten, Maharaja, Pinayungen, Anak Ampun, Berasa, Gajah, Ceun, Meka, Mungkur, Kesogihen dan lain-lain.
5. Pakpak Boang, yakni orang Pakpak yang menetap dan memilki hak ulayat di wilayah Boang meliputi Aceh Singkil yakni Simpang Kiri, Simpang Kanan, Lipat Kajang dan Kota Subulussalam. Adapun marga-marganya misalnya Saraan, Sambo, Bancin, Kombih, Penarik, dan lain-lain.
Adapun marga-marga Pakpak yang hingga kini ada diketahui Penulis, yaitu: Anak Ampun, Angkat, Bako, Bancin, Banurea, Berampu, Berasa, Berutu, Bintang, Boang Manalu, Capah Cehun, Cibro, Cibero Penarik, Gajah, Gajah Manik, Goci, Kaloko, Kabeaken, Kesogihen, Kombih, Kudadiri, Kulelo, Lembeng, Lingga, Maha, Maharaja, Manik, Manik Sikettaang, Manjerang, Matanari, Meka, Mucut, Mungkur, Munte, Padang, Padang Batanghari, Pasi, Pinayungen, Simbacang, Simbello, Simeratah, Sinamo, Sirimo Keling, Solin, Sitakar, Sagala, Sambo, Saraan, Sidabang, Sikettang, Simaibang, Tendang, Tinambunan, Tinendung, Tinjoan, Tumangger, Turuten, Ujung.
Asal Usul Suku Pakpak
Nintura
berasal dari kata manusia raksasa (NTUARA),Similang ilang berasal dari india..
Sini haji, berasal dari bangsa arab memasuki wilayah pulau jawa yang di sebut dengan wali songo memasuki barus terus turun ke wilayah ulayat pakpak.
Diceritakan dalam sejarah, bahwa asal-usul Suku Pakpak adalah dari India Selatan yaitu dari India Tondal yang kemudian menetap di Muara Tapus dekat Kota Barus lalu berkembang di tanah Pakpak dan kemudian menjadi suku Pakpak. Pada dasarnya nenek moyang suku Pakpak ini sudah mempunyai marga sejak dari negeri asal mereka, namun kemudian membentuk marga baru yang tidak jauh berbeda dari marga aslinya.
Tidak semua orang Pakpak orang Pakpak berdiam di tanah Pakpak, namun mereka juga berdiaspora, meninggalkan negerinya dan menetap di daerah baru. Sebagian tinggal di tanah Pakpak dan menjadi Suku Pakpak. Mereka menjadi “Situkak Rube”, Sipungkah Kuta, dan Sukut Nitalun di tanah Pakpak. Sebagian lagi pergi merantau ke daerah lain, membentuk komunitas baru. Mereka mengetahui bahwa asalnya adalah dari daerah Pakpak dan mengaku bahwa Pakpak adalah sukunya, namun sudah menjadi marga di suku lain. Menurut cerita, nenek moyang dari Suku Pakpak adalah si Kada dan si Lona dari India Selatan. Mereka pergi merantau meninggalkan kampungnya dan terdampar di Pantai Barus dan terus masuk hingga ke tanah Pakpak.
Dari
pernikahan mereka mempunyai seorang anak yang bernama HYANG. Itulah sebabnya
nama Hyang adalah nama yang dikeramatkan di Suku Pakpak. Hyang pun dewasa dan
kemudian menikah dengan putri Raja Barus. Dari pernikahan mereka, lahir 7 orang
anak laki-laki dan 1 orang anak perempuan. Adapun nama dari anak Hyang dan
putri raja Barus adalah :
1.
Si Haji;
2.
Perbaju Bigo;
3.
Ranggar Jodi;
4.
Mpu Bada;
5.
Raja Pako;
6.
Bata;
7.
Sanggir;
8. Suari (anak perempuan).
Pada urutan ke empat terdapat nama Mpu Bada, Mpu Bada adalah yang terbesar di antara saudara-saudaranya yang lain, bahkan dari pihak suku Toba pun kadangkala mengklaim bahwa Mpu Bada adalah keturunan dari Parna dari Marga Sigalingging. Si anak Sulung, yaitu Si Haji mempunyai kerajaan di Banua Harhar, yang saat ini dikenal dengan Hulu Lae Kombih, Kecamatan Siempat Rube Kabupaten Pakpak Bharat Turunannya Padang,Berutu, Solin. Perbaju Bigo pergi ke arah timur dan membentuk kerajaan SIMBELLO di Silaan, yang saat ini dikenal dengan Kecamatan Sitellu Tali Urang Julu. Ranggar Jodi pergi ke arah utara dan membentuk kerajaan yang bertempat di Buku Tinambun dengan nama kerajaan JODI BUAH LEUH dan NANTAMPUK MAS, saat ini masuk ke dalam Kecamatan Sitellu Tali Urang Jehe. Mpu Bada pergi ke arah barat melintasi Lae Cinendang dan tinggal di Mpung Simbentar Baju turunannya Manik, Beringin,Tendang, Banurea, Gajah, Berasa.
Raja
Pako pergi ke arah timur laut membentuk Kerajaan Siraja Pako dan bermukim di
Sicike-cike turunannya si pitu marga Ujung, Angkat, Bintang, Capah, Sinamo,
Kudadiri, Gajah manik. Bata pergi ke arah Selatan dan menikah, kemudian hanya
mempunyai seorang anak perempuan yang menikah dengan Putra keturunan Tuan
Nahkoda Raja.
Dari pernikahan ini menurunkan marga
Tinambunan, Tumangger, Maharaja, Turuten, Pinayungen dan Anakampun. Sanggir
pergi ke arah Selatan tapi lebih jauh dari Bata dan membentuk kerajaan di sana,
dipercaya menjadi nenek moyang marga Meka dan Mungkur. Sedangkah yang perempuan
yaitu Suari menikah dengan Putra Raja Barus dan mempunyai anak, yaitu:
Permencuari yang kemudian menurunkan marga Boangmanalu dan Bancin.
Meskipun
para Antropolog memasukkan suku Pakpak ke dalam salah satu Sub etnis Batak,
sebagaimana suku Mandailing, Karo, Toba, dan Simalungun. Namun, suku Pakpak
mempunyai versi tersendiri tentang asal-usul dan jati dirinya. Berkaitan dengan
hal tersebut sumber-sumber tutur menyebutkan antara lain (Sinuhaji dan
Hasanuddin, 1999/2000:16) :
Keberadaan
orang-orang Simbello, Simbacang, Siratak dan Purbaji yang dianggap telah
mendiami daerah Pakpak sebelum kedatangan orang-orang Batak;
Penduduk awal daerah Pakpak adalah orang-orang yang bernama Simargaru, Simorgarorgar, Sirumumpur, Silimbiu, Similang-ilang dan Purbaji.
Dalam Lapihen/Laklak (buku berbahan kulit kayu) disebutkan penduduk pertama daerah Pakpak adalah pendatang dari India yang memakai rakit kayu besar yang terdampar di Barus. Persebaran orang Pakpak Boang dari daerah Aceh Singkil ke daerah Simsim, Keppas, dan Pegagan. Terdamparnya armada dari India Selatan di pesisir barat Sumatera, tepatnya di Barus yang kemudian berasimilasi dengan penduduk setempat.
Berdasarkan sumber tutur serta sejumlah nama marga yang ada di Suku Pakpak yang mengandung ke India-an seperti marga Lingga, Maha dan Maharaja, boleh jadi di masa lalu memang pernah terjadi kontak antara penduduk pribumi Pakpak dengan para pendatang dari India. Jejak kontak itu tentunya tidak hanya dibuktikan lewat dua hal tersebut, dibutuhkan data lain yang lebih kuat mendukung dugaan tadi. Oleh karena itu pengamatan terhadap produk-produk budaya baik yang tangible maupun intangible diperlukan untuk memaparkan fakta adanya kontak tersebut.
ADAT
PAKPAK
Adat
pakpak sifat nya dua macam (1):Ngkerja bagak (2)Ngkerja njahat
1. Ngkerja Bagak :kerja /pesta perkawinan dan adat nya terbagi 7 macam yaitu:
*Merkata
sipitu
*Merbayo
*Sohom-sohom
*Menoh
kela
*Memelat
soki
*Menada
bunga rambu rambu
*Maing pertabar (pesakat mabruna kalon)
2:Ngkerja Njahat:yg di sebut adad tentang akhir kematian adatnya ada 3 macam yaitu:
*Males
bulung simbernaik
*Males
bulung sampula
*Males
bulung ni buluh
dengan
tingkat kemampuan dan usia yang meninggal dunia yang dinamakan bahasa ada yaitu
1.Tingkat
membayar lemba berati yang meninggal sudah ncayur ntua
2.Bura
bura cipako berarti yang meninggal sudah berumah tangga
3.Bura bura koning berati yang meninggal di bawah umur orang dewasa.
MENGENAI
PELAKSANAN ADAT
Kata
kunci dalam bahasa pakpak
*Mengido
sodip mendahi puang
*Mengido
gegoh mendahi berru
*Mengido
pengurupi mendahi dedahen dengan sebeltek
*Memerre serbeb mendahi pertua/orang tua
ADAT
PERKAWINAN/MAHAN UTANG
Memereken
simpihir pihir berupa, mas, perak, kepeng secukupnya tapi olesnya harus lima
-Oles
inang berru -oles culkkai -oles penatum -oles lemlem nakan-oles peraleng.
inilah merupakan kewajipan dari pihak laki laki yang harus diberikan ke pihak
perempuan/si per berru/puang.
