Header Ads

Suku-suku yang ada di Provinsi Riau


Mewujudkan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera lahir dan batin sebagaimana amanat UUD 194. Kekhawatiran akibat dari ketertinggalan dan terisolasi, sehingga manjadikan Komunitas Adat Terpencil (KAT) terhambat perkembangannya dalam segala aspek kehidupan sebagai dampak semakin tertinggal dari masyarakat lainnya yang telah mendapatkan pelayanan sosial dasar. 
Disisi lain keberhasilan pelaksanaan program pembangunan pada suatu masyarakat tradisional sangat berkaitan erat dengan tingkat partisipasi warga masyarakat bersangkutan, termasuk pada Komunitas Adat Terpencil (KAT). Rendahnya peran aktif warga masyarakat mencerminkan bahwa warga masyarakat yang bersangkutan tidak merasakan manfaat atau tidak sesuai dengan kebutuhan program pembangunan yang diterapkan pada KAT.  Dengan menyadari pentingnya peran serta masyarakat tradisional untuk terlibat dalam berbagai program pembangunan maka pemahaman terhadap dimensi kehidupan sosial budaya dan lingkungan Komunitas Adat Terpencil menjadi penting melalui pengenalan terhadap sosial budaya Suku-Suku Asli (KAT) di Provinsi Riau.
Secara geografis dan demografis KAT di Provinsi Riau dikelompokkan dalam 5 Suku, yaitu Suku Sakai, Suku Akit, Suku Talang Mamak, Suku Bonai dan Suku Laut (Duano) yang tersebar di beberapa Kabupaten, pada umumnya masih tertinggal secara sosial dan ekonomi dan belum mendapat pelayanan sosial dasar, dikarenakan geografis yang pada umumnya masih ada yang sulit dijangkau oleh alat transportasi baik laut dan darat (tergantung pada kondisi alam). Dalam tulisan ini akan disampaikan secara ringkas informasi mengenai kelompok Suku-Suku Asli yang ada di Provinsi Riau, khususnya mengenai sejarah singkat, hubungan kekerabatan dan unsur-unsur yang mempengaruhi terhadap pola hubungan antar suku serta pengaruh akibat perkembangan masyarakat. 

A. Suku Sakai  

1. Riwayat Singkat
Asal kata “Sakai” sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Ada yang mengatakan kata Sakai tersebut berasal dari nama pohon yang banyak tumbuh di Kecamatan Mandau, yaitu pohon “Sikai”. Informasi lainnya mengatakan kata Sakai itu adalah dari Sungai, yaitu sungai Sikai. Menurut keterangan para tetua Sakai, nama Sakai baru ada sejak zaman penjajahan Jepang. Sebelum itu Suku Sakai dikenal dengan nama ”Uang Daek” (orang darat) atau suku ”Pebatin”. Istilah Sakai pada mulanya dipakai oleh tentara Jepang untuk membedakan masyarakat biasa dengan para tentara pejuang. Jepang menyebut rakyat biasa yang bukan pejuang dengan sebutan orang ”sakai”. Akhirnya nama tersebut melekat pada diri mereka sampai sekarang dan sebutan ”Uang Daek” atau ”Suku Pebatin” lama kelamaan menjadi hilang dan sampai sekarang dikenal dengan Suku Sakai. 
Suku Sakai memiliki kebudayaan asli sendiri yang berbeda dengan Suku bangsa Melayu lainnya di Riau. Orang Sakai yang kita temui di Riau adalah Sakai dengan kebudayaan yang telah mengalami akulturasi dengan kebudayaan lainnya. Menurut catatan naskah bahwa sebelum dibentuknya budaya sekarang dalam satu Dasawarsa terakhir, mereka selalu hidup menyendiri didalam hutan belantara ”Batin Selapan” yang sukar dicapai oleh orang luar dan hanya dikunjungi oleh segelintir orang Melayu.
Sebagai ras veddoid asli, maka wilayah Hukum Adat Perbatinan Sakai telah lama diakui jauh sebelum kemaharajaan Kesultanan Siak Sri Indrapura. Oleh karena itu, dalam budaya Sakai mereka mengenal “Hak Ulayat” (Beschikkingsrech) yang kekuasaannya berada ditangan persekutuan hukum komunitas Sakai. Namun karena sejak dahulu keberadaan Sakai ini telah terdesak oleh kebudayaan Melayu Siak, Rokan dan Tapung hingga sekarang oleh berbagai kepentingan pembangunan (pertambangan, kehutanan dan perkebunan), maka lambat laun eksistensi Hak Ulayat Suku Sakai semakin memudar. 
Sejarah telah membuktikan bahwa dalam “Sakai Gebeit” jelas terlihat pembagian wilayah perbatinan Suku Sakai Batin Selapan dan Batin Lima, kemudian diperkuat lagi dengan “Besluit” Kerajaan Siak Sri Indrapura yang mengakui keberadaan hukum adat Sakai di Kecamatan Mandau sekarang. Dengan demikian sudah barang tentu “Hak Ulayat” Sakai harus diakui keberadaannya. Menurut pasal 3 UUPA 1960 dijelaskan bahwa : “Hak Ulayat dan hak-hak serupa dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataan masih ada, masih terus dapat dilaksanakan, tetapi harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.

