Asal Usul Etnis Kluet
Masyarakat
Kluet (kak kluet) sebenarnya bukan berasal dari suku Aceh tapi merupakan konon
katanya keturunan dari Suku Batak yang ada di Sumatera Utara tepat dari
Samosir, yaitu dari tiga bersaudara Rajo Patuha, Rajo Enggang dan Rajo Lambing
yang merupakan keturunan dari Rajo Lontung. Rajo Patuha sendiri kemudian hijrah
ke Dairi, Rajo Enggang ke tanoh Kluet Aceh Selatan dan Rajo Lambing ketanoh
Alas Aceh Tenggara yaitu sekitar abad ke- 11 dan 12 Masehi.
Dari Rajo Enggang inilah kemudian
lahir Marga Pinem yang ada di Kluet (Kluet Raya) dimana komunitas (marga) pinem
sendiri merupakan komunitas yang paling besar dibanding marga-marga lain yang
ada di Kluet. Mereka mendiami hampir setiap kecamatan yang ada diwilayah kluet,
namun yang paling dominan ada di kecamatan Kluet Tengah, Utara dan Timur serta
sebagian kecil ada di kecamatan Pasie Raja (Kluet Barat) dan Kluet Selatan.
Keturunan dari Raja Enggang ini juga terdapat di luar Kluet dan diluar Aceh
Selatan seperti di Singkil, Subulussalam, Abdya dan Nagan Raya, karena hal ini
pula lah semakin memperkuat alasan bahwa Marga Pinem merupakan komunitas
pertama dan tertua yang mendiami tanoh Kluet diantara Marga marga yang lain
seperti Selian, Pelis, Bencawan, Caniago dan termasuk mereka mereka yang
merupakan keturunan dari suku Aceh sendiri.
Marga Selian
sendiri sebenarnya masih satu rumpun dengan Marga pinem dimana marga ini adalah
keturunan dari Rajo Lambing yang ada di Tanoh Alas tadi, yang pada akhirnya
juga berkembang sampai ketanah Kluet, kecuali marga pelis, Bencawan, Caniago
dll yang kemungkinan juga berasal dr Alas, Kerinci atau wilayah2 lain yang
bukan merupakan keturuan dr tiga bersaudara tadi (Rajo Patuha, Rajo Enggang dan
Rajo Lambing) dari Batak. (Iwabichi; 1994: 10)
Secara umum, orang Kluet sangat erat terkait kekerabatan dengan suku Alas dan suku Singkil, karena terdapat beberapa kemiripan dalam adat-budaya serta bahasa yang banyak dipengaruhi oleh kedua suku tersebut. Masyarakat suku Kluet berbicara dalam bahasa sendiri, yaitu bahasa Kluet. Bahasa Kluet termasuk dalam kelompok rumpun bahasa Batak. Bahasa Kluet sendiri memiliki 3 dialek yang terus berkembang hingga saat ini, yaitu: dialek Menggamat, dialek Payadapur, dan dialek Krueng Kluet (Lawe Sawah).
Menurut catatan (Bukhari RA, dkk, 2008:11), sejarah Kluet dikatakan erat kaitannya dengan Kerajaan Laut Bangko yang merupakan sebuah danau kecil yang berada di tengah hutan TNGL (Taman Nasional Gunung Leuser) sebelah barat, berbatasan dengan kecamatan Bakongan dan kecamatan Kluet Timur saat ini.
Menurut cerita bahwa Kerajaan Laut
Bangko pernah jaya di masa lalu. Raja yang terakhir bernama Malinda dengan
permaisuri Rindi. Setelah rajanya meninggal, bencana banjir menghantam kerajaan
ini. Penduduknya melarikan diri mencari daratan, sebagian melarikan diri ke
Tanah Batak, lainnya ke wilayah Tanah Singkil, dan sisanya tetap bertahan
dengan mencari tempat yang lebih tinggi. Dari hal inilah dikatakan bahwa
terjadi kemiripan antara bahasa Kluet dengan
bahasa-bahasa Batak lainnya, seperti Karo, Pakpak, Toba, Alas
dan Singkil.
Menurut cerita lainnya, diceritakan ketika terjadi perang besar di Aceh, suatu komunitas di pedalaman kena imbasnya dan melarikan diri ke wilayah Kerajaan Kecil Chik Kilat Fajar di selatan Aceh dan menjadi komunitas tersendiri di kaki gunung Kalambaloh, sedangkan yang lainnya masuk lebih ke pedalaman dan membuat komunitas tersendiri pula sehingga terjadi percampuran bahasa dengan beberapa wilayah lainnya seperti Singkil dan Alas serta beberapa suku di Sumatra Utara.