Setelah
pihak perempuan menerima kewajiban dari pihak laki laki maka pihak perempuan
wajip pula memberikan yaitu:
-Nakan penjalon, -penjukuti mersendihi -belagen 3, -kembal 12, -selampis baka 24 nama/glar, -belagen peramak, -belagen dabuhen/tabir, -dinding ulu/tutup takal. Ramuan pelengkapnya yang mempunyai makna tersendiri di tambah dengannditak, dohomen pinahpah, lemang/ tinembu, galuh tasak, tebbu merlepak dengan beras simperbean.
ADAT NJHAHAT (KEPATEN)
Yang
wajib dihadapi puang yaitu:
puang
bona, puang pengamaki, puang lebbe, puang bial disebut sampe ke pembayaran
lemba. Berikutnya di berikan oles 3 lembar namanya oles sintaken, oles
tatakenken, oles bau-bau, di tambah simpihir pihir/mas kepeng manoh
manoh/kenagen yang sifatnya misalnya kebun, sawah atau sebidang tanah dan tanaman durian petai, kelapa, dll.
sipuang
rasa berkewajipan memberi pihak berru yaitu:
memereken nakan pengambat, memereken nakan persirangen, memereken nakan ariari tendi ket ieket jari kikambal kambirang pake bengkuang/bahan untuk baka. Yang bermakna supaya mpihir mo tendi ket mambal sindanggel, dan di berikan beras pengkicik simpihir tendi nakan tsb tidak terlepas dari merangkap kambing, ayam.
Upacara -Upacara Lain
Misalnya Upacara Mendegger Uruk, Upacara Merintis Lahan (menoto), Upacara Memepuh Babah/Merkottas, Upacara Pembakaran Lahan (menghabani), Upacara Menjelang Penanaman Padi (menanda tahun), Upacara Mengusir Hama (mengkuda-kudai), Upacara Syukuran Panen (memerre kembaen).
Masyarakat
Pakpak mengenal beberapa bentuk perkawinan, yaitu:
1. Sitari-tari
(Merbayo atau Sinima-nima), merupakan bentuk yang dianggap paling baik atau
ideal karena hak dan kewajiban pengantin laki-laki dan perempuan telah
terpenuhi.
2. Sohom-sohom,
upacaranya sederhana dan dihadiri keluarga terdekat saja, semua unsur adat
terpenuhi tetapi secara ekonomi lebih kecil.
3. Menama,
disini pihak keluarga perempuan tidak setuju, sehingga dicari jalan lain dengan
kawin lari, sehingga sebagai tanda rasa bersalah pengantin cukup membawa
makanan (nakan sada mbari) sebagai tanda minta maaf dan pada suatu saat nanti
mereka akan mengadati.
4. Mengrampas,
artinya mengambil paksa isteri orang lain, sanksi untuk laki-laki adalah
membayar mas kawin yang tidak mempunyai batasan.
5. Mencukung,
hampir sama dengan mengrampas.
6. Mengeke,
mengawini janda dari abang atau adik laki-laki.
7. Mengalih,
seorang laki-laki mengawini janda baik bekas istri abang atau adiknya maupun
istri orang lain.
Dalam merbayo (Upacara
Perkawinan) dikenal beberapa tahapan, yaitu:
1. Mengirit/ Mengindangi (Meminang)
2. Mersiberen Tanda Burju (Tukar
Cincin)
3. Mengkata Utang (Menentukan
Mas Kawin)
4. Merbayo (Pesta
Peresmian)
5. Balik Ulbas
Budaya
Suku Pakpak
Budaya pakpak terbagi 3 macam yaitu: (A) Budaya marga, (B) Budaya lebbuh, (C) Budaya jabu
A) Budaya
marga disebut pelaksanaan nya mendangger uruk yg harus menghadirkan perisang
isang, pertulan tengah, damper ekur ekur, puang, bru, sicibal baleng. di
promotori oleh sipantes ndiase, si gedang radumen deket si baso. hal
tersebut dinamakan pesta budaya sulang silima (marga tertentu)
B) Budaya
lebbuh serupa di atas tapi sifat nya satu lebuh yg di sebut sada kuta
C) Budaya jabu/perjabujabu serupadiatas sifat nya perorangan atau keluarga.
SECARA UMUM A.B.C. masing masing budaya seni yang sama. Odong-dong, nagen atau nyanyian tangis milangi dan mempunyai oning oningen misal nya genderang, gung, klondang, sordam, kecapi, lobat, taratoa, sagasaga, genggong, kettuk.
ADAT
STUKTUR SOSIAL PAKPAK (FALSAFAH)
Adat
dan struktur sosial kekerabatan Suku Pakpak yang disebut Sulang Silima, terdiri
dari lima unsur yaitu
Perisang-isang
(Sinina pertama: anak sulung, kerabat semarga keturunan atau generasi tertua)
Pertulan-tengah
(Sinina kedua: anak tengah, kerabat semarga keturunan atau generasi yang
ditengah)
Perekur-ekur
(Sinina bungsu: anak bungsu, kerabat semarga keturunan terbungsu)
Perpunca Ndiadep / Puang Kula-kula,pengituai,pemerintah(kerabat pemberi gadis)
Perbetekken / Berru,Sukut nitulan (kerabat penerima gadis)
Kesenian, Kuliner dan Kerajinan Tangan Suku Pakpak
-Seni Tari dalam Bahasa Pakpak disebut “Tatak” yang dalam Bahasa Toba disebut “Tortor” dan “Bahasa Karo” disebut “ La ‘ndek”. Tarian tradisional Pakpak sangat erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari, misalnya Tatak Memupu/ Menapu Kopi, Tatak Mendedah, Tatak Renggisa, Tatak Balang Cikua, Tatak Garo-Garo, Tatak Tirismo Lae Bangkuang, Tatak Mersulangat, Tatak Menerser Page, Tatak Muat Page, Tatak Adat, Tatak Mendedohi Takal-Takal, dan lain-lain. Selain itu, dikenal juga seni bela diri misalnya moccak dan tabbus.
- Seni musik dan seni vokal. Seni alat musik misalnya Kalondang, Genderang, Gung Sada Rabaan, Kucapi, Sordam, Lobat, Kettuk, Gerantung, dan lain-lain. Seni vokal diantaranya odong-odong dan nangen. Selain itu, seni vokal juga sudah semakin dikembangkan sekarang ini, diantaranya lagu paling dikenal yaitu Cikala le Pong Pong, Delleng Sitinjo, Lae Une, Nan Tampuk Mas, dan lain-lain.
Sastra
Kesusastraan juga dikenal dalam adat Pakpak, terutama peribahasa dan pantun. Biasanya peribahasa berisi anjuran dan nasihat sedangkan pantun juga berisi anjuran dan nasihat meskipun ada pantun jenaka. Misalnya peribahsa yaitu "ipalkoh sangkalen mengena penggel" artinya dipukul talenan telinga terasa, maknanya yaitu untuk kita selalu menuruti, was-was dan tanggap terhadap nasihat yang berguna yang diberikan oleh orang yang lebih berpengalaman. Contoh pantun yaitu "sada lubang ni sige, sada ma ngo mahan gerrit-gerriten, tah soh mi ladang dike pe, ulang ma ngo mbernit-mberniten" artinya kemanapun kita merantau semoga tetap sehat selalu. Prosa juga lumayan berkembang ditandai dengan banyaknya cerita-cerita legenda yang diturunkan secara lisan dari generasi ke generasi seterusnya. Contoh cerita rakyat Pakpak yaitu Cerita Simbuyak-buyak yang dikenal luas dalam masyarakat Kelasen, Cerita Nan Tampuk Mas yang dikenal masyarakat Keppas.
Kuliner
Jenis-jenis makanan tradisional misalnya Pelleng (ada perbedaan dalam resep dan bentuk serta penyajian dari pelleng Pegagan dan Simsim) nasi yang dilumat dengan sendok dan berwarna kuning, Ginaru Ncor, Nditak (Tepung beras dicampur kelapa parut dan gula putih lalu dikepal dengan tangan), Pinahpah (padi muda yang dipipihkan), Ginustung, Sagun-Sagun (Tepung beras yang digongseng dengan gula pasir dan kelapa parut), Sambal Jeruk (durian yang diasamkan), Ikan Bingkis, dan lain-lain.
Kerajinan
Tangan
Kerajinan tangan suku Pakpak sudah dikenal sejak jaman dahulu yaitu dengan adanya Mejan Batu (sejenis patung yang terbuat dari batu) yang terdapat hampir disetiap kuta. Selain itu ada juga “membayu” yaitu menganyam tikar, bakul, kirang (keranjang) dan lain sebagainya yang terbuat dari sejenis rumput yang tumbuh di sawah. Selain itu kerajina rotan dan bambu juga banyak dikembangkan misalnya kursi, sangkar burung, bubu, tampi, juga keranjang. Kerajinan lainnya yaitu terutama di daerah Kelasen yaitu “meneppa” yaitu pandai besi terutama meneppa golok (pisau dan parang), pedang, kujur (tombak), cangkul, cuncun dan lain-lain.