2. Unsur-unsur Kebudayaan

a. Pranata Kekerabatan dan Organisasi Sosial
Garis keturunan Suku Sakai yang asli adalah “Matrilineal” artinya mengikuti keturunan kaum perempuan, seperti yang berlaku dalam budaya Minangkabau. Dalam budaya Sakai hak wanita sangatlah besar. Semua harta benda, baik yang bergerak maupun tidak bergerak adalah milik perempuan. Kedudukan Kepala Suku diwariskan melalui perempuan. Anak-anak mengikuti ibunya bukan ayahnya. 
Harta warisan secara umum ditetapkan bahwa pada kematian istri, warisan dibagi tiga : sepertiga untuk suami, sepertiga untuk keluarga istri dan sepertiga dibawa kedalam kubur. Pada kematian suami, semua harta yang diperoleh selama perkawinan akan dibagi antara istri dan keluarga suami. Kasus poligami dan poliandri tidak terdapat dalam Suku Sakai ini. Secara umum kesetiaan perkawinan dalam budaya Suku Sakai bernilai tinggi.

Akibat pengaruh budaya Melayu dengan warna Islami yang telah berlangsung lama, maka sistem kekerabatan asli Suku Sakai banyak mengalami perubahan. Dalam arti kata Suku Sakai sekarang merupakan sistem kekerabatan Bilineal (menggunakan kedua-duanya sistem kekerabatan matrilineal dan patrilineal). Misalnya, perkawinan seketurunan ibu dilarang, begitu juga dengan seketurunan ayah. Peran Kepala Suku dan Paman dalam perkawinan telah digantikan oleh Ayah kandung. Pembagian harta warisan mengacu pada Hukum Islam yaitu dua bagian untuk laki-laki dan satu bagian untuk perempuan.

b. Pranata Politik dan Kepemimpinan.

Sistem kepemimpinan tradisional suku Sakai adalah ”Sistem Perbatinan” sejenis kepala suku atau penghulu dalam budaya Melayu. Perbatinan sakai terdiri ”Batin Selapan” dan ”Batin Limo” yang menempati beberapa wilayah di Kecamatan Mandau Kabupaten Bengkalis. Berdasarkan informasi yang diperoleh bahwa asal usul perbatinan tersebut merupakan 13 keluarga, 1 yang membuat banjar panjang di kawasan hutan Mandau sebagai tempat tinggalnya. Bantin selapan terdiri atas: Batin Bombam Petani, Batin Sebangar Sungai Jeneh, Batin Betuah, Batin Bumbung, Batin Sembunai, Batin Jalelo, Batin Beringin dan Batin Bomban Seri Pauh. Batin Limo terdiri atas Batin Tengganau, Batin Beromban Minas, Batin Belitu, Batin Singameraja dan Batin Meraso. Masing-masing kelompok kerabat mempunyai induk, yaitu Batin Selapan induknya adalah Batin Jalelo, Batin Delimo induknya adalah Batin Tengganau. 

c. Pranata Ekonomi,  Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Mata pencaharian pokok Suku Sakai pada dasarnya petani dan pengumpul hasil hutan yang sangat tergantung pada kebaikan alam. Mayoritas Suku Sakai tidak memiliki mata pencaharian yang tetap, Suku Sakai pada umumnya bekerja ”serabutan” dan ”musiman” yang istilah mereka sehari-hari disebut bekerja mocok-mocok artinya jika sedang ada pekerjaan yang dapat menghasilkan uang, mereka akan bekerja. Sebaliknya jika tidak ada pekerjaan mereka akan menganggur.

Mata pencaharian lain Suku Sakai adalah berkebun yang dilakukan secara sub sistem, khususnya menanam ubi lambau dan ubi menggalau dan menangkap ikan yang kebanyakan untuk konsumsi sendiri.