Sedangkan menurut cerita rakyat
suku Alas, bahwa antara suku Alas dan suku Kluet masih berkerabat
dekat, dilihat dari cerita asal usul yang tersimpan dalam kedua kelompok
masyarakat ini, bahwa orang Kluet berasal dari Raja Enggang yang
merupakan adik dari Raja Patuha di Dairi dan abang dari Raja Lambing yang
merupakan nenek moyang marga Selian dan orang Alas di Tanoh Alas dan marga
Sebayang di Taneh Karo. Sedangkan Raja Enggang yang merupakan nenek moyang
orang Kluet, keturunan pertama di Tanah Kluet adalah marga
Pinim.
Wilayah Kluet saat ini telah diakui sebagai suatu kesatuan dalam kabupaten Aceh Selatan. Mulanya Kluet hanya 2 wilayah saja, yakni Kluet Utara dan Kluet Selatan. Wilayah Kluet Utara beribukota Kotafajar dan Kluet Selatan beribukota Kandang.
Sejak Aceh memperoleh
status Otonomi Khusus dan diperkuat Undang-Undang
Pemerintahan Aceh (UUPA), wilayah Kluet pun dibagi menjadi
5 wilayah:
Kluet Utara, beribukota
Kotafajar,
Kluet Tengah, beribukota
Menggamat,
Kluet Timur, beribukota
Duriankawan,
Kluet Selatan, beribukota
Kandang,
Kluet Barat, beribukota
Pasieraja.
Pemekaran
wilayah Kluet ternyata menimbulkan konflik baru di
wilayah Kluet. Di Kluet Barat yang beribukota Pasieraja dihuni
oleh masyarakat Pasieraja yang tidak berbahasa Kluet, orang-orang di sini
tidak mengakui wilayahnya sebagai wilayah Kluet.
Bahkan, sempat tersebar isu, jika
dipaksakan wilayah Pasieraja dengan nama Kluet Barat, masyarakat di sini akan
minta wilayahnya dimasukkan ke kecamatan Tapaktuan saja. Akibatnya plang nama
kantor camat wilayah ini dengan jelas ditulis “Camat Kecamatan Pasieraja”,
bukan “Camat Kecamatan Kluet Barat dengan Ibukota Pasieraja”.
Rupanya hal ini membuat perpecahan kecil di antara masyarakat Kluet, walaupun tidak sampai menimbulkan konflik berdarah.
Terdapatnya 3 suku yang berbeda
(Kluet, Aceh dan Aneuk Jamee) di wilayah Kluet sepertinya menjadi
penyebab terjadi perpecahan di antara masyarakat Kluet. Kelompok
masyarakat yang berbahasa Aceh tidak mau disebut sebagai orang Kluet.
Sebaliknya, kelompok masyarakat yang berbahasa Kluet juga tidak mau
disebut sebagai bagian dari Aceh.
Masyarakat Kluet memiliki
sejumlah adat dan budaya yang tetap terpelihara terus secara turun temurun dari
generasi ke generasi. Dalam adat perkawinan,sunat rasul, adat kematian,
pengobatan, dan sebagainya. Kemudian untuk sastra lisan pun masih hidup
dan berkembang dalam komunitas ini, misalnya tradisi bersyair pada saat pesta
perkawinan.
Terdapat 2 syair yang populer dalam
kearifan masyarakat suku Kluet, yaitu:
Syair Meubobo, biasanya digunakan oleh rombongan pengantar pengantin laki-laki (linto baro). Syair mebobo juga kerap digunakan saat melepas anak pergi ke rantau atau saat sunat rasul. Kebiasaan ini masih hidup dalam masyarakat Kluet hingga sekarang. Hanya saja, tidak semua orang dapat memainkan kedua syair tersebut. Butuh kemahiran tersendiri untuk melantunkan.
Syair Meukato, merupakan pantun
yang berbalas-balas antara rombongan mempelai laki-laki dan rombongan mempelai
perempuan. Selain itu tradisi peribahasa dalam
bahasa Kluet disampaikan dengan dialek masing-masing daerah.