Pakaian Adat
Pakaian
adat masyarakat Pakpak cenderung berwarna hitam. Untuk laki-laki (daholi)
adalah baju lengan panjang dengan kerah mirip kerah Mandarin kemudian ada garis
warna merah pada ujung tangan, pada daerah kancing baju, dan pada daerah lain
sebagai tambahan. Untuk penutup kepala dipakai oles (kain adat) yang mempunyai
rambu (rumbai) berwarna merah atau kuning yang dibentuk seperti peci dengan
rambu kearah samping depan. Celana warna hitam dengan ukuran ¾ dipakai dengan
mandar (sarung) sebagai penutup celana. Biasanya laki-laki menempatkan golok
(parang) di pinggang sebagai aksesoris tambahan.
Untuk perempuan (perempun) memakai saong (penutup kepala) dengan bentuk “cudur” atau mengerecut ke bagian belakang. Posisi rambu olesnya berada di depan, bajunya juga berwarna hitam lengan panjang dengan hiasan payet berwarna kuning di depan, dibelakang dan dibagian ujung lengan. Untuk rok dipakai oles yang berwarna hitam dan ikat pinggang. Sebagai aksesoris tambahan pada tangan disematkan ucang-ucang (tas kecil) dan pada dada disematkan hiasan berwrna kuning keemasan.
Rumah Adat
Rumah Adat masyarakat Pakpak disebut Sapo Jojong, yaitu sebuah rumah panggung terdiri dari ijuk sebagai atap dengan atap yang bertingkat dua. Ornamen utamanya terdiri dari ukiran atau lukisan yang agak mirip dengan rumah adat Karo maupun Toba. Diatas pintu rumah biasanya ada gambar sepasang cicak dan payudara wanita yang melambangkan kesuburan. Bentuk rumah adat Pakpak cenderung mirip dengan rumah adat Karo.
Istilah Kekerabatan Pakpak
Istilah
Kekerabatan Ego dengan Saudara Inti dan Keluarga Sekandung (Sinina)
Istilah-istilah kekerabatan yang dikenal yaitu Bapa (Ayah), Inang (Ibu), Kaka/Abang (Kakak lk. Abang), Dedahen/Anggi (Adik laki-laki/adik pr.), Turang (Kakak/Adik pr. ), Mpung/Poli (Kakek), Mpung Daberru (Nenek), Patua (Sdr lk. tertua Ayah), Nantua (Istri Sdr lk. tertua Ayah), Tonga (Sdr lk. tengah Ayah), Nan Tonga (Istri Sdr lk. tengah Ayah), Papun (Sdr lk. termuda Ayah). Nangampun (Istri Sdr lk. termuda Ayah), Inanguda (Sdr pr. Ibu yg lebih muda), Panguda (Suami Sdr pr. Ibu yg lebih muda), Nan Tua (Sdr pr. Ibu yg lebih tua), Patua (Suami Sdr pr. Ibu yg lebih tua).
Istilah
Kekerabatan Ego dengan Kelompok Berrunya
Istilah-istilah kekerabatan yang dikenal yaitu Turang (Sdr Pr), Silih (Suami Sdr Pr), Beberre (Anak Sdr Pr), Berru (Anak Pr. Ego), Kela (Menantu Lk), Namberru (Sdri Ayah), Mamberru (Suami Sdri Ayah), Impal (Anak lk Sdri Ayah), Turang (Anak Pr .Sdri Ayah), Mamberru (Mertua lk. Sdri Ego), Namberru (Mertua Pr. Sdri Ego).
Istilah Kekerabatan Ego dengan Kelompok Puangnya
Istilah-istilah kekerabatan yang dikenal yaitu Puhun (Sdr Lk Ibu), Nampuhun (Istri Sdr Lk Ibu), Impal (Anak Lk/Pr Sdr Lk. Ibu), Sinisapo (Istri Ego), Silih (Sdr Lk Istri), Bayongku (Istri Sdr Lk Istri Ego), Puhun (Mertua Lk), Nampuhun (Mertua Pr), Kalak Purmaen (Menantu Pr), Purmaen (Anak Sdr Lk Istri Ego).
MEJAN
SUKU PAKPAK
Mejan
merupakan peninggalan purbakala yang ditemukan di Tanah Pakpak berupa
patung-patung yang diukir dari batu. Patung-patung ini berbentuk orang
mengendarai binatang seperti: gajah, kuda, atau harimau. Mejan adalah suatu
simbol kebanggaan dan kemashyuran bagi masyarakat Pakpak, karena diyakini bahwa
patung-patung tersebut mengandung unsur mistik tersendiri. Selain mengandung
nilai budaya yang tinggi, mejan ini juga merupakan lambang kebesaran marga
Pakpak atau masyarakat Pakpak.
Secara
khusus masyarakat Pakpak memaknai mejan sebagai simbol
kepahlawanan. Pemahat yang membuat mejan ini adalah para pertaki dan
mereka inilah pemilik mejan sekaligus pande tukang. Pembuatan mejan
ini dahulu memakan waktu yang cukup lama disertai dengan mantra-mantra untuk mengisinya
dengan roh yang biasa disebut masyarakat Pakpak dengan nangguru yang
mengisi batu mejan. Itulah sebabnya mejan diyakini memiliki kekuatan gaib dan
para pertaki inilah yang memiliki kualifikasi membuatnya.
Warga
yang memiliki mejan dahulu kala merupakan orang berada, karena dalam
pembuatannya membutuhkan biaya yang lumayan besar dan memakan waktu lama juga.
Selain itu, untuk pembuatan mejan ini tidak sembarangan, karena dalam
pembuatannya harus mengikuti banyak ritual sebagai syarat-syarat yang harus
dipenuhi agar mejan tersebut nantinya memiliki kekuatan mistik. Setelah rampung
patung ini ditempatkan di gerbang kampung sebagai penangkal bala
sekaligus penanda kekuasaan marga selaku pemangku kuta, yaitu
pendiri kampung.
Pada zaman dulu, mejan berfungsi sebagai benteng pertahanan terhadap musuh yang akan masuk ke suatu daerah atau kampung. Konon, mejan dapat bersuara pada zaman dulu bila musuh datang memasuki kampung atau bila suatu kampung akan mengalami suatu kejadian. Suara ini diyakini berasal dari nangguru yang berdiam di dalam batu mejan tersebut. Nangguru yang tinggal di batu Mejan dipercaya adalah roh nenek moyang yang dipanggil melalui suatu ritual. Di situlah letak sifat mistik daripada mejan yang telah disinggung sebelumnya (berbagai sumber).
1.Pengaruh Tamil dalam Masyarakat Pakpak
Patung
Mejan yang masih ada ditemukan sekarang ini diperkirakan berumur 400–900
tahun. Menurut hasil penelitian para arkeolog yang pernah melakukan riset di
daerah Pakpak Bharat, keberadaan mejan tidak terlepas dari pengaruh
Hindu yang juga identik dengan budaya patungnya. Bentuk patung seperti gajah
dan angsa adalah hasil kontak mereka dengan para pendatang dari India. Bentuk
seperti patung angsa yang berfungsi sebagai tutup batu pertulenan
(penyimpanan abu jenazah) sebenarnya tidak lain adalah hasil interpretasi
Pakpak terhadap ikonografi Hindu yang dikawinkan dengan
bentuk mejan yang telah ada sebelumnya, sebagai simbol kendaraan
arwah (Soedewo, 2008:1-10).
Masuknya
unsur-unsur budaya Hindu – Tamil ke dalam budaya Pakpak dimungkinkan oleh
adanya kontak kedua budaya tersebut. Tempat yang paling memungkinkan terjadinya
kontak itu di masa lalu adalah Barus, yang bukti-bukti sejarah maupun
arkeologisnya menunjukkan tempat ini pernah berjaya sebagai bandar internasional.
Para pedagang Tamil dari India mendatangi Barus untuk membeli kapur barus yang
dihasilkan di daerah Pegunungan Bukit Barisan yang menjadi tempat tinggal
orang-orang Pakpak (Basarsyah, 2009:1-3; Soedewo, 2008:1-10).
Bukti kehadiran orang-orang Tamil dari India adalah Prasasti Lobu Tua, yang ditemukan di Barus. Prasasti berangka tahun 1010 Saka (1088 M) ini dikeluarkan oleh suatu serikat dagang yang bernama Ayyāvole 500 (Perkumpulan 500) (Sastri,1932:326 dan Subbarayalu,2002:24). Prasasti dengan tulisan Tamil ini ditemukan oleh pejabat Belanda GJJ Deutz tahun 1872. Setelah diterjemahkan oleh Prof. Dr. KA Nilakanda dari Universitas Madras India pada tahun 1931, menurutnya perkumpulan dagang etnik Tamil tersebut memiliki pasukan keamanan, aturan perdagangan dan ketentuan lainnya. Anggotanya terdiri dari berbagai aliran Brahmana, Wisnu, Mulabhadra dan lain-lain. Berdasarkan penggalian arkeologi yang dilakukan oleh Daniel Perret bersama tim dari Ecole Francaise d Extreme-Orient (EFEO) membuktikan bahwa pada abad ke-8 sampai ke-12 di Lobu Tua, Barus telah terdapat perkampungan multi-etnik terdiri dari etnik Tamil, Cina, Arab dan sebagainya (Kumar, 2011:1).