B. Suku Akit 

1. Riwayat singkat 
Mengenai sejarah perkembangan Suku Akit bermula dari suku laut, jika dilihat dari asal muasal dari Suku Melayu Riau saat ini sama halnya dengan suku bangsa lainnya yang ada di Indonesia, yaitu berbagai percampuran genetika ras yang berasal dari pusat-pusat penyebaran di segala penjuru dunia.
Menurut perkembangan sejarah suku asli Akit yang ada di Pulau Rupat Kabupaten Bengkalis khususnya di Desa Titi Akar dahulunya termasuk dari Siak Sri Indrapura yang termasuk kerajaan Melayu Riau. Kerajaan ini didirikan sekitar abad 17 oleh Raja Kecik yang digelari Sultan Siak yang berada di pinggir Sungai Siak. Kelompok ini mengungsi ke daerah lain atas permintaan suku tersebut pindah ke tempat yang lebih aman menuju ke Pulau Padang yang dibatasi oleh selat. Suku tersebut kembali melanjutkan perjalanan ke lautan yang luas yang ada dibagian utara kemudian kembali ke bagian barat disanalah suku tersebut berlabuh dan diterima oleh Datuk Empang Kelapahan. Mereka dapat mendiami pulau atas izin dengan syarat SEKERAT MATA BERAS-SEKERAT TAMPING SAGU – SEBATANG DAYUNG EMAS, jika mereka dapat memenuhi syarat tersebut mereka boleh tinggal dipulau itu. Kelompok suku merasa keberatan, kemudian mengadakan perundingan dan mendapatkan kesepakatan untuk pindah ke Pulau Tujuh.

2. Unsur-unsur Kebudayaan 

a. Religi/Kepercayaan 
Agama, religi atau kepercayaan suatu hal yang bersifat Universal yang selalu ada dalam setiap masyarakat dimanapun. Berbagai bentuk agama, religi atau kebudayaan dapat kita jumpai pada seluruh masyarakat yang kadang memiliki perbedaan dan cara-cara tersendiri dalam bentuk pelaksanaan ritualnya.
Terkait dengan hal tersebut diatas, agama yang ada di Desa Titi Akar Kecamatan Rupat Utara antara lain adalah: Islam, Kristen dan Budha serta masih adanya Animisme (kepercayaan leluhur). Agama / Religi bagi mereka merupakan warisan dari leluhur yang harus dipertahankan. Masyarakat Suku Akit sudah lama menganut agama Budha sesuai dengan sejarah dan legenda yang berkembang dalam masyarakat. Meskipun demikian saat ini pelaksanaan ritual agama dalam kehidupan mereka sehari-hari dipengaruhi oleh kebudayaan etnis Cina. Sementara itu acara-acara ritual seperti mantera-mantera dan pemujaan-pemujaan terhadap para leluhur juga masih terdapat disana. Salah satu contohnya adalah upacara dalam pemujaan pohon yang dikeramat (ketau), yaitu penyembahan berupa pemberian sesajen.   

b. Mata Pencaharian 

Sektor pertanian, perladangan, peternakan dan juga industri rumah tangga seperti pembuatan tikar dari daun rumbia, disamping itu juga pada umumnya masyarakat Suku Akit bergerak di sektor laut sebagai nelayan, baik menggunakan kapal motor maupun sampan. 

Kemudian disektor perladangan, pada umumnya telah dikelola dengan penanaman padi, rata-rata kepemilikan ladang, berkisar  1 - 4 jalur padi yang sudah dipanen pada umumnya untuk dikonsumsi sendiri, bahwa hasil panen tersebut tidak cukup sampai pada musim panen berikutnya, sehingga petani harus membeli beras hingga musim panen tiba. 

c. Pranata Hubungan Sosial

Ciri masyarakat Suku Akit yang mudah beradaptasi dengan masyarakat sekitarnya, sebenarnya modal utama dalam mengembangkan kehidupannya. Sifat dan sistem kekerabatan yang longgar telah membawa dampak yang cukup baik bagi proses adaptasi yang berhubungan dengan sistem perekonomian. 

Secara spesifik pranata yang mengatur hubungan sosial di Desa Titi Akar belum ada, namun komunitas Suku Akit tersebut dalam segala aktivitas mempunyai nilai gotong royong dan kerjasama yang sangat tinggi, walaupun berbeda etnis dan berbeda kepercayaan. Seperti dalam pekerjaan sehari-hari, mereka saling bantu membantu misalnya dalam mengelola hasil alam seperti buah kelapa dan durian. 
Kepemilikan lahan tidak mengenal tanah ulayat, melainkan tanah milik pribadi walaupun belum bisa dibuktikan hak kepemilikannya. Bagi warga untuk memiliki lahan bisa dengan cara membuka hutan, pemberian / warisan atau dengan cara dibeli. Bagi siapa yang dapat membuka lahan secara luas, mereka itulah dianggap memiliki kekuasaan besar atas tanah tersebut. 