Menurut beberapa literatur, masyarakat suku Kluet juga memiliki marga. Hanya saja marga dalam masyarakat suku Kluet tidak diutamakan untuk ditampilkan seperti masyarakat rumpun Batak lainnya. Tapi untuk sebagian masyarakat Kluet ada juga yang menampilkan marga di belakang namanya. Beberapa marga Kluet mirip dengan marga suku Alas, Singkil, Karo dan Pakpak. Beberapa dalam marga suku Kluet, adalah: Selian, Kombih, Pinim, dll.
Masyarakat Kluet mayoritas
adalah beragama Islam yang taat. Beberapa tradisi dan budaya banyak dipengaruhi
unsur Islami. Agama Islam berkembang di masyarakat Kluet sejak beberapa abad
yang lalu, seiring dengan masuknya agama Islam di wilayah Aceh.
Di tengah masyarakat
suku Kluet juga tersimpan mitos-mitos makhlus gaib (halus), salah
satunya seperti mitos meurampot, yang masih diyakini oleh sebagian besar
masyarakat suku Kluet. Orang Kluet pada umumnya hidup pada
bidang pertanian, seperti berkebun dan berladang. Mereka hidup berkembang
dengan cara exogamus (kawin dengan marga lain). Perkawinan diatur oleh kedua
keluarga calon mempelai. Pertunangan biasanya memerlukan waktu sekitar 3 tahun.
Pemerintahan desa dibagi menurut
kelompok keluarga sesuai dengan mergo (marga), dan bagian pemerintahan yang
lebih kecil (rodjo). Sekelompok orang satu keturunan sara rodjo (satu ayah) dan
sara ino (satu ibu).
Masyarakat suku Kluet tidak mengenal aksara tradisional. Seluruh bentuk nasihat dan hal-hal lain yang berhubungan dengan kehidupan sosial diturunkan secara turun temurun melalui tarombo dan cerita lisan.
Sejarah Kluet
Menurut sejumlah literatur, kajian
sejarah Kluet sangat erat kaitannya dengan Kerajaan Laut Bangko (Bukhari RA,
dkk., 2008:11). Laut Bangko dulunya merupakan sebuah danau mini yang berlokasi
di tengah hutan Taman Nasional Gunung Leuser, bagian barat, yang berbatasan
dengan Kecamatan Bakongan dan Kecamatan Kluet Timur, saat ini. Dikisahkan
bahwa Kerajaan Laut Bangko ini pernah megah tempoe doeloe. Raja
yang terakhir yang sempat memimpin kerajaan tersebut, menurut Bukhari, dkk
(2008:12) bernama Malinda dengan permaisuri Rindi. Setelah rajanya meninggal,
daerah ini tenggelam kala banjir besar melanda. Penduduknya kemudian berusaha
mencari daratan baru, sebagain ke Tanah Batak, sebagian ke Singkil, sebagian
ada yang masih tetap pada lokasi semula dengan mencari dataran tinggi yang
baru. Dari sini kemudian timbul pendapat terjadinya kemiripan bahasa antara
bahasa Kluet dengan bahasa Batak, bahasa Alas, bahasa Karo, dan bahasa Singkil.
Sumber sejarah lisan (folklor) lainnya menyebutkan bahwa saat berkecamuk perang dahsyat di Aceh, ada sebuah komunitas masyarakat kala itu yang terpecah-pecah akibat menyelamatkan diri. Ada yang lari ke wilayah Kerajaan Kecil Chik Kilat Fajar di selatan Aceh, ada yang melarikan diri ke pedalaman-pedalaman lainnya dalam wilayah yang sama. Yang berada di wilayah Chik Kilat Fajar kemudian membuka komunitas sendiri, yaitu di kaki gunung Kalambaloh. Sedangkan di wilayah lainnya, juga membuat komunitas sendiri pula sehingga masih terdapat kemiripan bahasa antara yang berada di wilayah selatan Aceh (Chik Kilat Fajar) dengan beberapa wilayah lainnya seperti Singkil, dan Tanoh Alas, termasuk Sumatera Utara.