Barus,
yang merupakan bandar niaga internasional di masa lalu tidak jauh dari Kelasan,
yang berada di pegunungan Bukit Barisan dan dulu menjadi persinggahan para
pedagang yang datang dari Kailasem di pegunungan Himalaya, India. Oleh karena
itu, bukan tidak mungkin bahwa penduduk Kelasan yang sekarang dikenal sebagai
salah satu suak di Tanah Pakpak adalah keturunan dari hasil percampuran mereka.
Orang-orang Tamil ini juga masuk terutama ke daerah Simsim dan Boang. Inilah
yang menyebabkan adanya anggapan bahwa orang Pakpak berasal dari India.
Apalagi di lapihen laklak Pakpak (buku laklak dari kulit kayu)
ada tertulis “Enmo tambo si Sewu si roh Indiha nari arap-arapen kayu mbellen
soh mi Barus” (inilah tambo si Sewu yang datang dari India dengan memakai
rakit kayu besar sampai ke Barus).
2.Keberadaan
Mejan Kini
Mejan
tetap masih ada ditemukan di wilayah Tanah Pakpak meskipun sudah lumayan banyak
juga yang hilang dicuri orang. Setidaknya di daerah seperti Tungtung
Batu, Berampu, Bangun, Tinada, Kerajaan, Kuta Nangka, Kuta Deleng, Kuta
Kersik, Penanggalan, Lebuh Simangun, Lebuh Nusa, Ronding, Sibande, dan Kaban
Tengah patung ini masih ada sampai sekarang.Di luar Dairi dan Pakpak Bharat ada
juga di daerah Parlilitan, Humbang Hasundutan (berbagai sumber).
Menurut
data dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Pakpak Bharat bahwa mejan
tersebut ada di daerah sebagai berikut: Mejan Berutu Kuta Ujung dan Mejan
Kesogihen di Pardomuan. Mejan Berutu Ulu Merah dan Mejan Berutu
Tandak di Ulu Merah, Mejan Berutu Kuta Kersik dan Mejan Marga
Sinamo di Silimakuta, Mejan Bancin Penanggalan Jehe di Boang, Mejan
Boangmanalu di Boangmanalu, Mejan Manik Arituntun dan Mejan Manik
Aornakan Tao di Aornakan, Mejan Manik Lagan dan Mejan Manik
Gaman serta Mejan Gajah di Simerpara, Mejan Manik Kecupak di
Kecupak I, Mejan Sanggar dan Mejan Pandua di Pangindar, Mejan Marga Sinamo
Siantar Julu di Perongil, Mejan Padang di Jambu,Mejan Padang Kuta Babo di Kuta
Babo, Mejan Solin Lae Meang di Mahala, Mejan Solin Tamba di Majanggut II, Mejan
Solin Kuta Delleng dan Mejan Tinendung di Sukarame.
Mejan, sebagaimana telah dikemukakan di atas, adalah kekayaan budaya Pakpak, sehingga perlu dijaga dan dipelihara dari usaha-usaha pencurian dan perusakan. Pemerintah dan masyarakat harus bekerja sama untuk menjaga dan memelihara mejan-mejan yang masih tersisa.
Pengelolaan Lingkungan Pada Masyarakat Pakpak
Hasil-hasil
penelitian yang dilakukan membuktikan bahwa masyarakat Pakpak memiliki sejumlah
nilai budaya, pengetahuan, aturan, kepercayaan, tabu, sanksi, upacara dan
perilaku budaya yang arif dalam pengelolaan lingkunan. Usman Pelly (1987: 269)
menyatakan bahwa masyarakat Pakpak sangat menghargai alam dengan adanya
tabu-tabuyang selalu dipatuhi. Lebih lanjut Zuraida dkk, (1992) menyatakan
bahwa orang Pakpak memiliki aturan-aturan dalam menjaga konservasi alam. Kedua
ahli ini belum menjelaskan secara eksplisit tabu-tabu dan aturan-aturan yang
kondusif terhadap konservasi alam.
Penelitian
lebih lanjut membuktikan pernyataan kedua ahli tersebut. Kearifan dalam
konservasi alam tersebut terjadi dalam berhubungan dengan alam. Ada yang
disadari dan ada pula yang tidak disadari oleh masyarakat Pakpak yang
terkandung dalam sejumlah nilai, aturan, tabu dan upacara terutama kegiatan
yang berhubungan langsung dengan alamseperti dalam sistem ladang berpindah, mencari
damar, berburu, dan meramu dan pengelolaan hutan kemenyaan.
Selain itu berhubungan dengan kepercayaan tradisional di setiap lebuh dan kuta ditemukan atau dikenal adanya area-area yang pantang untuk di ganggu unsur biotik dan abiotik yang ada di dalamnya karena dianggap mempunyai kekuatan gaib antara lain: rabag, gua, daerah pinggiran sungai dan jenis-jenis pohon dan binatang tertentu yang dianggap memiliki mana. Jenis tumbuhan tersebut misalnya pohon ara, Simbernaik (sejenis pohon penyubur tanah). Jenis binatang yang jarang diganggu isalnya monyet, kera dan harimau.
Pada awalnya tempat-tempat tersebut dijadikan sebagai tempat persembahan terhadap kekuatan gaib namun saat ini walaupun umumnya mereka telah menganut agama-agama besar seperti Islam dan Kristen, tetap dianggap keramat dan mempunyai kekuatan sehingga kalau diganggu dapat berakibat terhadap keselamatan baik secara langsung maupun tidak langsung.
Jejak Hindu-Buddha dalam Sejarah Suku Pakpak
Selama ini pihak keturunan Raja
Borbor ataupun yang lebih kecilnya lagi keturunan Silau Raja dari Toba selalu
mengklaim bahawa semua marga yang berbunyi Manik entah dari Toba, Damanik di
Simalungun, Karo-Karo Manik di Karo dan Manik di Pakpak Dairi seakan-akan
membuat sebutan “manik” adalah Hak Ekslusif dari pihak Toba semata.
Diceritakan dalam Sejarah Pihak
Pakpak maka asal mereka adalah dari India Selatan yaitu dari Indika Tondal ke
Muara Tapus dekat Barus lalu berkembang di Tanah Pakpak dan menjadi Suku
Pakpak. Pada dasarnya mereka sudah mempunyai marga sejak dari negeri asal namun
kemudian membentuk marga baru yang tidak jauh berbeda dengan marga aslinya.
Tidak semua Orang Pakpak berdiam di
atas Tanah Dairi namun mereka juga berdiaspora, meninggalkan negerinya dan
menetap di daerah baru.
1. Sebagian tinggal di Tanah Pakpak dan menajadi Suku Pakpak
“Situkak Rube:, ”Sipungkah Kuta” dan “Sukut Ni Talun” di Tanah Pakpak.
2. Sebagian ada pergi merantau ke daerah lain, membentuk
komunitas baru. Dia tahu asalnya dari Pakpak dan diakui bahwa Pakpak adalah
sukunya namun sudah menjadi marga di suku lain.
3. Ada juga yang merantau lalu mengganti Nama dan Marga
dengan kata lain telah mengganti identitasnya.
Diceritakan bahwa Nenek Moyang awal
Pakpak adalah Kada dan Lona yang pergi meninggalkan kampungnya di India lalu
terdampar di Pantai Barus dan terus masuk hingga ke Tanah Dairi,dari pernikahan
mereka mempunyai anak yang diberi nama HYANG. Hyang adalah nama yang
dikeramatkan di Pakpak.
Hyang pun besar dan kemudian
menikah dengan Putri Raja Barus dan mempunyai 7 orang Putra dan 1 orang Putri
yaitu :
1. Mahaji
2. Perbaju Bigo
3. Ranggar Jodi
4. Mpu Bada
5. Raja Pako
6. Bata
7. Sanggar
8. Suari (Putri)
Pada urutan ke 4 terdapat nama Mpu
Bada, Mpu Bada adalah yang terbesar dari pada saudara-saudaranya semua,bahkan
dari pihak Toba pun kadangkala mengklaim bahwa Mpu Bada adalah Keturunan dari
Parna dari marga Sigalingging,gimana bisa?sedangkan pada sejarah sudah
jelas-jelas bahwa Mpu Bada adalah anak ke 4 dari Hyang, makanya perlu hati-hati
jika memperhatikan pembalikan fakta sejarah yang sering dilakukan oleh Pihak
lain dewasa ini.
Anak Sulung, Mahaji mempunyai
Kerajaan di Banua Harhar yang mana saat ini dikenal dengan nama Hulu Lae
Kombih,Kecamatan Siempat Rube.
Parbaju Bigo pergi ke arah Timur
dan membentuk Kerajaan Simbllo di Silaan, saat ini dikenal dengan Kecamatan STTU
Julu.
Ranggar Jodi pergi ke arah Utara
dan membentuk Kerajaan yang bertempat di Buku Tinambun dengan nama Kerajaan
Jodi Buah Leuh dan Nangan Nantampuk Emas,saat ini masuk Kecamatan STTU Jehe.
Mpu Bada pergi ke arah Barat
melintasi Lae Cinendang lalu tinggal di Mpung Si Mbentar Baju.
Raja Pako pergi ke arah Timur Laut
membentuk Kerajaan Si Raja Pako dan bermukim di Sicike-cike.