C. Suku Talang Mamak 

1. Riwayat Singkat 
Menelusuri asal usul Suku Talang Mamak merupakan suatu pekerjaan yang tidak mudah, sebab dari banyak tulisan yang tidak membedakan antar mitos dan sejarah. Namun demikian dalam tulisan ini akan dicoba diketengahkan tulisan yang berbau mitos disamping dikutip tulisan yang menggambarkan sejarah. Orang Desa Talang Mamak menyatakan diri sebagai keturunan dari “Datuk Patih Nan Sebatang” yang datang dari daerah Minang Kabau melalui batang (sungai) Kuantan dengan mitos “Rakit Kulim”.
Selanjutnya Datuak Papatih Nan Sebatang yang dipanggil Mamak mendirikan pemukiman baru (Talang) di Indragiri, maka untuk selanjutnya anak kemenakan Datuak Papatih Nan Sebatang menyebut pemukiman baru (Talang) sebagai “Talang Mamak” atau tempat tinggal mamak.  Menurut  keturunan Patih Ke 28 dari Patih Bunga yang merupakan anak Datuak Papatih Nan Sebatang bahwa leluhur orang Talang Mamak adalah Talang Parit, disinilah Patih Nan Sebatang tinggal dan disinilah ia mempunyai 3 orang anak, yaitu Tuah Besi, Tuah Kelopak dan Tuah Bunga ketiga ini selanjutnya membuka kampung (talang) sekaligus menjadi Patih dimasing-masing Talang. Tuah Besi menjadi Patih di Talang Parit melanjutkan kekuasaan ayahnya, Tuah Kelopak mendirikan Talang Perigi, Tuah Bunga mendirikan Talang Durian Cacar. Namun pewarisan selanjutnya setelah generasi ke-3 (cucu patih nan sebatang) pola kepemimpinannya tidak diwariskan lagi kepada anak melainkan diwariskan kepada keponakan, maka gelar tertinggi pemimpin tidak lagi patih melainkan berubah menjadi Batin.
Selanjutnya terjadi pengembangan wilayah, Kampung Talang Parit dimekarkan menjadi 2 yaitu talang parit dan talang sungai limau, Talang durian cacar dibagi 3 yaitu, Talang selantai, Talang Tujuh Anak Tangga, dan Talang Durian Cacar. Dengan demikian satu talang telah berkembang menjadi 6 talang. Menurut versi orang talang yang berada didesa siambul bahwa leluhur orang talang adalah dari talang sungai limau karena leluhur orang talang 1 mendirikan perkampungan disungai limau, kemudian terjadi penyebaran kearah selatan (siambul) yang masuk Kecamatan Siberida dan kearah timur dengan nama Talang Gerinjing. Didaerah siambul terjadi pertemuan antar orang-orang Talang Mamak dengan orang pendatang dari siam (Thailand), kemudian mereka hidup bersama. Untuk mengenal orang-orang siam, maka pemukiman mereka dinamakan siambul / Talang Siambul. 

Aspek-aspek Kehidupan Suku Talang Mamak

1. Agama dan Kepercayaan 
Pada dasarnya masyarakat Talang Mamak mempunyai pondasi kehidupan beragama sebagai masysrakat muslim, namun dalam keadaan sehari-hari mereka lebih banyak berpedoman kepada ajaran leluhur mereka disebut adat dan kebiasaan-kebiasaan tersebut bukan merupakan ajaran agam Islam, maka pada akhi-akhir ini ada sebagian dari warga itu mulai menyadari bahwa adat kebiasaan tersebut tidak sesuai denagn ajaran agama Islam yang sesungguhnya dan mereka menyadari ini, menyatakan diri sebagai orang yang masuk Islam. Bagi mereka yang telah masuk Islam, mereka menyamakan diri sama dengan masyarakat melayu atau sama dengan mengikuti orang melayu, namun sebagian besar warga talang mamak adalah mengikuti langkah lama.

Orang langkah baru adalah orang yang sering melakukan interaksi dengan orang luar dan umumnya memiliki anak yang berpendidikan relatif lebih tinggi. Kematian bagi orang talang mamak merupakan sesuatu yang sakral.

