Header Ads

Adat meminang Masyarakat Aceh

 

Provinsi Aceh memiliki ragam kekayaan budaya dan adat istiadat terutama adat istiada dalam pelaksanaan pernikahan. Dalam masyarakat Kabupaten Pidie di yakini bahwa pernikahan adalah ritual yang sakral, karenanya masyarakat yang melangsungkan pernikahan sedapat mungkin mengikuti dan melaksanakan proses tersebut. Biasanya proses pernikahan di mulai dengan pra pernikahan , upacara pernikahan, hamil, hingga pasca melahirkan.

Peminangan bermakna pernyataan permintaan atau ajakan untuk menikah dari seorang laki-laki kepada seorang perempuan atau sebaliknya dengan perantaraan seseorang yang dipercayainya yang dalam masyarakat Aceh disebut seulangkee. Menurut Teuku Muttaqin Mansur seulangke atau yang sering diartikan sebagai perantara atau utusan merupakan seorang yang memiliki peran yang sangat strategis dalam mewujudkan cita-cita calon pasangan baru melangsungkan pernikahan/perkawinan. Seulangkee dapat dikatakan orang yang dapat beperan sebagai ‘mata-mata’, mediator, negosiator, dan dalam keadaan tertentu menjadi pengganti kedudukan para pihak. Oleh karena itu, seulangkee yang ditunjuk harus mempunyai kualifikasi orang-tidak mesti tua yang penting bijaksana, berwibawa, berpengaruh dan alim serta mengetahui seluk beluk adat perkawinan, begitu pula dengan adat peminangan.

Ada hadih maja Aceh yang lazim dalam masyarakat Aceh yang merefleksikan pandangan dan filosofi mereka dalam menghormati adat, «meunyo hana ta lakee ngoen buleukat, meu u rambat bek taba aneuk kamoe». Ungkapan ini bermakna bila belum diresmikan dengan upacara adat, adalah pantang dan dianggap aib bila seorang laki laki datang berkunjung ke rumah tunangannya, apalagi untuk pergi bersama-sama. Hal ini bersesuaian dengan hukum Islam yang memandang tidak layak bagi laki-laki dan perempuan untuk pergi bersama-sama apabila belum terikat dalam pernikahan. Walau pun peminangan yang dilanjutkan pertunangan juga melalui upacara adat, hal tersebut dianggap belum cukup kuat sampai pernikahan benar-benar dilangsungkan. Namun demikian, peminangan juga memiliki implikasi moral yang mengikat kedua belah pihak. Mereka yang telah mengajukan atau menerima pinangan tidak boleh menerima pinangan dari orang lain.

Duek Pakat keluarga laki-laki Duek pakat atau dapat diartikan dengan musyawarah keluarga dilakukan di kediaman keluarga laki-laki dengan mengundang seluruh kawom untuk mendiskusikan mengenai rencana peminangan. Keluarga laki-laki meminta pertimbangan dan persetujuan dari seluruh keluarganya mengenai wanita yang akan dipinangnya. Kemudian dalam duek pakat ini juga membahas rencana selanjutnya apabila keluarga merasa cocok dengan wanita yang akan dipinang. Misalnya menentukan seulangkee dan hal prosedural semacamnya. Seulangkee datang ke rumah keluarga wanita. Tahap kedua adalah mengutus seorang seulangkee ke rumah wanita.

Melamar ke rumah pihak wanita

Apabila lamaran diterima, maka proses peminangan pun berlanjut. Utusan dari pihak laki-laki yang terdiri dari keuchik, seulangkee, tuha peut, imum meunasah dan beberapa orang keluarga dekatnya yang dianggap penting, datang ke rumah si gadis untuk meminang. Di rumah tersebut biasanya keluarga pihak perempuan sudah menunggu bersama dengan keuchik dan tetua adat di gampong tersebut.

Sanksi pembatalan peminangan

Uniknya terdapat sanksi dalam pembatalan peminangan yang berbeda bagi kedua belah pihak. Misalnya laki-laki yang telah meminang seorang wanita kemudian merasa tidak cocok atau karena menemukan wanita lain yang ingin dipinang sehingga membatalkan peminangan, maka seluruh barang yang dihantarkan ke rumah pihak wanita menjadi hangus atau tidak dikembalikan lagi. Sedangkan apabila inisiatif pembatalan peminangan datang dari pihak wanita, maka seluruh barang bawaan harus diganti dua kali lipat.

No comments

berkomentar sesuai dengan jatidirimu

Powered by Blogger.