Bata pergi ke arah Selatan dan
menikah kemudian hanya mempunyai seorang Putri yang menikah dengan Putra
Keturunan Tuan Nahkoda Raja. Dari sini menurunkan marga
Tinambunen, Tumangger, Maharaja, Turuten, Pinanyungen dan Anak Ampun.
Sanggir pergi ke arah Selatan tapi lebih jauh daripada Bata dan mmbentuk Kerajaan di sana, dipercaya menjadi nenek
moyang marga Meka, Mungkur dan Kelasen.
Suari Menikah dengan Putra Raja Barus dan memdiam di Lebbuh Ntua.
Marga Manik diturunkan oleh Mpu
Bada yang mempunyai 4 orang anak yaitu :
1. Tndang
2. Rea sekarang menjadi Banurea
3. Manik
4. Permencuari yang kemudian menurunkan marga Boang Menalu
dan Bancin.
Asal-usul dan persebaran orang
Pakpak
Pakpak biasanya dimasukkan sebagai
bagian dari etnis Batak, sebagaimana Karo, Mandailing, Simalungun, dan Toba.
Orang Pakpak dapat dibagi menjadi 5 kelompok berdasarkan wilayah komunitas
marga dan dialek bahasanya, yakni (Berutu dan Nurani, 2007:3-4):
1. Pakpak Simsim, yakni orang Pakpak yang menetap dan
memiliki hak ulayat di daerah Simsim. Antara lain marga
Berutu, Sinamo, Padang, Solin, Banurea, Boang Manalu, Cibro, Sitakar, dan
lain-lain. Dalam administrasi pemerintahan Republik Indonesia, kini termasuk
dalam wilayah Kabupaten Pakpak Bharat.
2. Pakpak Kepas, yakni orang Pakpak yang menetap dan
berdialek Keppas. Antara lain marga Ujung, Bintang, Bako, Maha, dan lain-lain.
Dalam administrasi pemerintahan Republik Indonesia, kini termasuk dalam wilayah
Kecamatan Silima Pungga-pungga, Tanah Pinem, Parbuluan, dan Kecamatan
Sidikalang di Kabupaten Dairi.
3. Pakpak Pegagan, yakni orang Pakpak yang berasal dan
berdialek Pegagan. Antara lain marga Lingga, Mataniari, Maibang, Manik,
Siketang, dan lain-lain. Dalam administrasi pemerintahan Republik Indonesia,
kini termasuk dalam wilayah Kecamatan Sumbul, Pegagan Hilir, dan Kecamatan Tiga
Lingga di Kabupaten Dairi.
4. Pakpak Kelasen, yakni orang Pakpak yang berasal dan
berdialek Kelasen. Antara lain marga Tumangger, Siketang, Tinambunan, Anak
Ampun, Kesogihen, Maharaja, Meka, Berasa, dan lain-lain. Dalam administrasi
pemerintahan Republik Indonesia, kini termasuk dalam wilayah Kecamatan
Parlilitan dan Kecamatan Pakkat (di Kabupaten Humbang Hasundutan), serta
Kecamatan Barus (di Kabupaten Tapanuli Tengah).
5. Pakpak Boang, yakni orang Pakpak yang berasal dan berdialek Boang. Antara lain marga Sambo, Penarik, dan Saraan. Dalam administrasi pemerintahan Republik Indonesia, kini termasuk dalam wilayah Singkil (Nanggroe Aceh Darussalam).
Meskipun oleh para antropolog
orang-orang Pakpak dimasukkan sebagai salah satu subetnis Batak di samping
Toba, Mandailing, Simalungun, dan Karo. Namun, orang-orang Pakpak mempunyai
versi sendiri tentang asal-usul jatidirinya. Berkaitan dengan hal tersebut
sumber-sumber tutur menyebutkan antara lain (Sinuhaji dan
Hasanuddin,1999/2000:16):
1. Keberadaan orang-orang Simbelo, Simbacang, Siratak, dan
Purbaji yang dianggap telah mendiami daerah Pakpak sebelum kedatangan
orang-orang Pakpak.
2. Penduduk awal daerah Pakpak adalah orang-orang yang
bernama Simargaru, Simorgarorgar, Sirumumpur, Silimbiu, Similang-ilang, dan
Purbaji.
3. Dalam lapiken/laklak (buku
berbahan kulit kayu) disebutkan penduduk pertama daerah Pakpak adalah pendatang
dari India yang memakai rakit kayu besar yang terdampar di Barus.
4. Persebaran orang-orang Pakpak Boang dari daerah Aceh
Singkil ke daerah Simsim, Keppas, dan Pegagan.
5. Terdamparnya armada dari India Selatan di pesisir barat Sumatera, tepatnya di Barus, yang kemudian berasimilasi dengan penduduk setempat.
Berdasarkan sumber tutur serta sejumlah nama marga Pakpak yang mengandung unsur keindiaan (Lingga, Maha, dan Maharaja), boleh jadi di masa lalu memang pernah terjadi kontak antara penduduk pribumi Pakpak dengan para pendatang dari India. Jejak kontak itu tentunya tidak hanya dibuktikan lewat dua hal tersebut, dibutuhkan data lain yang lebih kuat untuk mendukung dugaan tadi. Oleh karena itu maka pengamatan terhadap produk-produk budaya baik yang tangible maupun intangible diperlukan untuk memaparkan fakta adanya kontak tersebut. Selain itu waktu, tempat terjadinya kontak, dan bentuk kontak yang bagaimanakah yang mengakibatkan wujud budaya dan tradisi masyarakat Pakpak sebagaimana adanya saat ini. Untuk itu diperlukan teori-teori yang relevan untuk menjelaskan sejumlah fenomena budaya yang ada.
Jejak Hindu-Buddha dalam
kepercayaan dan tradisi orang Pakpak
Sebelum kedatangan agama Islam dan
Kristen di tanah Pakpak, masyarakatnya meyakini bahwa alam raya ini diatur oleh
Tritunggal Daya Adikodrati yang terdiri dari Batara Guru, Tunggul Ni Kuta, dan Boraspati Ni Tanoh (Siahaan
dkk.,1977/1978:62). Nama-nama itu antara lain terwujud lewat mantra ketika
diadakan upacara menuntung tulan (pembakaran tulang-tulang
leluhur). Sebelum api disulut oleh salah seorang Kula-kula/Puang dia
mengucapkan kata-kata sebagai berikut (Berutu, 2007:32):
“O…pung…! Ko Batara Guru, Beraspati ni
tanah, Tunggul ni kuta, … .”
Nama Boraspati dan Batara
Guru jelas merupakan adopsi dari bahasa Sanskerta yang disesuaikan
dengan pelafalan setempat. Kata Boraspati merupakan adopsi
dari kata Wrhaspati yang berarti nama/sebutan purohita (utama/pertama)
bagi para dewa. Jadi kata ini merujuk pada penyebutan bagi dewa tertinggi atau
yang dianggap utama/penting yang dalam konteks ini (boraspati ni tanoh)
dapat diartikan sebagai dewa utama yang berkuasa di tanah/bumi.
Penyebutan Batara Guru dalam mantra sebelum api dinyalakan dalam upacara menuntung tulan jelas merupakan adopsi dari kepercayaan Hindu yang berkenaan dengan salah satu perwujudan dari Dewa Siwa yakni sebagai Agastya (Batara Guru). Menurut Krom (1920:92 dalam Poerbatjaraka,1992:110) wujud Siwa yang paling populer di Nusantara adalah wujud yang yang memakai nama Bhatara Guru (Guru Dewata). Sosok utama dengan nama ini juga banyak ditemukan di tempat-tempat lain di Nusantara. Hal ini disebabkan oleh anggapan bahwa tokoh ini adalah dewa asli Indonesia yang konsepnya kemudian tercampur seiring dengan masuknya agama Hindu melalui perwujudan Siwa sebagai Mahayogi. Pendapat Krom tersebut senada dengan yang dikemukakan oleh Kern (1917:21 dalam Poerbatjaraka 1992:110). Menurut Kern bukti nyata tentang popularitas agama Hindu Siwa adalah dengan tersebarnya nama Bhatara Guru sebagai dewa utama di Nusantara. Demikian halnya dengan Wilken (1912:244 dalam Poerbatjaraka 1992:110) yang menyatakan bahwa Soripada dan Batara Guru adalah dewa-dewa pribumi yang semula mempunyai nama pribumi asli yang kemudian berubah dengan menggunakan bahasa Sanskerta.