2. Mata Pencaharian 

Sebagian besar mata pencaharian pokok masyarakat adalah berkebun karet, disamping itu juga berladang padi, dengan masa panen selama 6 (enam) bulan, sistem teknologinya masih sederhana dalam pengolahan dan pemeliharaannya. Hasil panen padi warga tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup hingga menjelang musim panen berikutnya, karena banyaknya hama pengganggu seperti babi hutan, burung, monyet serta kurangnya pemeliharaan. Tanaman lainnya yang menjadi tambahan penghasilan masyarakat desa Talang Perigi adalah tanaman pekarangan seperti kelapa, rambutan, sayuran, buah – buahan lainnya. Aktivitas lainnya yang menjadi alternatif untuk menambah penghasilan masyarakat Desa Talang Perigi adalah berburu, meramu hasil hutan untuk obat- obatan, menangkap ikan sungai.

3. Luas Pemilikan Lahan 

Tanah bagi masyarakat Talang Perigi merupakan kekayaan yang dimiliki baik secara turun temurun maupun atas usaha sendiri membuka lahan. Walaupun sudah mengenal tempat tinggal dan berkebun tetap, namun dalam berladang masih berpindah-pindah dengan sirkulasi 5 tahunan. Masyarakat talang perigi umumnya memiliki kebun yang ditanam berbagai jenis pohon seperti pohon karet, kelapa, buah-buahan dan lainnya sebagainya. Hanya sekitar 5% saja yang tidak memiliki lahan. Kepemilikan lahan bila rata-rata perkepala keluarga seluas 7 ha dengan interval berkisar antara 2-10 ha.

4. Lembaga Kepemimpinan

Sistem kepemimpinan dalam masyarakat desa Talang Mamak didesak Talang perigi menempatkan batin sebagai pucuk pimpinan Adat, hal ini diungkapkan melalui pepatah yang hidup ditengah-tengah masyarakatnya yang berbunyi :
“Sebuah Nagari seorang Hatinya“
“Sebuah Banjar seorang Tuanya“
“Sebuah Rumah seorang Tungganainya“

5. Sistem Pengobatan         

Pengobatan biasanya dipercaya kepada dukun atau kemantan. Didesa Talang Perigi terdapat 2 orang kemantan, 3 orang dukun dan 4 orang dukun beranak. Sistem yang dilakukan dukun dan kemantan berbeda. Kemantan dalam melakukan pengobatan melakukan upacara bulian sedangkan dukun dalam melakukan pengobatan disebut dengan upacara berdukun. Upacara pengobatan Bulian dibantu “pinai” dan “kebayau” (beberapa orang wanita) yang mengiringi perilaku kemantan. Dukun sunat sudah dikenal dalam masyarakat desa Talang Perigi, mereka menyebutnya orang pandai untuk penyunatan anak laki-laki dan bidan untuk penyunatan terhadap wanita.

D. Suku Bonai 

1. Sejarah Singkat 
Asal kata Bonai sampai saat ini belum diketahui secara pasti, namun dalam masyarakat Suku Bonai berkembang 2 versi tentang asal usul mereka. Pertama menerangkan bahwa nenek moyang mereka adalah berasal dari Borneo (Kalimantan) yang datang menyusuri muara Sungai Rokan ke arah hulu, dan sampailah mereka ketempat pemukiman sekarang. Menurut sejarah nenek moyang suku Bonai dipimpin oleh 2 orang bersaudara, yaitu Sultan Janggut yang menjadi cikal bakal orang Sakai dibagian hilir Sungai Rokan dan Sultan Harimau yang menjadi cikal bakal orang Bonai. Menurut cerita singkat setelah mereka bertemu diantara Rokan Kiri dan Rokan Kanan (kuala sako). Kedua beradik tersebut berpisah mencari pemukiman masing –masing. Sultan Janggut menyusuri sungai Rokan Kanan dan Sultan Harimau menyusuri sungai Rokan Kiri kearah hulu sungai diyakini oleh mereka bahwa Sultan Harimau berasal dari Borneo, sehingga kata Bonai dianggap berasal dari kata tersebut. 
Cerita versi ini sulit diterima kebenarannya, karena secara Geohistoris tidak ditemukan bukti-bukti tentang adanya migrasi orang  “Borneo atau selebes” kewilayah pedalaman Sumatera bahkan bahkan menurut Alimandan (P3-S, 1989), bahwa nama Sultan Harimau yang dipercayai sebagai nenek moyang orang Bonai berasal dari Borneo (Kalimantan) yang dengan jelas tidak ada harimaunya. Versi kedua, menerangkan asal usul nenek moyang orang Bonai adalah berasal dari kerajaan Pagaruyung. Terlepas dari mitos misi “Rakit Kulim” Datuk Papatih Nan Sebatang yang juga berkembang dalam masyarakat Bonai, seperti yang terjadi dalam orang Talang Mamak. Cerita ini cukup masuk akal dan mudah diterima jika dikaitkan dengan kebudayaan dan sistem kekerabatannya yang ada pada suku Bonai. Bukti konkritnya adalah orang Bonai mengenal sistem kekerabatan seperti orang minang kabau. Mereka mengenal Ninik Mamak dan hubungan dengan pihak keluarga ibu sangat dekat (matrilineal) selain itu mereka juga mengenal suku-suku sebagai cerminan keluarga dan garis keturunanya. 
Dari kedua versi diatas tentu sangat sulit menyebutkan secara pasti dari asal usul mereka. Tidak ada bukti sejarah yang kuat menyebutkan mereka berasal dari salah satu versi tersebut. Namun bila pendekatan sosial budaya yang dilakukan, maka kecenderungan kesimpulan lebih memberatkan asal usul mereka kepada Minang Kabau yaitu berasal dari kerajaan Pagaruyung.