Terlepas dari sejarah yang sulit ditemukan kekonkretannya itu, wilayah Kluet tetap dikaui sebagai satu kesatuan dalam Kabupaten Aceh Selatan. Pengakuan ini sejak daerah tingkat II Aceh Selatan masih tersebar hingga ke Singki, Subulussalam, dan Aceh Barat Daya. Hanya saja, mulanya Kluet masa itu dua wilayah saja, yakni Kluet Utara dan Kluet Selatan. Kluet Utara beribukotakan Kotafajar dan Kluet Selatan ibukotanya Kandang. Seiring maraknya gejolak pemekaran di Aceh, tepatnya sejak Aceh memperoleh status Otonomi Khusus dan diperkuat oleh Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA), wilayah Kluet pun pecah menjadi lima: Kluet Utara (Kotafajar), Kluet Selatan (Kandang), Kluet Tengah (Menggamat), Kluet Timur (Duriankawan), dan Kluet Barat (Pasieraja). Ironis, pemekarana wilayah ini ternyata menimbulkan konflik baru di wilayah Kluet. Pasieraja misalnya, karena tidak ada masyarakat Pasieraja yang berbahasa ibu bahasa Kluet, orang-orang di sini terkesan tidak mengakui wilayahnya sebagai wilayah Kluet. Bahkan, sempat tersebar isu, jika dipaksakan wilayah Pasieraja dengan nama Kluet Barat, masyarakat di sini akan minta wilayahnya dimasukkan ke Kecamatan Tapaktuan saja. Karena itu, plang nama kantor camat wilayah ini dengan jelas ditulis “Camat Kecamatan Pasieraja”, bukan “Camat Kecamatan Kluet Barat dengan Ibukota Pasieraja”. Singkatnya, pecah wilayah Kluet, pecahkan pula masyarakatnya, kendati tidak sampai menimbulkan perang berdarah.
Adat dan Budaya
Sebenarnya, Kluet memiliki adat dan budaya yang heterogen. Hal ini karena wilayah tersebut didiami tiga suku: Kluet, Aceh, dan Aneuk Jamee. Tentu saja ini kekayaan tersendiri bagi masyarakat Kluet jika mereka mau bersatu-padu.
Namun, ternyata keberagaman kebudayaan ini pula yang menyebabkan perpecahan di antara masyarakat Kluet. Mereka yang berbahasa ibu bahasa Aceh seakan tidak mau disebut sebagai orang Kluet. Sebaliknya, mereka yang berbahasa ibu bahasa Kluet enggan disebut sebagai bagian dari Aceh. Inilah yang terjadi saat ini. Tidak seperti zaman dahulu, semuanya bersatu dalam bingkai kerjaan kecil, Chik Kilat Fajar.
Terlepas dari perpecahan internal itu, Kluet memiliki sejumlah adat dan budaya yang masih lestari. Adat dan budaya itu bertunas dan tumbuh dalam kearifan masyarakatnya secara umum. Adat istiadat tersebut terus kontinyu turun temurun. Hal ini dapat dilihat pada prosesi perkawinan, sunat rasul, kematian, pengobatan, dan sebagainya. Bahkan, karena mata pencaharian masyarakat Kluet secara umum adalah bertani, adat turun ke sawah pun dimiliki masyarakat di sana yang mirip pula seperti adat meublang dalam kearifan Aceh secara luas.
Sastra Tutur
Sejumlah sastra lisan pun masih hidup dan berkembang dalam komunitas Kluet. Sebut saja kebiasaan bersyair saat pesta perkawinan.
Ada dua macam syair dalam kearifan masyarakat Kluet: syair meubobo dan syair meukato. Syair mebobo biasanya digunakan oleh rombongan pengantar pengantin laki-laki (linto baro). Sedangkan syair meukato, merupakan pantun yang berbalas-balas antara rombongan mempelai laki dan rombongan mempelai perempuan.
Syair mebobo juga kerap
digunakan saat melepas anak pergi ke rantau atau saat sunat rasul. Kebiasaan
ini masih hidup dalam masyarakat Kluet hingga sekarang. Hanya saja, tidak semua
orang dapat memainkan kedua syair tersebut. Butuh kemahiran tersendiri untuk
melantunkan. Pemain syair ini serupa trobadur.
Kecuali itu, sastra lisan yang juga masih berkembang dalam masyarakat Kluet hingga saat ini adalah peribahasa. Peribahasa dalam bahasa Kluet disampaikan dengan dialek masing-masing daerah. Saat ini ditemukan tiga dialek bahasa Kluet, yakni dilek Menggamat, dialek Payadapur, dan dialek Krueng Kluet.
Dalam masyarakat ini berlaku juga mitos-mitos semisal meurampot -disamun makhluk halus. Namun demikian, nilai-nilai keislaman juga masih kokoh di sana, di samping nilai gotong royong dan silaturahmi. Karena itu, sangat disayangkan jika daerah ini kemudian terkesan abai dari perhatian pemerintah. Apalagi, di tengah kecamuk internal dalam masyarakat itu sendiri.
No comments
berkomentar sesuai dengan jatidirimu