Kata adopsi lain yang juga tampil
dalam mantra orang-orang Pakpak adalah dalam mantra menolak mimpi buruk
(Siahaan dkk.,1977/1978:150):
Hung, pagari mo kita
Da hompungku
Hompung ni pangir …
Kata Hung dalam mantra penolak mimpi buruk pada tradisi Pakpak di atas adalah pelafalan lain dari kata Hum yang sering digunakan dalam mantra-mantra Hindu maupun Buddha. Dalam kitab suci Hindu yakni Weda, kata Hum adalah mantra bagi Agni, sang dewa api, sehingga mantra ini digunakan saat dilakukan upacara persembahan kepada api suci. Selain itu juga digunakan untuk memanggil atau membangkitkan api sehingga nyalanya lebih kuat. Hum juga merupakan representasi dari jiwa dalam diri mahluk, sekaligus wujud keberadaan Dewa di dunia. Melalui pelafalannya manusia berharap sifat-sifat kedewaan merasuk ke dirinya sekaligus memberikan kesadaran jiwa akan keberadaanNya. Di samping sebagai mantra yang ditujukan pada Agni sang dewa api, Hum juga merupakan mantra bagi Dewa Siwa serta Chandika (perwujudan lain dari Kali sang dewi maut). Pelafalannya bertujuan untuk menghancurkan hal-hal negatif sekaligus menciptakan kekuatan dan kemauan yang besar. Sedangkan dalam agama Buddha Hum merupakan salah satu kata dalam mantra bagi Boddhisatva Avalokitesvara yang teksnya sebagai berikut: Om Mani Padme Hum. Kata ini juga dipakai bagi dewa lainnya dalam Buddhisme yakni bagi Jambala Putih yang teksnya sebagai berikut: Om Padma Corda Arya Jambhala Setaya Hum Phet.
Mantra-mantra sebagai salah satu
wujud budaya yang intangible dalam kebudayaan Pakpak biasanya
dihadirkan saat upacara-upacara adat. Masyarakat Pakpak pada umumnya mengenal
dua bentuk kerja (horja dalam bahasa Batak Toba
atau upacara/ritus dalam bahasa Indonesia) yakni, kerja baik dan kerja
njahat. Kerja baik adalah segala jenis upacara yang
berkaitan dengan rasa sukacita atau gembira seperti, keberhasilan panen,
pernikahan, dan kelahiran anak. Sebaliknya Kerja Njahat adalah
segala jenis upacara yang berkaitan dengan rasa dukacita atau sedih seperti
kematian (Berutu,2007:8).
Hal-hal yang berhubungan dengan duka cita, kematian, mangokal tulan (membongkar tulang-belulang dari kuburan dan menempatkannya di kubur sekunder), dikategorikan sebagai kerja njahat. Upacara kematian dapat dibagi menjadi 4 yakni (Siahaan dkk.,1977/1978:92–94):
1. Mati Bayi
Anak yang baru lahir yang belum bergigi jika meninggal dikebumikan dekat rumah tanpa diketahui oleh orang lain, karena takut diambil orang lain, dijadikan guna-gunaan.
2. Mati Dewasa
Orang yang meninggal dalam usia muda (dewasa) dikuburkan dimana saja dan termasuk mate ntalpok (mati belum berketurunan)
3. Mati Ntua
Seorang yang meninggal dan telah berkeluarga dikebumikan di kuburan umum.
4. Mati nCayur Tua
Bagi orang yang meninggal tapi
sudah mempunyai cucu, biasanya diadakan kerja njahat, sewaktu
mayatnya masih di rumah. Pembiayaan umumnya ditanggung oleh keluarga/ahli waris
yang meninggal itu sendiri karena almarhum enggo mencari (hasil
pencarian/kerja mendiang selama hidupnya). Jadi biaya diambil dari harta yang
ditinggalkan oleh mendiang.
Salah satu bagian penting dalam
ritus mati cayur tua adalah Menuntung Tulan (upacara
pembakaran tulang jenazah). Upacara ini disebut juga Penahangken (meringankan),
sebab tujuan dilaksanakannya adalah untuk meringankan beban roh mendiang
(Berutu, 2007:30).
Upacara ini dilaksanakan bila keluarga mendiang mendapat mimpi (nipi) yang seolah menggambarkan mendiang di alam kuburnya merasakan beban yang berat, sesak, atau sempit. Upacara ini harus dilaksanakan, bila tidak maka jiwa/roh mendiang akan mengakibatkan sakit kepala pada keturunannya (Berutu,2007:30).
Peralatan yang dibutuhkan dalam
upacara ini antara lain kayu bakar, batang pohon pisang (sitabar) yang
dibentuk menyerupai manusia serta diberi pakaian (persilihi), kain putih
pembungkus tulang-tulang mendiang, sumpit/kembal wadah bagi
tulang yang telah dibungkus, dan sejumlah hewan kurban. Setelah segala
persiapan selesai, maka pihak kerabat (Kula-kula, Berru,
dan Sinina) berangkat ke pekuburan. Biasanya dilakukan pada waktu
pagi hari, agar roh/jiwa bangkit sebagaimana matahari terbit, juga agar sanak
kerabatnya nasibnya menjadi lebih baik di kemudian hari (Berutu,2007:31).
Setelah api padam, secara hati-hati
keluarga mengambil abu dan sisa-sisa tulang yang telah dibakar. Abu dan
sisa-sia tulang itu kemudian dibungkus dengan kain putih lalu dibawa ke
tempat pertulanen (lesung batu). Namun, ada kalanya abu dan
sisa-sisa tulang tersebut dibawa dan digantung di rumah sukut (Berutu,2007:32).
Upacara sejenis juga dilakukan oleh masyarakat Karo setidaknya hingga awal abad ke-20 yang lalu. Jenis upacara ini hingga kini masih dilakukan oleh masyarakat Bali, yang disebut sebagai ngaben. Beberapa unsur yang mirip dengan upacara pembakaran jenazah di Bali (Ngaben) dengan upacara pembakaran tulang-tulang jenazah di Pakpak (Menuntung Tulan) selain proses pembakarannya sendiri adalah pembuatan boneka manusia dari batang pisang yang disebut sebagai persilihi. Di Bali boneka/patung yang melambangkan sosok mendiang yang diaben disebut sebagai pratima.
Selain dalam upacara adat, pengaruh
Hindu-Buddha (India) juga hadir dalam sistem waktunya. Sebelum kedatangan
pengaruh Islam dan Kristen sistem kala yang dikenal oleh masyarakat Pakpak
adalah sebagai berikut. Berikut adalah nama-nama hari dalam 1 bulan (Siahaan
dkk.,1977/1978:68):
1. Antia 16. Suma Teppik
2. Suma 17. Anggara Kolom
3. Anggara 18. Budhaha Kolom
4. Budhaha/Muda 19. Beraspati
Kolom
5. Beraspati 20. Cukerra Genep Duapuluh
6. Cukerra 21. Belah Turun
7. Belah
Naik 22. Adintia Nangga
8. Sumasibah 23. Sumanti Mante
9. Anggara
Sipuluh 24. Anggara Bulan Mate
10. Budhaha
Mangadep 25. Budha Selpu
11. Antia
Naik 26. Beraspatigok
12. Beraspati Tangkep 27. Cukerra Duduk
13. Cukerra Purnama 28. Samisara Mate
Bulan
14. Belah Purnama 29. Dalan Bulan
15. Tula 30. Kurung
Bandingkan penyebutan nama 7 hari
pertama dalam 1 bulan pada tradisi Pakpak di atas dengan penyebutan nama hari
dalam siklus 7 hari (saptawara) pada prasasti-prasasti Jawa Kuna yang
sangat dipengaruhi oleh kebudayaan India (Hindu-Buddha) sebagaimana terlihat
pada tabel berikut:
No |
Indonesia |
Pakpak |
Jawa Kuna |
1 |
Ahad/Minggu |
Antia |
Aditya |
2 |
Senin |
Suma |
Soma |
3 |
Selasa |
Anggara |
Anggara |
4 |
Rabu |
Budhaha/Muda |
Buddha |
5 |
Kamis |
Beraspati |
Wrhaspati |
6 |
Jumat |
Cukerra |
Çukra |
7 |
Sabtu |
Belah Naik |
Çanaiçcara |
Sumber Pakpak: Siahaan
dkk.,1977/1978:68; Jawa Kuna: Zoetmulder,1985:245
Berbeda dibandingkan nama-nama hari
dalam tradisi Pakpak yang dipengaruhi kebudayaan Hindu-Buddha, penyebutan
nama-nama bulan mereka lebih bersifat pribumi:
Bln |
Pakpak |
Jawa (tani) |
Jawa Kuna |
Sanskerta |
Toba |
Karo |
1 |
Pekesada |
Kasa |
Cetra |
Caitra |
Sitora |
Citera |
2 |
Pekedua |
Karwa |
Weçakha |
Vaiçakha |
Sisaha |
Sisaka |
3 |
Peketellu |
Katlu |
Jyestha |
Jestha |
Sibista |
Sidista |
4 |
Pekeempat |
Kapat |
Asādha |
Asādha |
Sisanti |
Sitama |
5 |
Pekelima |
Kalima |
Srāwana |
Srāvana |
Sisorbaba |
Siresba |
6 |
Pekeenam |
Kanem |
Bhādra (pada/wada) |
Bhādra (pada) |
Sibadora |
Sibadera |
7 |
Pekepitu |
Kapitu |
Asuji/
Aswayuja |
Asvina/ Asvayuja |
Sisudija |
Sisudi |
8 |
Pekewaluh |
Kawwalu |
Kārttika |
Kārttika |
Siajimortiha/ mertika |
Sisakadi |
9 |
Pekesiwah |
Kasanga |
Margasirsa |
Mārgasirsa/ Agrahāyana |
Sianggara
Aji |
Simerga |
10 |
Pekesipuluh |
Kasapuluh |
Posya |
Pausa |
Sipusija |
Sipusija |
11 |
Pekesibellas |
Hapit (lemah) |
Magha |
Māgha |
sipalaguna |
Siguwa |
12 |
Pekeduabellas |
Hapit
(kayu) |
Phalguna |
Phālguna |
Siraja
urip |
Sikurung
lamadu |
Sumber Pakpak: Siahaan dkk.,1977/1978:68; Jawa Kuna: Zoetmulder,1985:245; Toba & Karo: Voorhoeve,1972:495
Sebagaimana tampak pada tabel di atas, nama-nama bulan dalam tradisi Pakpak jelas merupakan tradisi setempat yang didasarkan pada perhitungan kaum tani sebagaimana juga dikenal di Jawa hingga kini. Bedanya, di Jawa dahulu juga dikenal nama-nama bulan yang merupakan adopsi dari bahasa Sanskerta, sebagaimana puak-puak lain di sekitar Pakpak seperti Toba dan Karo pernah mengenalnya.