Tatanan Sosial Budaya

1. Pranata Ekonomi 
Sumber mata pencaharian utama masyarakat suku Bonai adalah sebagai nelayan penangkap ikan khususnya disepanjang sungai Rokan Kanan. Teknologi yang digunakan masih tradisional seperti “siapang” (tombak mata tiga), “kayo” (pancing yang dipasang malam dan akan diambil pagi hari), lukah dan jaring.  Hasil tangkapan ikan mereka, kebanyakan digunakan untuk konsumsi sendiri, dan sebagian dijual untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Selain dari sektor perikanan, mereka juga sebagai petani dan pengumpul hasil hutan yang sangat tergantung pada alam, pekerjaan perkebunan dilakukan secara sub-sistem, khususnya tanaman ubi, jeruk dan tanaman muda lainya yang tidak mendapatkan perawatan.

2. Pranata Kekerabatan

Extended Family merupakan tipologi keluarga suku Bonai disusun bunga tanjung mereka mengacu kepada lineage campuran antara Patrilincal dan Matrilincal dan biasa disebut dengan bilineal. Dalam banyak aspek hubungan kekerabatan yang berlaku adalah Matrilineal. Hal ini disebabkan dengan interaksi yang mereka lakukan dengan masyarakat disekitarnya.

Sebagai kelompok masyarakat dari dusun Bunga Tanjung, dalam suku Bonai terdapat 2 suku, yaitu: Suku Monilang dan Suku Kandang Kopuh sedangkan dalam masyarakat Dusun Bunga Tanjung Desa Kasimang terdapat 7 suku yaitu :
a. Suku Melayu 
b. Suku Monilang 
c. Suku Anak Raja – Raja 
d. Suku Pungkuik 
e. Suku Kandang Kopuh 
f. Suku Kuti
g. Suku Ampu
Dalam setiap suku mengenal istilah Mamak Sako (adik/abang laki-laki saudara dari ibu) yang memiliki peran besar terhadap kehidupan dari kemenakannya. Pada setiap suku memiliki ninik mamak, meskipun terdapat dua suku yang memiliki ninik mamak didusun bunga tanjung akan tetapi Suku Bonai tidak pernah merasa memiliki keterikatan langsung dengan mereka.
Pada saat sekarang ini pula kepemimpinan tradisional sudah semakin memudar dalam komunitas suku Bonai, mereka hanya mengakui keberadaan ‘bomo” (dukun). Dalam kesehariannya masyarakat suku bonai memang hidup berdampingan dengan “bomonya”. Jika “bomo” pindah rumah kepemukiman lain, kecenderungan akan diikuti oleh sebagian besar komunitas suku Bonai.  Namun, seiring dengan berjalannya waktu dan kebutuhan hidup serta intensitas interaksi mereka dengan masyarakat Dusun Bunga Tanjung Desa Kasimbang cukup tinggi, pada saat ini mereka telah semakinn terbuka terhadap berbagai hal baru dalam kehidupanya. Terlebih lagi ketika masuk program Inpres Desa Tertinggi (IDT pada Tahun 1996), dengan persetujuan kelompok yang dibentuk oleh masyarakat Dusun Bunga Tanjung Desa Kesimang mereka memperoleh bibit jeruk. 

3. Pranata Religi

Komuntas Adat Terpencil Suku Bonai Dusun Bunga Tanjung Desa Kesimang pada saat sekarang ini memeluk agama islam. Sebagaimana masyarakat Komunitas Adat Terpencil lainnya, mereka pada awalnya penganut “Animisme”. Islam dikenal pada fase kedua awal tahun 1930-an, setelah para kholifah yang berasal dari Basilam Sumatra Utara menyebarkan agama Islam. 
Pada awalnya Dusun Bunga Tanjung Desa Kesimang merupakan kota Raja, dengan nama Rantau Binuang. Konon, ditempat ini pada masa tersebut Syech Abdul Wahab Rokan tinggal dan mengaji diatas pohon Binuang.  Komunitas Adat Terpencil Suku Bonai dari Zaman kerajaan telah mengenal Islam, dan menyatakan telah memeluk Islam. Dalam kehidupan sehari-harinya masyarakat suku Bonai masih diwarnai oleh praktek-praktek animisme, seperti tradisi pengobatan tradisional oleh bomo dan pemujaan terhadap roh-roh penunggu hutan, syariat Islam belum sepenuhnya dilaksanakan oleh mereka, ini suatu kewajaran karena syiar Islam belum intensif dan pembangunan bidang keagamaan belum menyentuh mereka.

E. Suku Laut (Duano)

1. Sejarah singkat  
Propinsi Riau mempunyai ciri khas yang berbeda dengan propinsi lain (daerah), ciri khas tersebut termasuk geografis dan kondisi pulau yang terpisah-pisah serta mempunyai komunitas terpencil paling banyak dibandingkan dengan daerah yang lain, seperti suku Talang Mamak yang ada di Kabupaten Indragiri Hulu, Suku Sakai yang ada di Kembang Luar di Kabupaten Bengkalis, Suku Akit yang ada di Rupat Utara Kabupaten Bengkalis, Suku Bonai, dan Suku Kuala (Duano) yang ada di Kabupaten Indragiri Hilir.
Beberapa permasalahan yang timbul pada Komunitas Adat Terpencil adalah masalah kemiskinan, relatif tertinggal dari kehidupan komunitas yang lain, pada umumnya hidup dipedalaman, perairan, pulau-pulau atau daerah-daerah perbatasan Negara tetangga dan kawasan industri. Asal usul tau perkembangan Suku Kuala bermula dari Suku Laut. Yang bisa dikatakan sebagai Suku Asli Suku Melayu yang ada di Propinsi Riau dan sama halnya dengan suku bangsa lainya yang ada di Indonesia, yaitu berbagai percampuran Genetika Ras, yang berasal dari pusat-pusat penyebaran disegala penjuru dunia.  Gelombang migrasi kedua Ras Mongoloid sesudah Tahun 1500 SM, yaitu Ras Nelayan Mongoloid yang disebut “Deutro – Melayu” berasal dari daratan Asia Tenggara datang kepulau Indonesia, Malaysia dan Filipina. Kedatangan Ras ini yang menyebabkan golongan Migrasi Ras pertama dan kedua menyingkir kepedalaman dan sisanya berbaur dengan pendatang baru tersebut. Dan hasil pencampuran inilah yang akhirnya menurunkan orang Melayu Riau sekarang ini. Dengan mengacu pada teori gelombang perpindahan ini, maka dapatlah disimpulkan, bahwa asal usul nenek moyang penduduk asli Suku-suku terbelakang di Provinsi Riau semuanya hasil pencampuran dari Ras Veddoit dengan Asiattie Mongoloid yang telah melahirkan puak-puak asli Suku terasing di Riau. Menurut perkembangan sejarah suku Asli yang ada di Propinsi Riau, baik yang ada di Rupat Utara maupun di Indragiri Hilir dahulunya termasuk dari Siak Sri Indrapura yang termasuk Kerajaan Melayu Riau. Kerajaan ini didirikan sejak abad ke-17 oleh Raja Kecil yang diberikan gelar Sultan Siak yang berada dipinggiran Sungai Siak.