Data lain yang juga dapat dijadikan
fakta adanya pengaruh India (Hindu-Buddha) dalam kebudayaan Pakpak adalah pada
wujud budaya yang tangible, antara lain dalam wujud patung.
Di beberapa daerah di wilayah
Kabupaten Pakpak Bharat hingga kini masih dapat dijumpai rumah-rumah
tradisional Pakpak. Salah satu bentuk rumah tradisional mereka dikenal
sebagai rumah jojong. Rumah jojong berarti rumah
yang memiliki menara, dibentuk dari 2 kata, yakni rumah dan jojong yang
berarti menara. Jojong ditempatkan di tengah-tengah bubungan
atap yang melengkung (denggal). Hanya raja dan keluarganya yang
menempati rumah jenis ini (Siahaan dkk.,1977/1978:121). Salah satu hal menarik
dari rumah jojong adalah keberadaan bentuk kepala manusia di
bagian atas pintu masuk yang dalam istilah seni hias Toba disebut sebagai jenggar.
Jenggar yang terdapat di rumah jojong milik keluarga Raja Johan Berutu di Desa Ulu Merah, Kecamatan Sitelu Tali Urang Julu ini berbentuk kepala manusia bermahkota dengan hiasan menyerupai sulur-suluran di sisi kiri dan kanannya. Pengamatan lebih lanjut terhadap jenggar pada rumah tradisional Pakpak ini menunjukkan adanya kemiripan dengan bagian kepala arca perunggu Wisnu berbahan perunggu dari Tanjore, negara bagian Tamil Nadu, India; serta bagian kepala arca perunggu Siwa Nataraja juga dari Tanjore, negara bagian Tamil Nadu, India. Bagian dari jenggar yang mirip dengan arca Wisnu dari Tanjore adalah bentuk mahkotanya yang dalam ikonografi disebut sebagai kirita-mukuta; sedangkan bagian dari jenggar yang mirip dengan arca Siwa Nataraja adalah bentuk yang menyerupai sulur-suluran di sisi kiri dan kanan jenggar yang mirip dengan bagian rambut arca Siwa Nataraja yang digambarkan terurai di sisi kiri dan kanan kepalanya. Kedua arca pembanding dari Tanjore tersebut diperkirakan dibuat pada abad ke-11 M, masa kekuasaan Dinasti Chola di India selatan.
Arca-arca berlanggam Chola ternyata
ditemukan juga di daerah lain di Sumatera Utara, antara lain adalah arca batu
Buddha yang ditemukan di situs Kota Cina, Medan; arca batu Wisnu dan Lakshmi
juga dari situs Kota Cina, Medan; dan arca perunggu Lokanatha dari Gunung Tua,
Padang Lawas, Tapanuli Selatan. Berdasarkan contoh-contoh pembanding itu,
tentunya bentuk jenggar dari rumah jojong di
Pakpak Bharat itu mengambil prototipenya dari arca-arca berlanggam Chola di
atas.
Wujud tri matra lain yang juga merupakan hasil adopsi dari India adalah patung angsa yang banyak ditemukan di kompleks-kompleks mejan di sejumlah kecamatan di Kabupaten Pakpak Bharat. Salah satu di antaranya adalah patung angsa yang terdapat di kompleks mejan Bancin di Desa Penanggalan Binanga Boang, tepatnya 55 m arah barat dari Sungai Ordi yang secara astronomis berada pada 02° 31′ 29,5” LU dan 098° 19′ 55” BT. Patung keempat berbentuk angsa, dengan panjang: 30 cm, lebar: 25 cm, tinggi: 53 cm. Patung ini digambarkan dalam posisi berdiri pada suatu batur, kedua sayap terkatup rapat pada badannya. Bagian leher hingga kepala telah hilang. Patung ini berfungsi sebagai tutup satu batu pertulanen (wadah abu/sisa-sisa jenazah) berbentuk silinder yang berada tepat di bawahnya.
Angsa bukanlah binatang endemik di Kepulauan Nusantara, populasinya yang asli tersebar di daerah subtropis bagian utara dan selatan. Spesies angsa yang ditemukan di bumi bagian utara mempunyai bulu menyeluruh berwarna putih, kontras dengan spesies angsa di bumi bagian selatan yang memiliki bulu berwarna hitam dan putih. Binatang ini secara zoologi termasuk dalam filum Chordata, kelas Aves, ordo Anseriformes, dan familia Anatidae yang terdiri dari 6 spesies yakni: Cygnus olor, daerah sebarannya di Eurasia; Cygnus atratus (angsa hitam), daerah sebarannya di Australia; Cygnus melancoryphus, daerah sebarannya di Amerika Selatan; Cygnus cygnus, daerah sebarannya di sub-artik Eropa dan Asia; Cygnus buccinator, daerah sebarannya di Amerika Utara; dan Cygnus columbianus, yang daerah sebarannya di Eropa dan Amerika Utara. Dari keenam spesies angsa tersebut dua di antaranya yakni Cygnus olor dan Cygnus cygnus hidup di benua Asia, namun tidak ada di Asia Tenggara daratan maupun kepulauan. Hal ini berarti angsa diperkenalkan atau dibawa ke Kepulauan Nusantara seiring terjadinya kontak budaya antara penduduk pribumi Nusantara dengan para pendatang dari daratan Asia seperti Cina atau India.
Dikenalnya angsa oleh orang-orang Pakpak di masa lalu sebagaimana terwujud dalam bentuk patung adalah hasil kontak mereka dengan para pendatang dari India yang beragama Hindu atau Buddha. Dalam ikonografi Hindu angsa adalah wahana (tunggangan) dari salah satu Trimurti yakni Brahma, Sang Pencipta alam semesta sedangkan dalam ikonografi Buddha angsa adalah tunggangan Saraswati, Sang Dewi ilmu pengetahuan. Keberadaan patung angsa sebagai tutup bagi wadah abu dan sisa-sisa tulang jenazah (batu pertulanen) dapat dikaitkan dengan konsep dalam Hindu bahwa Brahma adalah Sang Pencipta. Angsa sebagai wahana Brahma dapat dianggap sebagai simbol pelepasan mendiang -yang sisa-sisa jasadnya tersimpan di batu pertulanen– menuju Sang Pencipta.
Kebudayaan Pakpak sebagai buah dari
perdagangan internasional
Masuknya unsur-unsur budaya
Hindu-Buddha (India) ke dalam budaya Pakpak dimungkinkan oleh adanya kontak
antarpendukung kedua budaya. Tempat yang paling memungkinkan terjadinya kontak
itu di masa lalu adalah Barus, yang bukti-bukti sejarah maupun arkeologisnya
menunjukkan tempat ini pernah berjaya sebagai bandar internasional.
Para pedagang dari India mendatangi Barus untuk membeli getah bernilai tinggi yang dihasilkan di daerah Pegunungan Bukit Barisan yang menjadi tempat tinggal orang-orang Pakpak. Bukti kehadiran mereka –terutama dari India selatan/daerah Tamil- adalah Prasasti Lobu Tua, yang ditemukan di Barus, Tapanuli Tengah. Prasasti berangka tahun 1010 Saka (1088 M) ini dikeluarkan oleh suatu serikat dagang yang bernama Ayyāvole 500 (Perkumpulan 500) (Sastri,1932:326 dan Subbarayalu,2002:24).
Dalam beberapa teks berbahasa Armenia yang berasal dari abad ke-13 hingga ke-18 Masehi terdapat suatu tempat yang disebut Pant’chour/Part’chour sebagai tempat asal kamper bermutu terbaik (Kévonian,2002:51). Menurut teks-teks Armenia tempat lain yang juga banyak mengeluarkan kamper bermutu adalah P’anes/ Ēp’anes/ Ēp’anis/Ep’anēs, yang terletak di pantai timur di bawah Perlak/Peureulak. Menurut teks-teks Armenia tersebut hanya ada 2 tempat di Pulau Sumatera yang mengeluarkan mata dagangan kamper yakni Pant’chour dan P’anēs (Kévonian,2002:70–72). Prasasti Rajendra I di Tanjavur menyebutkan tentang “Pannai di tepi sungai” sebagai salah satu tempat yang diserbu tentara Cola pada tahun 1025 M. Berdasarkan sumber-sumber tertulis itu titik-titik kontak antara pribumi Pakpak dengan budaya India adalah Barus yang berada di pesisir barat Sumatera dan Pane di selatannya yang bermuara di pesisir timur Pulau Sumatera.
Walaupun daerah Pakpak berada di gugusan Pegunungan Bukit Barisan, namun lembah-lembah beserta aliran sungainya memegang peranan penting bagi terciptanya komunikasi antara daerah pesisir dengan daerah pedalaman. Di samping itu, gugusan pegunungan, lembah-lembah, dan sungai-sungai yang ada juga ikut menciptakan jaringan perdagangan antara daerah pesisir dan pedalaman. Dunia niaga antara kawasan Singkel dan Barus dengan Pakpak landen (tanah Pakpak) dan Sibolga serta Natal dengan Angkola dan Mandailing banyak ditentukan oleh jalur niaga yang melalui gugusan pegunungan, lembah-lembah, dan sungai-sungai di daerah tersebut (Asnan, 2007:40–41).
Sampai awal abad ke-19 penduduk
dari subetnis Pakpak, Angkola, dan Mandailing dikenal sebagai pengumpul hasil
hutan (terutama kamper dan kemenyan) yang mereka jual ke daerah pantai barat
Sumatera. Selain pantai timur Sumatera daerah pesisir barat Sumatera merupakan
daerah pasar utama dari berbagai komoditas yang dikumpulkan dan dihasilkan oleh
masyarakat Pakpak, Angkola, dan Mandailing (Asnan,2007:42).
Kontak yang terjadi antara orang-orang Pakpak dengan para pendatang dari India di masa lalu mengakibatkan terjadinya akulturasi. Akulturasi adalah salah satu proses perubahan budaya, yang ditandai oleh terjadinya interaksi intensif antara kelompok-kelompok individu dengan kebudayaan berbeda, yang mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan besar pada pola kebudayaan dari salah satu atau kelompok-kelompok yang terlibat. Oleh para pakar antropologi akulturasi dapat berupa (Haviland,1988:263):
1. Substitusi, terjadi ketika satu atau sejumlah unsur
kebudayaan yang telah ada sebelumnya diganti oleh unsur kebudayaan baru yang
lebih fungsional, sehingga mengakibatkan hanya sedikit perubahan struktural
dari kebudayaan bersangkutan.
2. Sinkritisme, terjadi ketika sejumlah unsur budaya lama
bercampur dengan unsur buaya baru sehingga terbentuk suatu sistem baru yang
mengakibatkan perubahan kebudayaan yang cukup berarti.
3. Adisi, terjadi ketika satu atau sejumlah unsur kebudayaan
ditambahkan pada kebudayaan yang lama, yang dapat mengakibatkan perubahan
struktural atau bahkan tidak terjadi perubahan pada budaya lama.
4. Dekulturasi, terjadi ketika bagian substansial dari suatu
kebudayaan menjadi hilang.
5. Orijinasi, terjadi ketika sejumlah unsur baru tumbuh dari
suatu kebudayaan disebabkan oleh perubahan situasi.
6. Penolakan, terjadi ketika suatu perubahan berlangsung
terlalu cepat sehingga sejumlah besar anggota dari suatu budaya tidak mau
menerimanya, yang dapat menyebabkan pemberontakan, penolakan sama sekali, atau
gerakan kebangkitan.
Sebagai akibat dari salah satu atau sejumlah proses tersebut, akulturasi dapat tumbuh melalui beberapa jalur. Percampuran atau asimilasi terjadi bila dua kebudayaan kehilangan identitas masing-masing dan menjadi satu kebudayaan. Inkorporasi terjadi bila suatu kebudayaan kehilangan otonominya, namun tetap mempunyai identitas subkultur, seperti kasta, kelas, atau kelompok etnis (Haviland,1988:263).
Dalam hal kebudayaan Pakpak, tampaknya akulturasi yang berupa adisi merupakan proses budaya yang terjadi di masa lalu. Sebelum kedatangan orang-orang India dengan kebudayaannya yang khas, orang-orang Pakpak telah mewarisi kebudayaan tersendiri yang berbeda dari para pendatang dari barat tersebut. Datangnya budaya baru pada masyarakat Pakpak memperkaya khasanah budaya yang telah lama mereka miliki. Pada ranah sistem kepercayaan misalnya sebelum kedatangan kepercayaan Hindu-Buddha masyarakat telah memiliki kepercayaan terhadap roh-roh leluhur. Masuknya agama Hindu-Buddha dengan pantheon-pantheon dan sistem ikonografinya telah menambah ragam bentuk hasil budaya trimatra Pakpak yang telah ada sebelumnya.
Bentuk-bentuk seperti patung angsa
yang berfungsi sebagai tutup batu pertulanen sebenarnya tidak
lain adalah hasil interpretasi Pakpak terhadap ikonografi Hindu yang dikawinkan
dengan bentuk mejan yang telah ada sebelumnya, sebagai suatu
simbol kendaraan/wahana arwah. Bentuk mejan awal/asli pribumi
Pakpak itu mungkin sebagaimana yang hingga kini masih dapat dilihat di daerah
Toba seperti bentuk kepala burung enggang/rangkong, kuda, dan perahu yang
dianggap sebagai simbol asli bagi kendaraan arwah.
Sedangkan pengadopsian nama-nama dewa dalam kepercayaan Hindu seperti Batara Guru (Siwa Mahaguru) maupun Boraspati (Wrhaspati) tidak lebih dari penamaan bagi roh-roh leluhur yang telah dinaikkan derajatnya menjadi dewa seiring merasuknya pengaruh Hindu dalam kehidupan orang-orang Pakpak dulu. Hal serupa sebenarnya juga terjadi di Jawa pada masa pulau ini masih dipengaruhi sistem kepercayaan Hindu-Buddha.
Pada masa-masa akhir kejayaan Hindu-Buddha di Pulau Jawa, terdapat bukti bahwa kepercayaan lama yakni pemujaan terhadap nenek moyang makin menguat. Pembuatan candi-candi dan arca-arcanya tidak lain sebenarnya adalah bentuk penghormatan kepada arwah raja yang telah menyatu dengan dewa yang menjadi pujaannya semasa hidup. Jadi tidak lain dan tidak bukan hal itu adalah bentuk penghormatan kepada arwah leluhur yang belum sepenuhnya hilang dalam kepercayaan Jawa, seperti halnya juga pada orang-orang Pakpak dahulu.
Asnan, Gusti, 2007. Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera. Yogyakarta: Ombak.
Atmodjo, M.M., Sukarto, 1985. Short Notes on The Old Malay Inscriptions in Central Java dalam Final Report SEAMEO Project in Archaeology and Fine Arts: Consultative Workshop on Archaeological and Environtmental Studies on Srivijaya. Hal: 81–95.
Berutu, Lister dan Nurbani Padang, 2007. Tradisi dan Perubahan. Medan: Grasindo Monoratama.
Berutu, Tandak, 2007. Upacara Adat pada Masyarakat Pakpak Dairi dalam Berutu, Lister dan Nurbani Padang (ed.) Tradisi dan Perubahan. Medan: Grasindo Monoratama, hal: 7–35.
Couperus, P. Th., 1855. De Residentie Tapanoeli (Sumatra’s Westkust) in 1852 dalam TBG (V).
Haviland, William A., 1988. Antropologi. Jakarta: Erlangga.
Hoed, Benny H., 2004. Bahasa dan sastra Dalam Tinjauan Semiotik dan Hermeneutik dalam Christomy & Untung (ed.) Semiotika Budaya. Jakarta: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Direktorak Riset dan Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia.
Kévonian, Kéram, 2002. Suatu Catatan Perjalanan di Laut Cina Dalam Bahasa Armenia dalam Lobu Tua Sejarah Awal Barus (Claude Guillot, ed.). Jakarta: École française d’Extrême-Orient, Association Archipel, Pusat Penelitian Arkeologi, dan Yayasan Obor Indonesia.
Poerbatjaraka, 1992. Agastya di Nusantara. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Ricoeur, Paul, 1982. Hermeneutics and The Human Sciences. Cambridge: Cambridge University Press.
Sastri, K.A. Nilakanta, 1932. A Tamil Merchant-guild in Sumatra dalam Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde. Batavia: Kononklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen.
Siahaan, E. K., dkk., 1977/1978. Survei Monograpi Kebudayaan Pakpak Dairi di Kabupaten Dairi. Medan: Proyek Rehabilitasi dan Perluasan Museum Sumatera Utara Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Sinuhaji, Tolen dan Hasanuddin, 1999/2000. Batu Pertulanen di Kabupaten Pakpak Dairi. Medan: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Museum Negeri Provinsi Sumatera Utara.
Subbarayalu, Y., 2002. Prasasti Perkumpulan Pedagang Tamil di Barus Suatu Peninjauan Kembali dalam Lobu Tua Sejarah Awal Barus,
Claude Guillot (ed.). Jakarta: École française d’Extrême-Orient, Association Archipel, Pusat Penelitian Arkeologi, dan Yayasan Obor Indonesia.
Voorhoeve, P., 1972. Sanskrit Maandnamen in het Bataks dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 128, no. 4. Leiden: KITLV, Hal: 494–496.
Zoetmulder, P.J., 1985. Kalangwan Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta: Djambatan.
Sumber: http://sevilla99.wordpress.com/2008/11/21/review-buku-silsilah-marga-manik-pakpak-dairi/
http://balarmedan.wordpress.com/2008/06/18/jejak-keindiaan-hindu-buddha-dalam-kebudayaan-pakpak/
No comments
berkomentar sesuai dengan jatidirimu