2. Pranata Sosial  Budaya 

a. Politik dan Kelembagaan
Sekarang kepemimpinan Suku Laut (Duano) yang dikuala selat jaman dahulu dipegang oleh seorang Batin. Kondisi sekarang tidak dapat menjelaskan secara mendetail. Mereka hanya mengetahui saat ini adalah Bapak Wali (Kepala Desa). Kelembagaan didesa Kuala Selat dalam hal pemerintahan masih harus dibenahi, warga ada yang tidak mempunyai KTP dan mempunyai KK. Lembaga Adat tidak tersedia dan tidak berpengaruh terhadap warganya, yang sangat berpengaruh adalah Kepala Desa dan Sekretaris Desa.

b. Agama / Religi dan Sistem Kepercayaan

Komunitas Adat terpencil Suku Doano dahulu menganut kepercayaan pada berhala-berhala. Sekarang sudah tidak mengenal dan menggunakan mantera-mantera. Dikarenakan program keagamaan islam telah masuk kedesa. Tetepi mereka ada yang melaksanakan shalat dan ada hanya beberapa orang saja yang bisa menggunakan doa-doa islam hanya bisanya 1 kalimat misalnya Bismillahirrohmanirrohim saja. Doa yang lainya dilanjutkan dengan menggunakan bahasa Melayu (Kepada Tuhan). 

c. Kesehatan dan Sistem Pengobatan 

Kesehatan merupakan upaya untuk mencapai kemampuan hidup sehat bagi setiap penduduk atau warganya sehingga hidup menjadi optimal. Dalam kondisi didesa Kuala selat terdapat Pustu, Bidan masing – masing hanya 1 orang. Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk yang ada kurang memadai. Terlihat dilokasi Desa Kuala Selat maka lingkungan rumah tidak terjamin kesehatanya. Dikarenakan pemukiman diatas tepi pantai. Yang kadang kala air masuk sampai pelantaran jalan maupun rumah. Masih ditemukan warga KAT  untuk berobat ke dukun,  karena ketidakmampuan secara ekonomi.

d. Pendidikan Pengetahuan dan Sistem Teknologi

Pendidikan merupakan aspek yang sangat penting dan pemerintah telah mewajibkan pada usia sekolah untuk sekolah, sehingga pendidikan untuk berbagai lapisan masyarakat. Namun di Desa Kuala Selat masih terdapat anak usia sekolah tidak sekolah, karena membantu orang tuanya mencari ikan dan yang sudah sekolah pun tidak ditamatkan. Karena tidak memahami arti sekolah, ibu-ibu dan bapak-bapak pada umumnya ada yang masih buta aksara. Sarana Sekolah Dasar di Desa tersebut sudah memenuhi kebutuhan warganya. Teknologi dan ilmu pengetahuan merupakan alat atau media yang digunakan dalam pranata pendidikan pada generasi anak-anaknya. Untuk Suku Laut yang ada di Desa Kuala Selat tidak ada keterampilan apapun kecuali hanya anyam menganyam, pembuatan jaring dan lain-lainnya.

e. Pranata Keturunan dan Kekerabatan

Mengikuti alur patrilineal yaitu menurut garis keturunan bapak. Hak waris turun pada anak-anaknya. Sistem gotong royong masih kuat. Karena kalau ada acara sunatan dan perkawinan saling bantu membantu. 

f. Jaringan Sosial dan Hubungan Kerja 

Untuk Komunitas Adat Terpencil di Desa Kuala Selat mempunyai potensi gotong royong yang tinggi, ketika ada pesta perkawinan mereka saling menyumbang materi, seperti memberi beras, gula, telor dan bumbu-bumbu untuk memasak walaupun tidak banyak. Hubungan sosial dengan etnis lainpun sudah berlangsung. Karena posisi pemukimanya saling berdekatan, hubungan sosial dengan nelayan dan para toke bersifat ketergantungan, sehingga hasil dari penangkapannya dikuasai oleh tokenya (Patron Klien)
  1. Warga KAT belum mendapat pelayanan sosial pada umumnya, hal ini karena aksesibilitas untuk memperoleh sumber pelayanan masih terbatas secara infrastuktur.
  2. Sumber daya alam yang berada disekitar lokasi kehidupan KAT semakin terbatas sehingga potensi sumber daya alam yang menjadi mata pencaharian mereka tidak bisa dilakukan secara optimal.
  3. Untuk beberapa lokasi tertentu seperti Suku Sakai areal pemukiman berada pada lahan HPH yang menjadi konsesi wilayah perusahaan, sehingga sering terjadi perselisihan kepemilikan tanah.
  4. Pemberdayaan KAT yang telah dilaksanakan seyogyanya ditindaklanjuti oleh suatu kebijakan yang terintegrasi antar lintas sektor dengan mengaktifkan POKJA PKAT.
  5. Dengan Tim POKJA PKAT diharapkan proses percepatan pembangunan pada KAT dapat segera terwujud menyangkut seluruh aspek pembangunan.                                   
Catatan : Dikutip dari kumpulan study kelayakan Pemberdayaan KAT Provinsi Riau

No comments

berkomentar sesuai dengan jatidirimu

Powered by Blogger.